Informasi Haji 2011 PCI NU Sudan

Berita terbaru mengenai Haji 2011 Safarina Travel PCI NU Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Pelantikan PCINU Sudan 2011-2012

Acara Pelantikan PCINU Sudan 2011-2012 di Wisma NU Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Eksistensi NU di Era Modern

Acara HARLAH NU yang mengangkat tema Eksistensi NU di Era Modern. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

JSQ NU Sudan Hadiri Dukungan untuk Sudan

Jamiyyah Syifa’ul Qulub hadir dalam undangan Jaliyyah al-Arabiyyah wal Islamiyyah di Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Pelantikan NU Sudan Masa Khidmat 2010-2011

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Khartoum Sudan masa Khidmat 2010-2011 resmi dilantik. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

"HAMKA" Diskusi Reguler LAKPESDAM NU Sudan

Acara Diskusi Reguler LAKPESDAM NU Sudan kali ini mengangkat sosok HAMKA. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Sabtu, 22 Oktober 2011

"PASCA BERAKHIRNYA REZIM KHADAFI" INILAH WAKTU YANG TEPAT BAGI PERADABAN YANG BERBASIS AGAMA UNTUK KEMBALI BANGKIT.


NU Online, Sebagai seorang pemimpin, Khadafi telah berbuat banyak untuk rakyatnya, tetapi disisi lain, ia juga memiliki kesalahan yang bisa menjadi pelajaran bagi pemimpin di tempat lainnya. Demikian ujar Kang Said sebagaimana dilansir Nusudan.

“Khadafi sangat memperhatikan rakyatnya, barang-barang kebutuhan pokok murah, banyak subsidi sehingga rakyat hidup sejaktera, tetapi disisi lain, ia berkuasa terlalu lama sehingga digulingkan dengan cara-cara kekerasan,”

Menurut Kiai Said, negara yang bergolak di Timur Tengah merupakan negara yang berbentuk republik, sedangkan kerajaan sampai saat ini masih tenang-tenang saja. Ia melihat bahwa hal ini melibatkan fihak luar yang sengaja ingin membuat ketidakstabilan. “Timur Tengah kehilangan semangat ukhuwah, tawasuth dan tawazunnya,”

Fenomena yang terjadi saat ini, kata Doktor dari universitas Ummul Quro ini, merupakan fase tersendiri dari sejarah politik di Timur Tengah karena dulunya tidak ada yang mempersoalkan periode kepemimpinan, yang penting adil atau tidak dalam memimpin.

Pandangan tentang perlunya pergantian kepemimpinan secara periodik ini merupakan pandangan baru yang dipelajari sebagai hasil studi para pemuda Timur Tengah yang belajar di Barat.

Harus kita amati yang terjadi di timur tengah, fase tersendiri. Dulu Islam tidak mempersoalkan fase periode kepemimpinan, yang penting adil atau tidak.

Dalam konteks peradaban dunia,  Timur saat ini sedang mengalami kebangkitan sementara Barat sedang menuju kebangkrutan. “Barat sudah mentok dalam peradabannya karena terbebani produk mereka sendiri. Sebuah peradaban yang tidak diasarai landasan iman akan selalu menjadi beban,”.

Faktanya, semua agama besar lahir di Timur, mulai dari Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghuchu dan agama lainnya. Saat inilah waktu yang tepat bagi peradaban yang berbasis agama untuk kembali bangkit.

Selasa, 18 Oktober 2011

Kesunnahan dzikir berjamaah berdasarkan Al-Qur’an dan al- Hadits

Dzikir merupakan salah satu ciri-ciri dari seorang muslim yang cinta dan rindu kepada Robnya, Allah SWT. sebagai sang Khaliq yang telah menciptakan langit dan bumi beserta isinya, yang  akan berdampak pada ketenangan hati, jiwa dan menjadikan dekat kepada  Allah SWT.(ala bidzikrillahi tathmainnulqulub : arro’du 28). Dan dengan berdzikir hati akan selalu terjaga kesucianya sehingga secara otomatis akan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat yang dapat meruak kesucian hati tersebut.

