Minggu, 23 Juni 2013

Ibadah Haji, Rutinitas atau Lebih?

Muhammad Amiruddin


Para tukang batu terlihat super sibuk, bahkan harus lembur untuk mengejar target bangunan yang ditanganinya bisa ditempati jama'ah haji tahun ini. Para pedagang buah sudah meneken perjanjian untuk mengimpor berton-ton buah dengan berbagai jenisnya bagi persediaan jamaah haji. Para pemilik hotel dan rumah-rumah flat, mulai mencari tambahan pekerja lagi, cleaning service, room boy, penjaga, dan seterusnya. Syirkah (perusahaan) tertentu yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk menjaga kebersihan Masjidil Haram, juga mulai mencari dan menyeleksi para pendaftar penjaga kebersihan Baitullah selama musim haji. Tak ketinggalan para pedagang pakaian, surban, kopiah, sandal, tasbih, sajadah, emas, kitab, dan lain-lain, pun melakukan hal yang sama. Bahkan para pedagang siwak sudah mulai mencari dan mengumpulkan kayu arak untuk memenuhi permintaan jama'ah haji nanti. Dan para polisi, juga angkatan bersenjata terlihat lebih sering mengadakan apel bersama, meneliti kesiapan masing-masing, dan terus latihan untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi.

Pihak kerajaanpun tidak tinggal diam, zam-zam, jalan raya, masyair, dan semua fasilitas diperbaiki dan disediakan untuk menjamu para tamu Allah. Bahkan tak lupa juga untuk menempel slogan besar-besar, "khidamatul hujjaj syarafun lana", melayani para jemaah haji adalah kehormatan bagi kami. Sebuah slogan yang tentu saja tidak hanya ditujukan bagi kalangan mereka sendiri, tetapi juga untuk masyarakat Makkah dan sekitarnya agar memiliki tekad dan keinginan yang sama untuk mengawal dan mengiringi pelaksanaan ibadah haji supaya bisa berjalan dengan baik.

"Semoga slogan itu benar dalam realitasnya" begitu teman saya berbisik dengan suara lirih, seakan takut kedengaran yang lain. Sebab muncul sebuah gejala yang seolah ingin membalik slogan tersebut dengan slogan lain, "khidamatul hujjaj fuluusun lana", melayani para jama'ah haji adalah “uang” bagi kami. Memang benar, syaraf dan fulus bukanlah dua hal yang harus saling menafikan, bahkan keduanya bisa berjalan beriringan, ya syaraf, ya dapat fulus. Yang penting adalah menggunakan etika yang baik dan cara-cara yang benar menurut norma agama jika kita memang mengaku beragama, atau sesuai norma sosial dan susila. Soalnya -masih menurut teman saya- muncul praktek-praktek yang (semoga teman saya tidak benar) menghalalkan segala cara asal fulus bisa mengucur dari jari-jemari para jamaah haji, dan masuk berdesakan mengisi setiap ruang kosong dalam kantong saku. Sungguh memprihatinkan kalau itu benar terjadi.

Sementara itu, di belahan bumi lain para calon jamaah haji sedang khusuk mendengarkan ceramah dari pak kiai tentang haji, tentang apa yang harus dilakukan para jamaah haji ketika sudah sampai di Makkah. Cara thawaf, sai, melempar jamarat, do'a-do'a tertentu, menghindari desak-desakan, tak usah mencium hajar aswad jika membahayakan diri sendiri maupun orang lain, dan seterusnya.
Wejangan-wejanganpun tak ketinggalan untuk diberikan. Belanjalah seperlunya, jangan jor-joran, kita ini datang untuk ibadah bukan untuk belanja. Jangan mudah terpancing emosi ketika melihat keganjilan-keganjilan yang ada di sekitar kita, karena di sana nanti akan berbaur orang-orang yang punya tradisi dan latar belakang yang berbeda. Jangan sombong dan merasa diri bisa segalanya, nanti dilempar sandal orang baru tahu rasa. Jangan gegabah dan sembrono, bisa membahayakan yang lain. Manfaatkanlah waktu dengan baik selama keberadaan kita di tanah suci, karena tempatnya termasuk tempat yang mustajab dan pahala akan dilipatgandakan, lebih-lebih biaya haji semakin mahal, jangan hanya plesir dan jalan-jalan melulu sampai badan lelah kemudian tidur tanpa ingat waktu. Jagalah kebersihan badan, makanan dan minuman, juga kadarnya, supaya badan kita tetap fit dan sehat sehingga bisa melaksanakan ibadah-ibadah secara maksimal, dan lain sebagainya.   

Semua hiruk pikuk di atas selalu mengiringi datangnya sebuah upacara dan ritual ibadah terakbar yang pernah disaksikan dunia, dan selalu berulang dari tahun ke tahun, sama. Hingga manusia dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong menuju satu titik di permukaan bumi, Makkah al Mukarramah, untuk melaksanakan hal-hal yang selama ini hanya mereka pelajari dan dengarkan dari para kiai saja. Dan selama masa itu pula, mata dunia tidak terlepas dari kawasan tersebut, sampai  semuanya kemudian berjalan normal kembali seperti sedia kala.

Akankah rutinitas di atas hanya terjadi dan berjalan demikian seterusnya? Ataukah ia bisa memberikan dampak dan arti bagi sebuah tata kehidupan? Tentu saja jawabnya juga ditentukan oleh individu-individu yang menjalaninya. Bisa sekedar rutinitas, dan bisa jadi membawa sebuah perubahan dalam kehidupan.

