Informasi Haji 2011 PCI NU Sudan

Berita terbaru mengenai Haji 2011 Safarina Travel PCI NU Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Pelantikan PCINU Sudan 2011-2012

Acara Pelantikan PCINU Sudan 2011-2012 di Wisma NU Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Eksistensi NU di Era Modern

Acara HARLAH NU yang mengangkat tema Eksistensi NU di Era Modern. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

JSQ NU Sudan Hadiri Dukungan untuk Sudan

Jamiyyah Syifa’ul Qulub hadir dalam undangan Jaliyyah al-Arabiyyah wal Islamiyyah di Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Pelantikan NU Sudan Masa Khidmat 2010-2011

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Khartoum Sudan masa Khidmat 2010-2011 resmi dilantik. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

"HAMKA" Diskusi Reguler LAKPESDAM NU Sudan

Acara Diskusi Reguler LAKPESDAM NU Sudan kali ini mengangkat sosok HAMKA. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Minggu, 23 Juni 2013

“Jihad” Sebuah Pertengkaran Makna

Misbachul Anam MS

Dalam dasawarsa terakhir ini kita seringkali dihadapkan pada peristiwa yang menggetarkan sisi kemanusiaan kita dengan banyaknya serangkaian aksi yang seringkali menelan korban baik muslim maupun non muslim seperti peristiwa 11 September 2001 yang fenomenal, pemboman hotel Marriot dan beberapa kafe di Bali, penyanderaan dan eksekusi yang dilakukukan terhadap reporter asing di Afghanistan sampai yang terakhir adalah pemboman yang terjadi di kawasan wisata Sharm El-Sheikh di Mesir. Yang lebih memiriskan hati kita adalah bahwa serangkaian aksi tersebut seringkali dilakukan atas nama jihad atau perang suci (holy war) sehingga dampak dari hal itu adalah bahwa dikalangan publik di barat dan negara-negara non muslim, Islam seringkali di identikkan dengan “terorisme, fundamentalisme dan intoleransi”. Contoh dari bagaimana negatifnya pandangan kalangan non muslim terhadap Islam adalah pernyataan Paus Benediktus XVI baru-baru ini saat menyampaikan kuliah teologi di sebuah universitas di Jerman mengutip perkataan salah seorang Kaisar Bizantium Emanuel di abad 14 “Tunjukkan padaku apa yang baru dari Muhammad selain ajaran yang berbau iblis dan perintah menyebarkan agama dengan pedang” padahal di kalangan muslim sendiri Islam di yakini di turunkan Tuhan kepada Muhammad SAW dengan misi menyebarkan kasih sayang (rahmah) bagi semesta alam ”Wa maa ja’alnaaka illaa rahmatan lil ‘alamiin” walaupun tidak dapat kita pungkiri bahwa secara praksis di kalangan Islam sendiri ada kelompok yang memaknai jihad lebih kearah jihad fisik yang bersifat ofensif sehingga menampilkan sosok Islam yang garang, destruktif dan intoleran, akan tetapi dengan tidak bermaksud untuk berapologi diantara dua pandangan tersebut kita tentu lebih memilih pandangan yang menghadirkan Islam sebagai agama yang damai, toleran dan penebar kasih sayang sebab secara etimologis kata Islam sendiri pararel dengan kata salam yang berarti damai dan secara realita pandangan seperti inilah yang tentu lebih memihak kepada kemaslahatan dunia, pun demikian pandangan seperti ini ternyata belum cukup untuk menjawab realita yang ada karena agama yang secara normatif-konseptual merupakan rahmat namun historisitasnya ternyata bisa berbeda sama sekali.

Saat penulis masih berada di Indonesia penulis sempat menyaksikan sebuah acara di salah satu stasiun tv swasta yang bertemakan “Antara hitan dan putih” yang menyuguhkan sebuah perdebatan menarik antara dua pemaknaan jihad yang berbeda, kelompok satu yang bisa dikatakan merupakan representasi dari Islam moderat lebih memaknai jihad dengan dua pemaknaan yaitu jihad fisik yang bersifat defensif dan jihad non fisik yang dalam aplikasinya bisa sangat luas meliputi segala amal perbuatan yang mempunyai nilai kebajikan, sementara kelompok kedua yang mewakili Islam fundamentalis cenderung memaknai jihad sebagai perang suci bahkan salah satu diantara mereka yang merupakan salah satu pelaku bom bali dengan sangat ekstrim mengatakan bahwa jihad hanya mempunyai satu penafsiran yaitu “qital” (perang fisik) berhadapan dengan non muslim dan mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk pengabdian terhadap agama yang balasannya tidak lain adalah surga.