Dzikir dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja baik sendiri maupun berjamaah sebagaimana yang disebut di dalam Al-Qur’an surah Al-kahfi ayat 28 : Dan sabarkanlah dirimu berkumpul bersama orang-orang yang menyeru kepada Tuhan di waktu pagi dan petang. Mereka mengharapkan keridhaanNya dan janganlah engkau menghindarkan pandanganmu dari mereka itu.” (al-Kahf: 28)

Dan banyak hadits-adits yang menunjukkan bahwa dzikir berjamaah merupakan sunnah yang bertendensi kepada dalil-dalil yang shohih dan diperkuat pedapat2 para ulama yang mu’tabar, yang berarti bukan bid’ah sebagaimana tuduhan salah satu kelompok baru (baca kholaf) bukan orang-orang salaf (bedakan antara orang salaf dengan kelompok salafi). yang mengatas namakan pembersih bid’ah.  akan saya sebutkan beberapa hadits yang menjadi dalil kuat dzikir berjamaah.

Ibnu Abbas bertakbir dengan lafadh : Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, wa lillahil hamdu, Allahu Akbar, wa jalla Allahu Akbar ‘alaa maa hadana. Artinya : Allah Maha Besar Allah Maha Besar Allah Maha Besar dan bagi Allah lah segala pujian, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikannya pada KITA”. [Diriwayatkan oleh Al Baihaqi 3/315 dan sanadnya shahih]

Kalimat Takbir Ibnu Abbas di atas jelas menunjukkan Takbir tersebut dilakukan berjama’ah. Sebab kalau sendiri tentu kata terakhir jadi hadany (Petunjuk yang diberikan kepada saya).

Dan disebutkan dalam riwayat al-Maruzi dari Mujahid bahwa Abu Huroiroh dan ibnu Umar keluar pada hari ied kepasar kemudian bertakbir, dan beliau berdua tidak keluar kecuali untuk hal itu. Yang berarti mereka bertakbir bersama-sama dengan orang-orang dipasar karna tujuan beliau memang agar ummat mengikuti bertakbir.

Imam Nawawi juga mengumpulkan hadits -hadits tentang Keutamaan berkumpul Untuk Berdzikir Dan Mengajak Untuk Mengikutinya Dan Larangan Memisahkan Diri Daripadanya Kalau Tanpa Uzur -Halangan- dengan hadits yang tidak diragukan lagi keshohihannya

1. Dari Abu Hurairah R.A., katanya : “Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mempunyai beberapa malaikat yang berkeliling di jalan-jalan untuk mencari para ahli dzikir, jikalau mereka menemukan sesuatu kaum yang berdzikir kepada Allah’Azza wajalla lalu mereka memanggil-kawan-kawannya : “Kemarilah, disinilah ada hajatmu -ada yang engkau semua cari-. Mereka lalu berputar disekeliling orang-orang yang berdzikir itu serta menaungi mereka dengan sayap-sayapnya sampai ke langit dunia. Tuhan mereka lalu bertanya kepada mereka, tetapi Tuhan sebenarnya lebih Maha Mengetahui hal itu. Firman Tuhan: “Apakah yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku itu?” Para malaikat menjawab : “Mereka itu sama memaha sucikan Engkau, memaha besarkan, memuji serta memaha agungkan pada-Mu -yakni bertasbih, bertakbir, bertahmid dan bertamjid-. Tuhan berfirman lagi: “Adakah mereka itu dapat melihat Aku?” Malaikat menjawab: “Tidak, demi Allah, mereka itu tidak melihat Engkau.” FirmanNya: “Bagaimanakah sekiranya mereka dapat melihat Aku?” Dijawab: “Andaikata mereka melihat Engkau, tentulah mereka akan lebih giat ibadahnya pada-Mu, lebih sangat memaha agungkan pada-Mu, juga lebih banyak pula bertasbih pada-Mu.” FirmanNya: “Apakah yang mereka minta itu?” Dijawab: “Mereka meminta syurga.” Firman-Nya: “Adakah mereka pernah melihat syurga?” Dijawab: “Tidak, demi Allah, ya Tuhan, mereka tidak pernah melihat syurga itu.” FirmanNya : “Bagaimanakah andaikata mereka dapat melihatnya?” Dijawab: “Andaikata mereka pernah melihatnya, tentulah mereka akan lebih lobanya pada syurga itu, lebih sangat mencarinya dan lebih besar keinginan mereka pada syurga tadi.”