Seperti halnya ibadah-ibadah lain, ibadah haji juga memerlukan persiapan-persiapan yang harus dipenuhi sebelumnya agar ibadah tersebut bisa berjalan dengan baik dan benar. Diantara persiapan itu adalah mental. Seseorang yang akan melakukan ibadah hendaknya telebih dahulu menata mental dan jiwanya untuk benar-benar madep (menghadap) semata kepada gusti Allah, Pencipta alam semesta, sebagai bentuk kewajiban seorang hamba, dan bukan karena alasan lain. Dengan begitu ibadah yang dilakukannya bisa dikatakan ikhlas, hanya karena Allah saja (lillahi ta'ala), sehingga pada akhirnya, ibadah yang ia lakukan tersebut akan bisa diterima oleh Allah SWT sebagai amal ibadah baginya. Dalam literatur Islam sering disinggung, ada dua syarat pokok bagi diterimanya sebuah amal ibadah. Pertama ikhlas, yang kedua harus sama seperti apa yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW.

Nah, ketika kita semua menyadari bahwa amal ibadah yang kita kerjakan itu hanya untuk Allah semata, maka sudah seharusnya kita tidak mengotori dan melumurinya dengan hal-hal yang bisa mengurangi kualitas amal tersebut, yang pada gilirannya nanti hal itu justru dapat mempengaruhi “penerimaan” terhadapnya, atau bahkan menggugurkannya.

Begitu juga tatkala kita mengerti bahwa amal ibadah yang kita lakukan itu mempunyai tujuan untuk “menarik perhatian” Allah SWT supaya memberikan ridla-Nya kepada kita, sudah semestinya kita tidak mencemari upaya itu dengan hal-hal yang dibenci oleh Allah sendiri. Berhenti melakukan korupsi karena tindakan itu tidak disenangi oleh Allah, walaupun kita berdalih uang hasil korupsi itu untuk disumbangkan ke panti asuhan, pendirian madrasah, masjid, untuk kepentingan rakyat, dan lain-lain. Bagaimana mungkin kita mencoba mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan tindakan-tindakan yang dilarang dan dibenciNya? Keponakan kita yang belum sekolahpun akan tahu, bahwa kita tidak akan bisa membersihkan pakaian kita yang kotor dengan bantuan kotoran itu sendiri. Karena tujuan yang baikpun harus melewati jalan yang baik pula. Dalam bukunya alhalal walharam fil islam Dr. Yusuf Alqaradlawi menyinggung, anniyyat al hasanah la tubarriru al haram, bahwa niat yang baik tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk mengerjakan tindakan yang dilarang. Atau dengan kata lain, niat yang baik saja tidak cukup bisa mengubah sesuatu yang asalnya dilarang menjadi boleh dikerjakan.     

Kita juga akan menepati semua janji yang telah kita buat, baik janji kepada Tuhan, rakyat, istri, anak, dan orang lain. Karena melanggar janji jelas termasuk hal yang tidak disenangi oleh Allah SWT, oleh sebab itu maka pelakunya kemudian digolongkan sebagai orang yang munafik.
Kitapun akan berhenti menyakiti istri, suami, tetangga, maupun orang lain karena tindakan itu juga tidak disukai oleh Allah SWT. Nabi SAW bersabda: “wa khaliqinnaasa bikhuluqin hasanin”, dan berinteraksilah kamu kepada sesama manusia dengan akhlak dan etika yang baik. Sesama manusia! tanpa harus melihat latar belakang yang dimilikinya, apakah itu agama, ras, suku, bahasa, warna kulit, kepentingan, profesi, kecenderungan, hobi, maupun lainnya. Bahkan kepada lingkunganpun (termasuk hewan dan makhluk lain) kita juga dituntut untuk berbuat baik. Sabda nabi SAW: "sesungguhnya Allah menetapkan 'etika yang baik' kepada segala sesuatu".
Demikian halnya tindakan-tindakan lain yang dilarang oleh Allah SWT akan segera kita akhiri. Sebab jika kita terus mengerjakan dan melanggengkannya berarti sama halnya dengan mengundang murka Allah secara sadar. Sudah demikian beranikah kita?
    
Jika semua hal ini dipahami, tentu ibadah haji akan bisa membawa dampak positif yang nyata bagi kehidupan. Jika setiap tahun jamaah haji kita berjumlah kurang lebih dua ratus ribu orang, dan setiap orang bisa mengubah dirinya, bahkan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Dalam waktu dekat, tentu akan lahir masyarakat yang harmonis dan damai, baldatun thayyibatun warabbun ghafuur, apalagi jika dampak itu tidak hanya ditimbulkan oleh ibadah haji saja, tetapi ibadah yang lain seperti shalat dan puasapun memiliki pengaruh yang sama (karena semuanya juga ibadah yang bertujuan untuk mencapai ridla Allah), tak mustahil Indonesia akan segera bisa keluar dari krisis multidimensi yang masih menimpanya saat ini, dan ayat alquran innassholata tanha ‘anil fakhsyai wal munkar akan bisa dipahami secara gamblang maknanya.

Namun jika hal itu tidak mau disadari bersama, maka semua ritual ibadah di atas hanya akan menjadi ritual biasa yang secara rutin dilaksanakan dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, dan hari ke hari, tanpa bisa memberikan dampak apapun bagi kehidupan kita bersama di dunia, bahkan mungkin juga tidak bisa menjanjikan sesuatu yang berharga di akhirat nanti. Paling-paling hanya akan mengubah deretan nama kita yang sebelumnya tanpa huruf 'H', menjadi H. Fulan. Kehidupan dilingkungan kitapun akan berjalan seperti sebelumnya dan akan bergerak demikian seterusnya. Yang zalim akan terus melakukan kezalimannya, dan yang teraniaya akan semakin tidak berdaya.

Akankah hal ini hanya menjadi impian dan angan-angan saja? Semoga saja tidak demikian, amin.     
  

Editor : Muhamad Tajul Mafachir




.