Dalam dunia diskursus segala jenis pemaknaan atas teks mungkin adalah sah-sah saja karena menurut sebuah teori linguistik sebuah teks sepenuhnya adalah milik pembaca, atau dalam pernyataan yang lebih ekstrim dikatakan bahwa dalam persoalan tafsir pemilik teks tidak punya wewenang sedikitpun untuk menyatakan bahwa maksud yang ia kehendaki adalah yang paling mewakili kebenaran, “pengarang telah mati” demikian kata Barthes dan Foucsult, tapi persoalannya ketika sebuah penafsiran tersebut ternyata bertentangan dengan prinsip-prinsip humanisme bahkan mempunyai potensi merusak terhadap tatanan dunia dan peradaban maka menjadi patut untuk diimani bahwa perlawanan terhadapnya adalah sebuah keniscayaan.
Berbicara tentang konsep jihad Louis Makluf dalam Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam menyebutkan bahwa jihad secara etimologis berasal dari kata jahada yang bermakna mengerahkan daya upaya, kemudian dalam artian yang lebih khusus dikatakan sebagai upaya memerangi musuh dengan tujuan pembelaan terhadap agama. Dalam Al-Qur’an sendiri kata jihad dan kata yang mempunyai akar kata yang sama dengannya disebutkaan kurang lebih dalam 39 ayat yang terpencar disekitar 19 surat baik makkiyah maupun madaniyah. Sementara dalam leksikon Arab klasik kata jihad merujuk ketiga makna yaitu perjuangan secara fisik, perjuangan melawan hawa nafsu, setan (mujahadah), dan berjuang dalam menelorkan gagasan-gagasan yang positif (ijtihad). Dalam konteks ayat-ayat yang turun di Makkah jihad lebih banyak dilakukan melalui persuasi yang tercermin dalam QS.19:5 atas dasar itu pada masa ini jihad lebih bermakna etis, moral dan spiritual sedangkan dalam konteks ayat-ayat yang turun di Madinah, jihad seringkali diartikan dengan makna yang lebih luas yaitu “mengerahkan segala upaya” yang di dalamnya mencakup perang secara fisik.

Jika kita menengok sejarah awal kaum muslimin jihad dalam artian perang fisik menemukan momentumnya ketika orang-orang muslim berperang melawan orang-orang Makkah pada peristiwa perang Badar Kubra pada tahun kedua Hijrah bertepatan dengan 624 M, pun kalau kita lihat lebih lanjut jihad fisik yang dilakukan Nabi beserta para sahabat pada peristiwa perang Badar lebih merujuk ke perang dalam artian yang defensif yaitu demi menjaga kelangsungan masyarakat muslim di Madinah yang pada saat itu masih merupakan embrio kecil dan untuk mempertahankan keyakinan ummat Islam dari serangan orang-orang Makkah yang tidak senag Islam berkembang di tanah Arab. Dengan demikian pengidentikan jihad hanya sebagai perang fisik yang ofensif apalagi menganggapnya sebagai langgam bahasa dakwah Islam adalah tidak tepat karena pada masa awal penyebarannya Nabi melakukan dakwah bukan dengan landasan perang dan pedang akan tetapi dengan landasan kebijaksanaan dan semangat mengajak kepada kebaikan dengan nasehat yang baik berdasarkan perintah Tuhan “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasehat yang baik” dan itu berlangsung selama sepuluh tahun sejak di utusnya Nabi. Selain itu pemaknaan jihad sebagai perang ofensif adalah bertentangan dengan beberapa landasan teologis dalam Al-Quran dan Hadits, diantaranya QS.4:114 “tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah, berbuat kebaikan, atau mengupayakan perdamaian diantara manusia” dan di sebuah hadits di sebutkan Al-Hafiz Abu Bakr Al-Bazzar meriwayatkan dari Anas ra, bahwasanya Rasulullah SAW berkata kepada Abu Ayub : “Maukah kamu aku tunjukkan kepada suatu perniagaan? Abu Ayub berkata: “Mau wahai Rasulullah” kemudian Rasulullah bersabda: “Hendaknya kamu mengupayakan perdamaian diantara manusia jika mereka saling merusak satu sama lain dan berusahalah merekatkan mereka jika mereka saling membuat jarak. Disamping itu perang juga bertentangan dengan hati nurani dan kesucian jiwa yang dalam hal ini diwakili oleh ucapan para malaikat ketika mengungakapkan keberatannya atas penciptaan manusia karena dikhawatirkan akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah (QS 2:30). Kalau kita tarik dalam konteks negara modern yang memiliki senjata pemusnah massal yang dalam sekali sasaran saja bisa meluluh lantakkan dunia dengan banyaknya korban yang berjatuhan jelas makna jihad dalam artian perang fisik berpotensi memporak porandakan tataran dunia, dan peradaban yang terdiri atas sumber daya alam dan manusia ini tidak mungkin dibangun atas landasan perang. Kita tentu tidak ingin perang dunia terulang kembali bukan?