FirmanNya : “Dari apakah mereka memohonkan perlindungan?” Dijawab: “Mereka mohon perlindungan dari pada neraka.” FirmanNya : “Adakah mereka pernah melihat neraka itu?” Dijawab: “Tidak, demi Allah mereka tidak pernah melihatnya.” FirmanNya : “ Bagaimanakah andaikata mereka pernah melihatnya?” Dijawab : “Andaikata mereka pernah melihatnya, tentulah mereka akan lebih sangat larinya dan lebih sangat takutnya pada neraka itu.” FirmanNya : “Kini Aku hendak mempersaksikan kepadamu semua bahwasanya Aku telah mengampunkan mereka itu.” Nabi SAW bersabda : “Ada salah satu diantara para malaikat itu berkata : “Di kalangan orang-orang yang berdzikir itu ada seorang yang sebenarnya tidak termasuk golongan mereka, sesungguhnya ia datang karena ada sesuatu hajat belaka.” Allah berfirman : “Mereka adalah sekawanan sekedudukan dan tidak akan celakalah orang yang suka menemani mereka itu -yakni orang yang pendatang itupun memperoleh pengampunan pula-.” (Muttafaq ‘alaih. Bukhori : 6408, muslim : 2689)

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, sabdanya : “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu mempunyai para malaikat yang berkeliling -di bumi- dan utama-utama keadaannya. Tugas mereka ialah mengikuti majelis-majelis berdzikir. Maka apabila mereka menemukan sesuatu majelis yang berisi dzikir didalamnya, merekapun lalu duduk bersama orang-orang yang berdzikir itu dan saling berputar menaungi mereka dengan sayap-sayapnya antara satu dengan yang lainnya, sehingga memenuhi tempat yang ada diantara mereka dengan langit dunia. Selanjutnya jikalau orang-orang yang berdzikir itu telah berpisah, para malaikat tadi lalu mendaki dan naik ke langit, kemudian Allah ‘Azzawajalla bertanya kepada mereka, tetapi Allah sebenarnya lebih mengetahui tentang hal itu : “Dari manakah engkau semua datang?” Mereka menjawab : “Kita semua baru datang dari hamba-hambaMu yang ada di bumi, mereka itu sama bertasbih, bertakbir, bertahlil, bertahmid serta memohonkan sesuatu padaMu.” FirmanNya: “Apakah yang mereka mohonkan padaKu?” Dijawab: “Mereka mohon akan syurgaMu.” FirmanNya: “Apakah mereka pernah melihat syurga-Ku itu?” Dijawab: “Tidak, ya Tuhan.” Firman-Nya: “Bagaimana pula sekiranya mereka pernah melihat syurgaKu itu.” Para malaikat berkata lagi: “Mereka itu juga memohonkan perlindungan pada-Mu.” Firman-Nya: “Dari apakah mereka sama memohonkan perlindungan pada-Ku?” Dijawab: “Dari neraka-Mu, ya Tuhan.” Firman-Nya: “Apakah mereka pernah melihat neraka-Ku itu?” Dijawab: “Tidak pernah.” Firman-Nya : “Bagaimana pula sekiranya mereka pernah melihat neraka-Ku.” Para malaikat itu berkata lagi : “Mereka juga memohonkan pengampunan daripadaMu.” Allah lalu berfirman: “Sungguh-sungguh Aku telah mengampuni mereka itu, kemudian Aku berikan pula apa-apa yang mereka minta dan Aku berikan perlindungan pula mereka itu dari apa-apa yang mereka mohonkan perlindungannya.” Nabi s.a.w. bersabda : “Para malaikat itu berkata: “Ya Tuhan, di kalangan mereka ada seorang hamba yang banyak sekali kesalahannya, ia hanyalah berjalan saja melalui orang-orang yang berdzikir tadi lalu duduk bersama mereka.” Allah lalu berfirman: “Kepada orang itupun saya berikan pengampunan pula. Mereka adalah kaum yang tidak akan celaka orang yang suka mengawani mereka.

2. Dari Abu Hurairah dan dari Abu Said Radhiallahu ‘Anhuma, katanya : “Rasulullah SAW bersabda : “Tiada sesuatu kaumpun yang duduk-duduk sambil berdzikir kepada Allah, melainkan dikelilingi oleh para malaikat dan ditutupi oleh kerahmatan serta turunlah kepada mereka itu ketenangan -dalam hati mereka- dan Allah mengingatkan mereka kepada makhluk-makhluk yang ada di sisinya -yakni disebut-sebutkan hal-ihwal mereka itu di kalangan para malaikat.-” (Riwayat Muslim : 2700)

Ash-Son’ani didalam kitabnya ” Subulussalam” juz 2 mengomentari bahwa hadits ini menujukkan keutamaan majlis dzikir dan orang-orang yang berdzikir dan keutamaan berkumpul untuk berdzikir dan yang dimaksud dzikir adalah tasbih, tahmid,mebaca Al-Qur;an dan sebagainya.

