Muhammad Amiruddin
Pihak
kerajaanpun tidak tinggal diam, zam-zam, jalan raya, masyair, dan semua
fasilitas diperbaiki dan disediakan untuk menjamu para tamu Allah. Bahkan tak
lupa juga untuk menempel slogan besar-besar, "khidamatul hujjaj
syarafun lana", melayani para jemaah haji adalah kehormatan bagi kami.
Sebuah slogan yang tentu saja tidak hanya ditujukan bagi kalangan mereka
sendiri, tetapi juga untuk masyarakat Makkah dan sekitarnya agar memiliki tekad
dan keinginan yang sama untuk mengawal dan mengiringi pelaksanaan ibadah haji
supaya bisa berjalan dengan baik.
"Semoga
slogan itu benar dalam realitasnya" begitu teman saya berbisik dengan
suara lirih, seakan takut kedengaran yang lain. Sebab muncul sebuah gejala yang
seolah ingin membalik slogan tersebut dengan slogan lain, "khidamatul
hujjaj fuluusun lana", melayani para jama'ah haji adalah “uang” bagi kami.
Memang benar, syaraf dan fulus bukanlah dua hal yang harus saling
menafikan, bahkan keduanya bisa berjalan beriringan, ya syaraf, ya dapat fulus. Yang penting
adalah menggunakan etika yang baik dan cara-cara yang benar menurut norma agama
jika kita memang mengaku beragama, atau sesuai norma sosial dan susila. Soalnya
-masih menurut teman saya- muncul praktek-praktek yang (semoga teman saya tidak
benar) menghalalkan segala cara asal fulus bisa mengucur dari jari-jemari
para jamaah haji, dan masuk berdesakan mengisi setiap ruang kosong dalam
kantong saku. Sungguh memprihatinkan kalau itu benar terjadi.
Sementara
itu, di belahan bumi lain para calon jamaah haji sedang khusuk mendengarkan
ceramah dari pak kiai tentang haji, tentang apa yang harus dilakukan para
jamaah haji ketika sudah sampai di Makkah. Cara thawaf, sai, melempar jamarat,
do'a-do'a tertentu, menghindari desak-desakan, tak usah mencium hajar aswad
jika membahayakan diri sendiri maupun orang lain, dan seterusnya.
Wejangan-wejanganpun
tak ketinggalan untuk diberikan. Belanjalah seperlunya, jangan jor-joran,
kita ini datang untuk ibadah bukan untuk belanja. Jangan mudah terpancing emosi
ketika melihat keganjilan-keganjilan yang ada di sekitar kita, karena di sana nanti akan berbaur
orang-orang yang punya tradisi dan latar belakang yang berbeda. Jangan sombong dan
merasa diri bisa segalanya, nanti dilempar sandal orang baru tahu rasa. Jangan
gegabah dan sembrono, bisa membahayakan yang lain. Manfaatkanlah waktu dengan
baik selama keberadaan kita di tanah suci, karena tempatnya termasuk tempat
yang mustajab dan pahala akan dilipatgandakan, lebih-lebih biaya haji semakin
mahal, jangan hanya plesir dan jalan-jalan melulu sampai badan lelah kemudian
tidur tanpa ingat waktu. Jagalah kebersihan badan, makanan dan minuman, juga
kadarnya, supaya badan kita tetap fit dan sehat sehingga bisa melaksanakan
ibadah-ibadah secara maksimal, dan lain sebagainya.
Semua
hiruk pikuk di atas selalu mengiringi datangnya sebuah upacara dan ritual
ibadah terakbar yang pernah disaksikan dunia, dan selalu berulang dari tahun ke
tahun, sama. Hingga manusia dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong
menuju satu titik di permukaan bumi, Makkah al Mukarramah, untuk
melaksanakan hal-hal yang selama ini hanya mereka pelajari dan dengarkan dari
para kiai saja. Dan selama masa itu pula, mata dunia tidak terlepas dari
kawasan tersebut, sampai semuanya
kemudian berjalan normal kembali seperti sedia kala.
Akankah
rutinitas di atas hanya terjadi dan berjalan demikian seterusnya? Ataukah ia
bisa memberikan dampak dan arti bagi sebuah tata kehidupan? Tentu saja jawabnya
juga ditentukan oleh individu-individu yang menjalaninya. Bisa sekedar
rutinitas, dan bisa jadi membawa sebuah perubahan dalam kehidupan.
Seperti
halnya ibadah-ibadah lain, ibadah haji juga memerlukan persiapan-persiapan yang
harus dipenuhi sebelumnya agar ibadah tersebut bisa berjalan dengan baik dan
benar. Diantara persiapan itu adalah mental. Seseorang yang akan melakukan
ibadah hendaknya telebih dahulu menata mental dan jiwanya untuk benar-benar madep
(menghadap) semata kepada gusti Allah, Pencipta alam semesta, sebagai
bentuk kewajiban seorang hamba, dan bukan karena alasan lain. Dengan begitu ibadah
yang dilakukannya bisa dikatakan ikhlas, hanya karena Allah saja (lillahi
ta'ala), sehingga pada akhirnya, ibadah yang ia lakukan tersebut akan bisa
diterima oleh Allah SWT sebagai amal ibadah baginya. Dalam literatur Islam
sering disinggung, ada dua syarat pokok bagi diterimanya sebuah amal ibadah.