Akhirnya penulis berpendapat bahwa jihad dalam konteks kekinian lebih tepat jika di maknai sebagai upaya melawan kecenderungan-kecenderungan negatif dalam diri manusia sebagaimana sabda Nabi setelah perang Badar ketika melihat bahwa pengertian konsep ini telah melampui makna spiritualnya “kita kembali dari jihad kecil (perang badar) menuju jihad akbar (perang melawan hawa nafsu), dan juga bisa dimaknai sebagai upaya mewujudkan keadilan, kemajuan dan perdamaian antar ummat manusia. Wallahu a’lam bisshawaab (otoritas kebenaran hanya di tangan Tuhan)  


Arsip : ex Majalah Tathwirul Afkar 2006

Rasulullah dan Strategi Cetak Biru

 Auzai Mahfudz Ashirun

Seperti yang kita saksikan belakangan ini, suatu tuduhan kepada Islam bahwa "Islam is terorism",  dan juga beberapa pihak barat yang sengaja memojokkan Islam sampai ke negara kita tercinta, tuduhan itu diberikan. Akhirnya setelah peristiwa Bali, Marriot, kedutaan Australia dll. Terpaksa menyudutkan kita umumnya kalangan Islam dan khususnya pondok pesantren. Karena sebagian besar pondok pesantren di Indonesia adalah NU, ikutlah tercemar nama NU. Sampai kabar terakhir ini para santri akan dimintai sidik jarinya, dan masuknya intelejen negara (BIN) untuk memata-matai gerakan pondok pesantren di Indonesia. 

Lalu bagaimana Rasulullah berintelejen?


1. Intelejen

Dalam kitab "al Bidayah wa an Nihayah" ibnu katsir menuturkan bahwa Islam mengenal dunia intelejen sudah sejak 14 abad yang lalu, setelah Muhammad menjadi Rasul, meskipun teknologinya lebih maju sekarang, akan tetapi akhlak intelejen Muhammadj auh lebih baik.

Pada bulan Jumadil Akhir 1424 M seorang sahabat bernama Abdullah bin Jaish bersama 12 orang Muhajirin dikirim Rasulullah untuk menjadi intelejen, memata-matai musuh. Rasulullah memberi surat kepada Abdullah agar jangan dibaca kecuali setelah dua hari perjalanan. Setelah dua hari perjalanan Abdullah bin jaish pun membuka surat itu yang berisi; "berangkatlah menuju Nikhlah -antara Makkah dan Thoif, intailah keadaan orang Quraisy di sana dan laporkan kepada kami", setelah membaca surat Rasul, Abdullah bin Jaish langsung berujar kepada sahabat yang lain, "Rasulullah telah memerintahkan kita untuk memata-matai. Sekarang siapa yang mau jadi pahlawan syahid teruslah berjalan denganku, dan yang tidak menyukai hal ini pulanglah!".

Juga terjadi pada pembebasan kota Makkah dan kafir Quraisy, nabi Muhammad berencana akan mengerahkan 10.000 tentara muslim, untuk melancarkan serangan mendadak. Kemudian Rasulullah mengirim intelejen ke Makkah untuk mengacaukan informasi pada musuh agar mereka tidak mengerti bahwa Islam akan membawa pasukan yang banyak dengan serangan mendadak. Untuk kerahasiaan dan kepentingan intelejen militer, Rasulullah mengadakan rapat rahasia dengan Aisyah dan Abu Bakar. Lalu keesokan harinya orang-orang Islam pun datang dan Qurasy kalang kabut.

Bedanya Muhammad dan intelejennya berakhlak mulia tidak seperti intelejen sekarang, CIA dan BIN yang tak segan memfitnah musuh bahkan membunuhnya dan merekayasa berita.