3. Dari Abu Waqid al-Harits bin ‘Auf RA bahwasanya Rasulullah SAW pada suatu ketika sedang duduk dalam masjid beserta orang banyak, tiba-tiba ada tiga orang yang datang. Yang dua orang terus menghadap kepada Rasululah SAW sedang yang seorang lagi lalu pergi. Kedua orang itu berdiri di depan Rasulullah SAW. Adapun yang seorang, setelah ia melihat ada tempat yang longgar dalam himpunan majelis itu, lalu terus duduk di situ, sedang yang satu lagi duduk di belakang orang banyak, sedangkan orang ketiga terus menyingkir dan pergi. Setelah Rasulullah SAW selesai -dalam mengamat-amati tiga orang tadi- lalu bersabda : “Tidakkah engkau semua suka kalau saya memberitahukan perihal tiga orang ini? Adapun yang seorang -yang melihat ada tempat longgar terus duduk di situ-, maka ia menempatkan dirinya kepada Allah, kemudian Allah memberikan tempat padanya. Adapun yang lainnya -yang duduk di belakang orang banyak-, ia adalah malu -untuk berdesak-desakan dan sikap ini terpuji-, maka Allah pun malu padanya, sedangkan yang seorang lagi -yang terus menyingkir-, ia memalingkan diri, maka Allah juga berpaling dari orang itu.” (Muttafaq ‘alaih. Bukhori : 66,muslim :2176)

4. Dari Abu Said al-Khudri RA katanya: “Mu’awiyah RA keluar menuju suatu golongan yang berhimpun dalam masjid, lalu ia berkata : “Apakah yang menyebabkan engkau semua duduk ini?” Orang-orang menjawab: “Kita duduk untuk berdzikir kepada Allah.” Ia berkata lagi: “Apakah, demi Allah, tidak ada yang menyebabkan engkau semua duduk ini melainkan karena berdzikir kepada Allah saja?” Mereka menjawab: “Ya, tidak ada yang menyebabkan kita semua duduk ini, kecuali untuk itu.” Mu’awiyah lalu berkata: “Sebenarnya saya bukannya meminta sumpah dari engkau semua itu karena sesuatu dugaan yang meragukan terhadap dirimu semua dan tiada seorangpun yang sebagaimana kedudukan saya ini dari Rasulullah s.a.w. yang lebih sedikit Hadisnya daripada saya sendiri -karena sangat berhati-hatinya meriwayatkan Hadis-. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pada suatu ketika keluar menuju suatu golongan yang berhimpun dari kalangan sahabat-sahabatnya, lalu beliau s.a.w. bersabda: “Apakah yang menyebabkan engkau semua duduk ini?” Para sahabat menjawab: “Kita duduk untuk berdzikir kepada Allah, juga memuji padaNya karena telah menunjukkan kita semua kepada Agama Islam dan mengaruniakan kenikmatan Islam itu pada kita.” Beliau s.a.w. bersabda lagi: “Apakah, demi Allah, tidak menyebabkan engkau semua duduk ini melainkan karena itu?” Sesungguhnya saya bukannya meminta sumpah dari engkau semua itu karena sesuatu dugaan yang meragukan terhadap dirimu semua, tetapi Jibril datang padaku dan memberitahukan bahwasanya Allah merasa bangga dengan engkau semua itu kepada malaikat -yakni kebanggaanNya itu ditunjukkan kepada para malaikat-.” (Riwayat Muslim : 2701)

Hadits-hadits diatas jelas meyebutkan berdzikir kepada Allah dengan memujinya, mengagungkannya, mensucikannya dan sebagainya dengan berjamaah dan membantah orang-orang yang menakwil kata halaqoh, dzikir hanya pada halaqoh ilmu saja.