Pertama ikhlas, yang kedua harus sama seperti apa yang diajarkan oleh nabi
Muhammad SAW.
Nah,
ketika kita semua menyadari bahwa amal ibadah yang kita kerjakan itu hanya
untuk Allah semata, maka sudah seharusnya kita tidak mengotori dan melumurinya
dengan hal-hal yang bisa mengurangi kualitas amal tersebut, yang pada
gilirannya nanti hal itu justru dapat mempengaruhi “penerimaan” terhadapnya,
atau bahkan menggugurkannya.
Begitu
juga tatkala kita mengerti bahwa amal ibadah yang kita lakukan itu mempunyai tujuan
untuk “menarik perhatian” Allah SWT supaya memberikan ridla-Nya kepada kita, sudah
semestinya kita tidak mencemari upaya itu dengan hal-hal yang dibenci oleh
Allah sendiri. Berhenti melakukan korupsi karena tindakan itu tidak disenangi
oleh Allah, walaupun kita berdalih uang hasil korupsi itu untuk disumbangkan ke
panti asuhan, pendirian madrasah, masjid, untuk kepentingan rakyat, dan
lain-lain. Bagaimana mungkin kita mencoba mendekatkan diri kepada Allah dengan
melakukan tindakan-tindakan yang dilarang dan dibenciNya? Keponakan kita yang
belum sekolahpun akan tahu, bahwa kita tidak akan bisa membersihkan pakaian
kita yang kotor dengan bantuan kotoran itu sendiri. Karena tujuan yang baikpun
harus melewati jalan yang baik pula. Dalam bukunya alhalal walharam fil islam Dr. Yusuf Alqaradlawi menyinggung, anniyyat al hasanah
la tubarriru al haram, bahwa niat yang baik tidak bisa dijadikan sebagai
landasan untuk mengerjakan tindakan yang dilarang. Atau dengan kata lain, niat
yang baik saja tidak cukup bisa mengubah sesuatu yang asalnya dilarang menjadi
boleh dikerjakan.
Kita
juga akan menepati semua janji yang telah kita buat, baik janji kepada Tuhan,
rakyat, istri, anak, dan orang lain. Karena melanggar janji jelas termasuk hal
yang tidak disenangi oleh Allah SWT, oleh sebab itu maka pelakunya kemudian
digolongkan sebagai orang yang munafik.
Kitapun
akan berhenti menyakiti istri, suami, tetangga, maupun orang lain karena
tindakan itu juga tidak disukai oleh Allah SWT. Nabi SAW bersabda: “wa
khaliqinnaasa bikhuluqin hasanin”, dan berinteraksilah kamu kepada sesama
manusia dengan akhlak dan etika yang baik. Sesama manusia! tanpa harus melihat
latar belakang yang dimilikinya, apakah itu agama, ras, suku, bahasa, warna kulit,
kepentingan, profesi, kecenderungan, hobi, maupun lainnya. Bahkan kepada
lingkunganpun (termasuk hewan dan makhluk lain) kita juga dituntut untuk
berbuat baik. Sabda nabi SAW: "sesungguhnya Allah menetapkan 'etika yang
baik' kepada segala sesuatu".
Demikian
halnya tindakan-tindakan lain yang dilarang oleh Allah SWT akan segera kita
akhiri. Sebab jika kita terus mengerjakan dan melanggengkannya berarti sama
halnya dengan mengundang murka Allah secara sadar. Sudah demikian beranikah
kita?
Jika
semua hal ini dipahami, tentu ibadah haji akan bisa membawa dampak positif yang
nyata bagi kehidupan. Jika setiap tahun jamaah haji kita berjumlah kurang lebih
dua ratus ribu orang, dan setiap orang bisa mengubah dirinya, bahkan keluarga
dan orang-orang terdekatnya. Dalam waktu dekat, tentu akan lahir masyarakat
yang harmonis dan damai, baldatun thayyibatun warabbun ghafuur, apalagi
jika dampak itu tidak hanya ditimbulkan oleh ibadah haji saja, tetapi ibadah
yang lain seperti shalat dan puasapun memiliki pengaruh yang sama (karena
semuanya juga ibadah yang bertujuan untuk mencapai ridla Allah), tak mustahil
Indonesia akan segera bisa keluar dari krisis multidimensi yang masih menimpanya
saat ini, dan ayat alquran innassholata tanha ‘anil fakhsyai wal munkar
akan bisa dipahami secara gamblang maknanya.
Namun
jika hal itu tidak mau disadari bersama, maka semua ritual ibadah di atas hanya
akan menjadi ritual biasa yang secara rutin dilaksanakan dari tahun ke tahun,
bulan ke bulan, dan hari ke hari, tanpa bisa memberikan dampak apapun bagi
kehidupan kita bersama di dunia, bahkan mungkin juga tidak bisa menjanjikan
sesuatu yang berharga di akhirat nanti. Paling-paling hanya akan mengubah
deretan nama kita yang sebelumnya tanpa huruf 'H', menjadi H. Fulan. Kehidupan
dilingkungan kitapun akan berjalan seperti sebelumnya dan akan bergerak
demikian seterusnya. Yang zalim akan terus melakukan kezalimannya, dan yang
teraniaya akan semakin tidak berdaya.
Akankah
hal ini hanya menjadi impian dan angan-angan saja? Semoga saja tidak demikian,
amin.
Editor : Muhamad Tajul Mafachir
.