2. Misi Rahasia

Ibnu Hajr al Asqolani mengatakan: "Rasulullah pernah mengadakan intelejen dan misi rahasia ke pasukan musuh. Seorang sahabat bernama "Abdullan bin Anis" dikirim untuk menyusup kedalam pusat kekuatan musuh. Sasaran utamanya adalah Bani Lihyan dari kabilah Huzail yang dipimpin oleh Khalid bin Sufyan al Hudzaily. Misi ini diadakan karena Muhammad SAW telah mendengar bahwa Khalid bin Sufyan telah menyusun kekuatan untuk menghancurkan Islam yang dipusatkan di daerah Uranah. Karena itu Rasulullah mengutus intel Abdullah bin Anis untuk membenarkan kabar ini.

Setelah Abdullah berangkat, tak sengaja di jalan bertemu dengan Khlaid bin Sufyan dengan bebarapa wanita dan pasukannya, lalu ia ditanya, "siapakah kau wahai anak muda?" Abdullah menjawab: "saya adalah orang Arab sepertimu. Saya mendengar bahwa kamu telah menyiapkan kekuatan untuk menghancurkan Islam, izinkanlah saya untuk bergabung bersamamu", tak berfikir panjang Khalid langsung menjawab: "iya, dan silahkan kau bergabung". Di satu waktu Khalid terpisah dari pasukannya sedang sendiri, Abdullah menganggap ini adalah kesempatan emas, langsung dia menghujamkan pedangnya dan matilah Khalid. Maka gentarlah pasukannya dan membatalkan rencana untuk menyerang karena ketua mereka telah mati.


3. Provokasi dan Tipuan

Didalam Tarikhul Baghdad -The History of Baghdad dikisahkan, Rasulullah pernah melakukan propaganda dalam melemahkan kekuatan musuh. Yaitu Nu'aim bin Mas'ud yang mengobok-obok pasukan kafir juga tipuan yang dibuat waktu itu. Orang-orang kafir ingin menyerang Islam di malam hari di Marru Zahran, markas Rasulullah dan tentaranya menyalakan obor obor 10.000 api yang memberi cahaya yang sangat besar di malam itu. Akhirnya terlihat musuh dari kejauhan, sampai Abu Sufyan pun berkata: "belum pernah saya melihat malam terbakar seperti ini, alam belum pernah saya melihat pasukan seperti ini". Akhirnya kafir menciut nyalinya dan serangan batal.


Nah itulah Rasulullah sang panglima intelejen sejati. Karena itu intelejen sekarang harus meniru intel-intelnya Rasulullah, jangan menghalalkan segala cara dalam misi tertentu. Santunlah seperti intelnya Rasulullah. Malah kita tak sadar telah ditipu untuk memata-matai rakyat sendiri. Apalagi dikalangan pesantren dan kalangan NU yang kita semua anti teroris kok malah kita yang dikejar membabi buta. Dan mudah-mudahan Indonesia akan lebih aman, damai dan sejahtera, amin.


Editor : Muhamad Tajul Mafachir

Ibadah Haji, Rutinitas atau Lebih?

Muhammad Amiruddin


Para tukang batu terlihat super sibuk, bahkan harus lembur untuk mengejar target bangunan yang ditanganinya bisa ditempati jama'ah haji tahun ini. Para pedagang buah sudah meneken perjanjian untuk mengimpor berton-ton buah dengan berbagai jenisnya bagi persediaan jamaah haji. Para pemilik hotel dan rumah-rumah flat, mulai mencari tambahan pekerja lagi, cleaning service, room boy, penjaga, dan seterusnya. Syirkah (perusahaan) tertentu yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk menjaga kebersihan Masjidil Haram, juga mulai mencari dan menyeleksi para pendaftar penjaga kebersihan Baitullah selama musim haji. Tak ketinggalan para pedagang pakaian, surban, kopiah, sandal, tasbih, sajadah, emas, kitab, dan lain-lain, pun melakukan hal yang sama. Bahkan para pedagang siwak sudah mulai mencari dan mengumpulkan kayu arak untuk memenuhi permintaan jama'ah haji nanti. Dan para polisi, juga angkatan bersenjata terlihat lebih sering mengadakan apel bersama, meneliti kesiapan masing-masing, dan terus latihan untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Pihak kerajaanpun tidak tinggal diam, zam-zam, jalan raya, masyair, dan semua fasilitas diperbaiki dan disediakan untuk menjamu para tamu Allah. Bahkan tak lupa juga untuk menempel slogan besar-besar, "khidamatul hujjaj syarafun lana", melayani para jemaah haji adalah kehormatan bagi kami. Sebuah slogan yang tentu saja tidak hanya ditujukan bagi kalangan mereka sendiri, tetapi juga untuk masyarakat Makkah dan sekitarnya agar memiliki tekad dan keinginan yang sama untuk mengawal dan mengiringi pelaksanaan ibadah haji supaya bisa berjalan dengan baik.