Jadi, jika ada yang berpendapat bahwa dzikir berjamaah adalah bid’ah maka pendapat tersebut sangat bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Hadits yang jelas-jelas menunjukan diperbolehkan hal tersebut untuk dilakukan dan berdampak positif bagikehidupan ummat muslim , apalagi-orang awwam yang jarang sekali berdzikir kecuali jika diajak berjamaah dan itu berarti menjadikan dzikir berjamaah sebagai wahana taklim/ pembelajar ummat untuk selalu ingat dengan Allah SWT. Kalau tidak dengan metode itu, maka mau pakai metode mana lagi? untuk mendidik masyarakat..Hal ini bukan berarti saya menganggap remeh dzikir sendirian, tetapi lebih pada menjelaskan tentang masyruknya dzikir berjamaah dan bukan Bid’ah sayyiah.

Ada lagi yang berpendapat Dzikir/Takbir dengan suara keras berjama’ah boleh. Tapi tidak boleh satu suara/komando. Kalau satu suara: Bid’ah! Padahal kalau takbir sendiri-sendiri beramai-ramai dengan suara keras, niscaya yang terdengar bukan takbir lagi. Tapi cuma keributan/kegaduhan saja. Bayangkan yang satu baru Allahu Akbar, pada saat yang sama yang lain berkata “Walillahil Hamd”, yang lain lagi beda lagi. Suara yang terdengar akan kacau dan tak beraturan.

Kesimpulan saya, jika kita semua mau benar-benar mengikuti al-Quran dan Al-hadits maka tidak ada alasan untuk melarang atau menganggap dzikir berjamaah adalah bid’ah kecuali hanya orag-orang yang ta’assub/ terhadap kelompoknya dengan mengikuti hawa nafsunya dan selalu menyalahkan kelompok/orang lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya yang akan berdampak memecah belah persatuan ummat Islam.seperti saat ini.  Akhirnya, saya akan mengajak pembaca untuk selalu berdzikir baik sendiri maupun berjamaah karena sekecil apa pun itu akan membawa manfaat. Wa Allahu A’lam.

Jumat, 14 Oktober 2011

Lakpesdam NU Sudan membedah buku "Salafi" potret masa ke-emasan islam, bukan sebuah madzhab"

Nusudan.com, Khartoum 12 Oktober 2011

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Mannusia (LAKPESDAM) NU Sudan mengadakan Diskusi Dwi Mingguan di Wisma NU Sudan, arkawit. Siapa yang tidak mengenal sosok ulama kontemporer Dr. M. Said Ramadhan Al-Bhuti? barangkali beliau sudah sangat mashur dikalangan ulama dan cendekiawan muslim, diskusi kali ini membedah buku beliau yang berjudul "As-Salafiyah Marhalah Zamaniah Mubarokah La Madzhab Islamy (“Salafi” potret masa ke-emasan islam, bukan sebuah madzhab).

Bertindak sebagai Pembicara adalah Sdr Jalaluddin Majdy dengan dimoderatori Sdr Abdurrohman Ss. Acara Diskusi ini adalah program rutin dwi mingguan LAKPESDAM NU Sudan yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan wawasan warga NU di Sudan. Berikut ini adalah makalahnya sebagaimana dilansir Nusudan.com

Prolog
Berbicara mengenai sosok Prof.Dr. Said Ramadhan Al-Bouti mungkin sudah tidaklah asing lagi. Seorang ulama kharismatik masa kini yang tidak diragukan lagi kiprah dan kapasitas keilmuannya. Beliau dilahirkan pada tahun 1929 di perkampungan ‘Ain Diwar di pulau ‘’Bhutan” yang merupakan wilayah Turki di sebelah utara Iraq. Pada umur 4 tahun beliau hijrah ke Damaskus bersama ayahnya dan menetap di sana hingga kini.

Al-Bouti merupakan ulama Sunni yang memegang teguh ajaran Aqidah sunniyah Asy’ariyah. Mendapatkan License (LC) pada tahun 1955 di Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar. Dan pada tahun berikutnya berhasil mendapatkan Diploma tarbiyah (Pasca sarjana) fakultas bahasa arab. Predikat Doktoralnya diraih pada tahun 1965 prodi Ushul As-syari’ah Al-islamiyah dengan predikat cum laude di universitas yang sama.( ) Selain ahli dalam ilmu syariah islamiyah Al-Bouti juga adalah ulama yang kompeten dalam ilmu Aqidah dan filsafat ( ). Karangan-karangannya telah tersebar luas dan mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman.

Dan salah satu karya beliau yang akan pemakalah kupas adalah, “As-salafiyatu Marhalah Zamaniyah Mubaarokah La Madzhab Islamy”. Sebuah karya yang memicu pro dan kontra di tengah maraknya aktifitas pentakfiran dan pem-bid’ah-an oleh sekelompok orang yg mengatas namakan sebagai orang-orang salafi atau anshor as-sunnah. Dalam karangannya ini Dr. M. Said Ramadhan Al-Bouti mencoba untuk mensinergikan kembali benturan pandangan tersebut.

Definisi Salaf dan Perkembangannya
Masa nabi Muhammad Saw merupakan poros serta sumber sejarah. Sebab, di masa itulah Islam sebagai sebuah agama muncul untuk menggugah peradaban masyarakat waktu itu. Kalau kita melihat masa umat terdahulu, masa Rosul Saw bisa dikatakan sebagai masa khalaf (baru). Tapi, jika dibanding dengan masa setelahnya, masa Beliau adalah masa salaf (yang sudah lewat).

Salaf berasal dari kata "سلف" yang berarti dahulu. Secara etimologis, kata salaf sepadan dengan kata "قبل" yang artinya segala sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah kholaf. Kata salaf kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada generasi keemasan Islam. Yaitu tiga generasi yang telah mendapat penyaksian langsung dari Rosulullah Saw sebagai periode ummat yang terbaik. Hal ini terdapat pada salah satu hadis Nabi dari riwayatnya Abdullah bin Mas`ud: "Sebaik-baiknya manusia (khair al-nas) adalah di masaku (qarni), kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya…" ( ).

Dari hadis yang dikemukakan di atas, ada beberapa pertanyaan yang muncul. Apa yang dimaksud al-qurun al-tsalatsah (tiga abad) yang oleh Rasulullah disifati dengan al-khairiyyah (terbaik), sebagaimana yang telah disebutkan secara berturut? Apakah al-khairiyyah diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin) yang hidup pada masa itu? Atau, apakah al-khairiyyah itu diperuntukkan bagi personal (al-afrad) dari kaum Muslimin?

Dalam hal ini terdapat sebuah perbedaan, mayoritas (Jumhur) ulama memandang bahwa, al-khairiyyah diperuntukkan bagi perorangan (al-afrad) dari kaum Muslimin, walaupun terdapat perbedaan derajat di antara mereka. Sedangkan Ibn Abdulbar (363-463 H) berpendapat bahwa, al-khairiyyah hanya diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin). Menurutnya, al-khairiyyah tidak untuk perorangan. Kalau untuk perorangan digunakan kata afdlal (lebih utama), yang mana di antara mereka ada yang lebih utama dari yang lain.( )

Tidak diragukan Rasulullah menyebut orang-orang yang hidup pada tiga masa itu sebagai umat terbaik (al-khairiyyah), dikarenakan masa kehidupan mereka bagaikan lingakran mata rantai terdekat dengan masa lahirnya kenabian dan risalah Islam. Periode pertama adalah masa para sahabat yang memang mendapat bimbingan secara langsung dari nabi Muhammad Saw. Sehingga aqidah dan akhlak Mereka (Ridhwanullahi ‘alaihim) tertanam kokoh dan bersih dari berbagai macam bentuk bid’ah. Periode kedua adalah masa para tabi`in (pengikut para sahabat Rasul), di mana mereka memperoleh cahaya kenabian melalui para sahabat. Kemudian yang terakhir adalah masa tabi`i al-tabi`in. Periode ini merupakan pemungakas dari abad ‘keemasan’ yang memegang teguh puritas ajaran islam dan terbebas dari penyelewengan internal. Namun kemudian di masa inilah aliran-aliran Islam lahir sebagai reaksi terhadap kenyataan sosial yang 'kurang memuaskan'.

Jadi Salafu as-shalih adalah para sahabat yang hidup semasa Rosulullah Saw, serta para tabi’in dan atbau tabi’in. Namun pada perkembangan selanjutnya karena ada perbedaan dalam mengejawantahkan sunnah-sunnah Rosulullah Saw, muncul satu sekte bernama salafi yang mengklaim sebagai penerus salafus sholeh tersebut. Yang kemudian, pandangan dan ajaran kaum salafi itu terkesan sebagai sebuah madzhab tersendiri dalam islam.