"Semoga slogan itu benar dalam realitasnya" begitu teman saya berbisik dengan suara lirih, seakan takut kedengaran yang lain. Sebab muncul sebuah gejala yang seolah ingin membalik slogan tersebut dengan slogan lain, "khidamatul hujjaj fuluusun lana", melayani para jama'ah haji adalah “uang” bagi kami. Memang benar, syaraf dan fulus bukanlah dua hal yang harus saling menafikan, bahkan keduanya bisa berjalan beriringan, ya syaraf, ya dapat fulus. Yang penting adalah menggunakan etika yang baik dan cara-cara yang benar menurut norma agama jika kita memang mengaku beragama, atau sesuai norma sosial dan susila. Soalnya -masih menurut teman saya- muncul praktek-praktek yang (semoga teman saya tidak benar) menghalalkan segala cara asal fulus bisa mengucur dari jari-jemari para jamaah haji, dan masuk berdesakan mengisi setiap ruang kosong dalam kantong saku. Sungguh memprihatinkan kalau itu benar terjadi.

Sementara itu, di belahan bumi lain para calon jamaah haji sedang khusuk mendengarkan ceramah dari pak kiai tentang haji, tentang apa yang harus dilakukan para jamaah haji ketika sudah sampai di Makkah. Cara thawaf, sai, melempar jamarat, do'a-do'a tertentu, menghindari desak-desakan, tak usah mencium hajar aswad jika membahayakan diri sendiri maupun orang lain, dan seterusnya.
Wejangan-wejanganpun tak ketinggalan untuk diberikan. Belanjalah seperlunya, jangan jor-joran, kita ini datang untuk ibadah bukan untuk belanja. Jangan mudah terpancing emosi ketika melihat keganjilan-keganjilan yang ada di sekitar kita, karena di sana nanti akan berbaur orang-orang yang punya tradisi dan latar belakang yang berbeda. Jangan sombong dan merasa diri bisa segalanya, nanti dilempar sandal orang baru tahu rasa. Jangan gegabah dan sembrono, bisa membahayakan yang lain. Manfaatkanlah waktu dengan baik selama keberadaan kita di tanah suci, karena tempatnya termasuk tempat yang mustajab dan pahala akan dilipatgandakan, lebih-lebih biaya haji semakin mahal, jangan hanya plesir dan jalan-jalan melulu sampai badan lelah kemudian tidur tanpa ingat waktu. Jagalah kebersihan badan, makanan dan minuman, juga kadarnya, supaya badan kita tetap fit dan sehat sehingga bisa melaksanakan ibadah-ibadah secara maksimal, dan lain sebagainya.   

Semua hiruk pikuk di atas selalu mengiringi datangnya sebuah upacara dan ritual ibadah terakbar yang pernah disaksikan dunia, dan selalu berulang dari tahun ke tahun, sama. Hingga manusia dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong menuju satu titik di permukaan bumi, Makkah al Mukarramah, untuk melaksanakan hal-hal yang selama ini hanya mereka pelajari dan dengarkan dari para kiai saja. Dan selama masa itu pula, mata dunia tidak terlepas dari kawasan tersebut, sampai  semuanya kemudian berjalan normal kembali seperti sedia kala.

Akankah rutinitas di atas hanya terjadi dan berjalan demikian seterusnya? Ataukah ia bisa memberikan dampak dan arti bagi sebuah tata kehidupan? Tentu saja jawabnya juga ditentukan oleh individu-individu yang menjalaninya. Bisa sekedar rutinitas, dan bisa jadi membawa sebuah perubahan dalam kehidupan.

Seperti halnya ibadah-ibadah lain, ibadah haji juga memerlukan persiapan-persiapan yang harus dipenuhi sebelumnya agar ibadah tersebut bisa berjalan dengan baik dan benar. Diantara persiapan itu adalah mental. Seseorang yang akan melakukan ibadah hendaknya telebih dahulu menata mental dan jiwanya untuk benar-benar madep (menghadap) semata kepada gusti Allah, Pencipta alam semesta, sebagai bentuk kewajiban seorang hamba, dan bukan karena alasan lain. Dengan begitu ibadah yang dilakukannya bisa dikatakan ikhlas, hanya karena Allah saja (lillahi ta'ala), sehingga pada akhirnya, ibadah yang ia lakukan tersebut akan bisa diterima oleh Allah SWT sebagai amal ibadah baginya. Dalam literatur Islam sering disinggung, ada dua syarat pokok bagi diterimanya sebuah amal ibadah. Pertama ikhlas, yang kedua harus sama seperti apa yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.