Periode keemaasan islam itu pun mulai terkikis dengan munculnya sekte-sekte yang menyimpang dan terus berlanjut hingga kini. Hal ini menunjukkan kebenaran hadits dari riwayat Anas bin Malik yaitu, Rosulullah Saw bersabda( ) :
" . . .لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه . . ."
“. . . tidak akan datang kepadamu zaman kecuali yang lebih jelek dari zaman sebelumnya . . .”

Adapun ‘ibrah yang dapat kita ambil dari adanya hadits ini adalah satu invitasi kepada kita agar dapat mengkolaborasikan antara akal fikiran dan tingkah laku dengan adanya loyalitas kepada para salaf dengan mengikuti jejak mereka.

Dr. Said Ramadhan Al-Buthi menerangkan bahwa cara “Meneladani salafu as-shalih” bukan hanya sebatas mengkuti ucapan, perilaku, serta kebiasaan yang ditetapkan dan dijalankan oleh para pendahulu kita secara literalis, tanpa penambahan maupun pengurangan. Bahkan ulama salaf sendiri tidak berpendirian se-‘rigid’ itu. Akan tetapi, para salafus-shalih menginterptretasikan pemikiran yang telah tetap ini kepada ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum yang telah diturunkan kepada mereka dengan jelas dan qath’i di dalam kitab Allah dan hadits Rasulullah Saw. Kemudian mereka mengolahnya sesuai dengan sebab-sebab (‘illat) hukum, perkembangan zaman serta kemajuan intelektualitas menuju tatanan masyarakaat dari “as-shalih” (baik) menuju “al-ashlah” (yang lebih baik dan terbaik).( )

Jadi dari sini kita bisa mengambil sebuah simpulan bahwa para salafus-shalih pun telah berhasil menjawab tuntutan zaman. Mereka telah melakukan adaptasi dan mengakulturasi budaya satu dengan yang lainnya, dengan tetap berpedoman teguh kepada dalil qath’i yaitu al Qur'an dan as-sunnah. Bukan semata mata tekstual, kaku, ekskluif dan terpaku pada redaksi (nash) sumber hukumnya.

Salah satu contoh fleksibilitas ajaran islam telah dipraktekkan langsung oleh Rasullullah Saw dan para Sahabat. Ketika berada di mekkah, Rosul Saw dan para Sahabat mempunyai suatu kebiasaan dan adat tersendiri. Setelah mereka hijrah ke Madinah, mereka menemukan kebiasaan baru yang belum mereka temui di Makkah. Baik mengenai tata cara berpakaian, bentuk rumah maupun friksi-friksi yang lain sebagai implikasi dari interaksi antara satu sama lainnya. Semasa di Makkah mereka belum mengerti baju yang berjahit, maka ketika mereka sudah tinggal di Madinah mereka memakai baju yang berjahit dan perhiasan dari yaman. Dulu mereka juga tidak mengunakan perabotan dapur (mangkuk dan piring) yang terbuat dari beling. Yang mana sebelum itu mangkuk yang dipakai Rosulullah Saw sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik dalam hadits sohih adalah terbuat dari kayu yang tebal. setelah para sahabat mengetahuinya maka mereka mengambil mangkok itu dan menggunakannya untuk minum. ( )

Nabi juga mulai menggunakan stempel dari perak yang bertuliskan “Muhammad Rosulullah” dalam setiap surat yang dikirim kepada raja-raja semenjak tinggal di Madinah ( ). Kemudian selama sekitar tujuh tahun Nabi SAW berkhotbah dengan bersandar kepada ranting kurma. Kemudian ada seorang wanita dari golongan anshar yang menawarkan untuk membuatkan sebuah mimbar, karena wanita itu memiliki seorang budak yang menjadi tukang kayu. Kemudian nabi menerima tawaran wanita itu. Semenjak itu, nabi memakai mimbar itu untuk melakukan khotbah.( )

Ini hanyalah sedikit sampel dari fenomena-fenomena perkembangan yang bervariasi di era kehidupan salafussalih Ridlwanullahi alaihim. Bahkan fenomena seperti ini justru sudah banyak terjadi sejak abad pertama dari tiga abad yang merupakan masa keemasan (golden century) islam dengan penyaksian dari Rasulullah SAW ( ). Dan hal ini sangat kontradiktif dengan keadaan sekarang, di mana tengah berkembang biak satu gerakan yang mengklaim dirinya adalah pengikut salafus-shalih. Tetapi ajaran-ajaran yang diusung tidaklah se-fleksibel para salaf tersendiri. Oleh karena itu Dr. Said Ramadhan Al-bouti memandang bahwa penyematan kata “salafiyah” atau Ancestralisme tidaklah relevan dijadikan sebuah madzhab tersendiri. Karena itu hanya sebatas fase sejarah atau kurun waktu yang telah lampau.