Nah, ketika kita semua menyadari bahwa amal ibadah yang kita kerjakan itu hanya untuk Allah semata, maka sudah seharusnya kita tidak mengotori dan melumurinya dengan hal-hal yang bisa mengurangi kualitas amal tersebut, yang pada gilirannya nanti hal itu justru dapat mempengaruhi “penerimaan” terhadapnya, atau bahkan menggugurkannya.

Begitu juga tatkala kita mengerti bahwa amal ibadah yang kita lakukan itu mempunyai tujuan untuk “menarik perhatian” Allah SWT supaya memberikan ridla-Nya kepada kita, sudah semestinya kita tidak mencemari upaya itu dengan hal-hal yang dibenci oleh Allah sendiri. Berhenti melakukan korupsi karena tindakan itu tidak disenangi oleh Allah, walaupun kita berdalih uang hasil korupsi itu untuk disumbangkan ke panti asuhan, pendirian madrasah, masjid, untuk kepentingan rakyat, dan lain-lain. Bagaimana mungkin kita mencoba mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan tindakan-tindakan yang dilarang dan dibenciNya? Keponakan kita yang belum sekolahpun akan tahu, bahwa kita tidak akan bisa membersihkan pakaian kita yang kotor dengan bantuan kotoran itu sendiri. Karena tujuan yang baikpun harus melewati jalan yang baik pula. Dalam bukunya alhalal walharam fil islam Dr. Yusuf Alqaradlawi menyinggung, anniyyat al hasanah la tubarriru al haram, bahwa niat yang baik tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk mengerjakan tindakan yang dilarang. Atau dengan kata lain, niat yang baik saja tidak cukup bisa mengubah sesuatu yang asalnya dilarang menjadi boleh dikerjakan.     

Kita juga akan menepati semua janji yang telah kita buat, baik janji kepada Tuhan, rakyat, istri, anak, dan orang lain. Karena melanggar janji jelas termasuk hal yang tidak disenangi oleh Allah SWT, oleh sebab itu maka pelakunya kemudian digolongkan sebagai orang yang munafik.
Kitapun akan berhenti menyakiti istri, suami, tetangga, maupun orang lain karena tindakan itu juga tidak disukai oleh Allah SWT. Nabi SAW bersabda: “wa khaliqinnaasa bikhuluqin hasanin”, dan berinteraksilah kamu kepada sesama manusia dengan akhlak dan etika yang baik. Sesama manusia! tanpa harus melihat latar belakang yang dimilikinya, apakah itu agama, ras, suku, bahasa, warna kulit, kepentingan, profesi, kecenderungan, hobi, maupun lainnya. Bahkan kepada lingkunganpun (termasuk hewan dan makhluk lain) kita juga dituntut untuk berbuat baik. Sabda nabi SAW: "sesungguhnya Allah menetapkan 'etika yang baik' kepada segala sesuatu".
Demikian halnya tindakan-tindakan lain yang dilarang oleh Allah SWT akan segera kita akhiri. Sebab jika kita terus mengerjakan dan melanggengkannya berarti sama halnya dengan mengundang murka Allah secara sadar. Sudah demikian beranikah kita?
    
Jika semua hal ini dipahami, tentu ibadah haji akan bisa membawa dampak positif yang nyata bagi kehidupan. Jika setiap tahun jamaah haji kita berjumlah kurang lebih dua ratus ribu orang, dan setiap orang bisa mengubah dirinya, bahkan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Dalam waktu dekat, tentu akan lahir masyarakat yang harmonis dan damai, baldatun thayyibatun warabbun ghafuur, apalagi jika dampak itu tidak hanya ditimbulkan oleh ibadah haji saja, tetapi ibadah yang lain seperti shalat dan puasapun memiliki pengaruh yang sama (karena semuanya juga ibadah yang bertujuan untuk mencapai ridla Allah), tak mustahil Indonesia akan segera bisa keluar dari krisis multidimensi yang masih menimpanya saat ini, dan ayat alquran innassholata tanha ‘anil fakhsyai wal munkar akan bisa dipahami secara gamblang maknanya.

Namun jika hal itu tidak mau disadari bersama, maka semua ritual ibadah di atas hanya akan menjadi ritual biasa yang secara rutin dilaksanakan dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, dan hari ke hari, tanpa bisa memberikan dampak apapun bagi kehidupan kita bersama di dunia, bahkan mungkin juga tidak bisa menjanjikan sesuatu yang berharga di akhirat nanti. Paling-paling hanya akan mengubah deretan nama kita yang sebelumnya tanpa huruf 'H', menjadi H. Fulan. Kehidupan dilingkungan kitapun akan berjalan seperti sebelumnya dan akan bergerak demikian seterusnya. Yang zalim akan terus melakukan kezalimannya, dan yang teraniaya akan semakin tidak berdaya.

Akankah hal ini hanya menjadi impian dan angan-angan saja? Semoga saja tidak demikian, amin.     
  

Editor : Muhamad Tajul Mafachir




.

Selasa, 15 Januari 2013

Menteri Wakaf Sudan Terima Kunjungan PCINU


Khartoum, (NU Online)
Menteri Wakaf dan Irsyad Sudan DR Muhammad Mustofa Al-Yakuti menerima kunjungan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) di Kantor Kementerian Wakaf dan Irsyad di Khartoum, Rabu (9/1).

Pada pertemuan tersebut turut hadir Mustasyar PCINU Sudan DR Muhammad Sulaiman selaku Ketua Majlis Dakwah Kementerian Wakaf dan Irsyad, Rais Syuriyah PCINU Mirwan Akhmad Taufiq, Wakil Rais Syuriah Abdussalam, Wakatib Syuriah Zainul Alim dan A’wan Lian Fuad.

Rais Syuriyah menyampaikan rasa terima kasih kepada Menteri yang telah menerima kami atas nama Pengurus NU Sudan, dan memperkenalkan Nahdhatul Ulama lebih dekat lagi kepada bapak menteri, dan menyampaikan gagasan acara pertemuan sufi internasional yang dimotori oleh Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah yang akan diadakan di Indonesia Mendatang.

Nahdlatul Ulama adalah Organisasi kemasyarakatan yang terbanyak pengikutnya, yang memiliki tujuan menjaga ajaran-ajaran ahli sunnah wal jamaah, memiliki lembaga dan lajnah, diantaranya terdiri dari Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah yang berkecimpung menangani thariqah-thariqahnya di Indonesia yang  saat ini dipimpin oleh Habib ali Lutfi bin Yahya. 

Menindaklanjuti pertemuan internasional sufi di Kota Malang, lanjut mirwan, Para Ulama bersepakat untuk membuat jaringan thariqah se-dunia yang disebut “Majma’ As-Sufi Al-Alami”, dengan tujuan menjalin tali silaturahim, menyatukan thariqah di berbagai belahan dunia yang belum terorganisir serta semangat untuk megakkan kalimat tauhid dan mempelopori terwujudnya perdamaian dunia.

Selain itu, Menteri Wakaf dan Irsyad Sudan juga menyampaikan rasa bahagia dan senang, ketika mendengar sekilas dakwah perjalanan Nahdlatul Ulama di Indonesia.

Kami merasa bahagia bisa bertemu dengan PCINU Sudan, dakwah yang dibawakan oleh Nahdlatul Ulama yang menganut paham Ajaran ahli sunnah wal jamaah, dengan mengikuti 4 mazhab dalam fikih, Imam Ghazali dan Imam Junaidi dalam Tasawuf, Abu Musa Al-As’ari dan Abu Hasan al-maturidi dalam bidang teologi, bisa diterima di masyarakat sehingga banyak dari manusia dapat masuk Islam melalui dakwah-dakwah tersebut.

“Kita selaku hamba Allah SWT dituntut untuk berdakwah, mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran yang dibawa oleh Allah dan Rasulnya untuk menghidupkan citra Islam Rahmatan Lilalamin dan itu termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW,” ujarnya.

“Pertemuan ini semoga hubungan baik antara Sudan dan Indonesia dapat terjalin dengan baik dan kita akan mengundang PCINU Sudan dalam kegiatan-kegiatan atau even-even nanti,” tambahnya.

PCI NU Sudan Lepas Delegasi Pertemuan Sufi di Indonesia

Khartoum, (NU Online)
PCI NU Sudan melepas keberangkatan Sheikh Umar Sheikh Idris Hadroh, (mantan Dirjen Dakwah Islamiyah Sudan) dan Sheikh Muhammad Sulaiman Muhammad Ali (Dirjen Dakwah Islamiyah Sudan), anggota Majlis Ta'sisi Pertemuan Sufi International yang diselenggarakan oleh Jamiyyah Ahlu Thariqah al Mu'tabarah An Nahdliyyah (Jatman).

Mereka bertolak dari Khartoum menuju Jakarta dengan Etihad Airways, hari Sabtu, 12 Januari 2013 dan tiba di Jakarta hari Ahad, 13 Januari 2003.

Sheikh Umar sangat senang sekali dan antusias untuk bisa memberikan peran dalam kesuksesan pertemuan Sufi International nanti.

"Saya sangat mendukung acara ini dan nanti semua tokoh-tokoh sufi terkenal Sudan juga dapat memberikan sumbangsih yang besar dalam suara sufi di mata dunia," ujar Sheikh Umar disela-sela perbincangannya dengan Mirwan Akhmad Taufiq Rais Syuriyah dan Zulham Qudsi Katib PCI NU Sudan.

"Saya setiap malam, saat sahur, Wallahi, selalu mendoakan semua umat Islam dan khususnya Indonesia dan Sudan, Wallahi," tambahnya dengan serius sebelum melangkah masuk ke bandara.

Seminggu sebelum keberangkatan Sheikh Umar dan Sheikh Muhammad Sulaiman berkunjung ke pusat-pusat thariqoh di Sudan, diantaranya Ummurikhi tempat tumbuhnya Thoriqoh Sammaniah di Sudan dan juga menghadiri peresmian masjid Sheikh Al Jeili, tempat berkumpulanya para Thoriqoh yang bersumber dari Thoriqoh Qodiriyah.

"Semua warga Sudan itu NU, sebab Sudan negara warna hijau, warga sufinya semua memakai pakaian hijau," ujar Rais Syuriyah dalam perjalanan pulang.

Doa warga NU semoga sheikh Umar dengan Sheikh Muhammad selamat sampai tujuan dan dapat bergabung dengan para masyaik di Indonesia. Dan semoga Thoriqoh-thoriqoh di seluruh dunia dapat menyuarakan Islam Rahmatan lil alamin dalam menjaga nilai-nilai kemanusian dan perdamaian dunia.

Senin, 27 Agustus 2012

PCINU Sudan Lestarikan Budaya Halal Bihalal

 

Halal bihalal ini adalah merupakan fenomena budaya saling memaafkan yang terjadi di tanah air Indonesia dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu, karena dalam perjalanan kehidupan bermasyarakat, manusia senantiasa tidak bisa luput dari kesalahan atau dosa yang telah dilakukan terhadap sesamanya.

Pada moment Idul Fitri, PCINU Khartoum Sudan menyelenggarakan acara halal bihalal bagi warga negara Indonesia sekaligus pembukaan pengajian Al-Hijrah yang diselenggarakan PCINU Khartoum Sudan dua minggu sekali pada hari Jum’at (24/08) di KBRI Khartoum Sudan.

Acara tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan mahasiswa, pekerja, Nahdliyyin, Muslimat NU Sudan dan seluruh warga negara Indonesia yang berdomisili di Sudan.

Mustasyar PCI NU Sudan Muhammad Shohib Rifa’i dalam sambutannya menyampaikan bahwa halal bihalal adalah acara yang selalu dilaksanakan dari tahun ke tahun, maka dari itu ia mengajak semuanya menjaga agar acara halal bihalal dan pengajian Al Hijrah khususnya selalu istiqomah, tetap berjalan di bumi Sudan.

Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Kang Miftah sebagai ketua tanfidziyah PCI NU Sudan. Ia menyampaikan kesholehan spiritual manusia hendaknya selalu diimbangi dengan kesholehan sosial yaitu dengan saling memaafkan dan berbuat baik antar sesama.

Halal bihalal ini juga untuk mempererat hubungan silaturahmi antara warga Nahdliyyin dan warga negara Indonesia, ujar kang Miftah. 

Mau’izoh hasanah yang disampaikan Ketua LDNU Khartoum Sudan Miftahul Anwar, yang menyampaikan ketika ikhlas memaafkan kesalahan orang lain, maka hati akan lega dan jiwa menjadi tenang, tubuh pun akan menjadi rilek. Begitupun sebaliknya kalau marah atau tidak ikhlas memaafkan maka tekanan darah akan naik detak jantung menjadi cepat, jiwa bisa menjadi gelisah dan tubuh pun menjadi tidak tenang.

Kang Anwar begitu akrab disapa, menyinggung budaya halal bihalal yang sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, Sambunglah orang yang telah memutus tali silaturahmi, berilah orang yang bakhil kepadamu dan maafkanlah orang yang mendholimimu.

Acara diakhiri dengan doa oleh Rais Syuriyah Mirwan Akhmad Taufik dan salam-salaman seluruh warga negara Indonesia yang diiringi dengan sholawat nabi.