Adapun eksplikasi lebih lanjut dipaparkan oleh Dr. Said Ramadhan Al-bouti dalam tiga bab besar secara eksplsit. Dan berikut ini pemakalah mencoba memaparkan sedikit khulasohnya.

Bab Pertama : "Faktor-Faktor Yang Mendorong Munculnya Al-Manhaj Al-‘Ilmi "
Bab ini bersubstansikan karakteristik para Sahabat (rhadiyallahu ‘anhum), serta kondisi-kondisi yang memicu perkembangan masyarakat muslim ditinjau dari pelbagai aspek kehidupan. Beberapa faktor tersebut adalah pertama, meluasnya wilayah ekspansi islam ke luar jazirah arab. Sebagaimana kita ketahui islam telah mengadakan ekspansinya pada masa kekhalifahan “khulafa ar-rasyidin”. Perluasannya mencakup seluruh semenanjung arab hingga Palestina, Suriah, Irak, Persia, dan Mesir. Setelah era khulafa ar-rasyidin berakhir, ekspansi islam jilid dua berlanjut di bawah kepimimpinan dinasti umayah. Pada era inilah Islam menjadi sebuah imperium besar, wilayahnya meluas sampai ke eropa. Berbeda bangsa dengan aneka ras dan suku di pelbagai pelosok dunia bernaung dalam satu aristokrasi Islam.

Sudah tentu dengan adanya perluasan wilayah ini berimplikasi pada perubahan dan perkembangan kehidupan masyarakat. Baik itu pada level cultural yang mencakup adat kebiasaan, arsitektur bangunan, serta kondisi social ekonomi yang baru. Begitu juga pada level ilmiah, muncul halaqoh-halaqoh ta’lim sebagai pusat pendidikan pertama. serta berkembangnya wacana-wacana literatur keagamaan yang “debatable”.

Faktor kedua, banyaknya pemeluk agama lain yang masuk islam dari mulai penganut yahudi, maniisme( ) , zoroastrianisme( ) dan sebagainya. Dimana mayoritas para muallaf (new comers) itu diantaranya merupakan para pemuka agama. Kemudian faktor yang ketiga juga tidak lain sebagai bentuk keberhasilan islamisasi, yaitu berbondong-bondongnya ribuan bahkan jutaan orang dari pelbagai negri masuk ke dalam agama Allah. Dan faktor yang keempat, menyebar ruaknya sekte-sekte yang menyimpang seperti “Al-Zindiqoh” atau kaum atheis yang mencela agama. Dari sinilah terbuka lebar pintu perdebatan serta pertikaian internal yang kemudian juga menjadi pembuka jendela ijtihad.

Kalau dilihat dengan telaah historis era sahabat dan tabiin keempat faktor di atas muncul pada satu kurun waktu. Dan tentunya hal ini merupakan pemicu para salafus-shalih untuk mengembangkan metodologi ilmiah dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara itu kini golongan yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus salafus-shalih malah “mangkir” dari manhaj yang dipakai oleh para salaf sendiri. Mereka memakai system yang ekslusif sehingga terkesan tidak dinamis dan bahkan melahirkan paradigma yang radikal dan fundamental.

Meski perkembangan ini membawa kepada masa kejayaan islam namun tidak dapat dipungkiri dampak negatifnya. Berbagai macam promlematika muncul sebagai ancaman yang juga merupakan efek dari keempat faktor tersebut di atas. Kesulitan krusial ini dipandang sebagai satu cakrawala yang tidak berarah dan tanpa batas. Hal ini merupakan sebab yang primordial atas munculnya berbagai sekte dan golongan. Namun para salafus-shalih tidak saling menjatuhkan atau merasa “benar sendiri” dalam mensikapi perbedaan. Mereka justru langsung mencari solusi yang terbaik.
Manhaj para salafus-shalih ini patut kita teladani untuk menyelesaikan setiap problematika yang membutuhkan penyelesaian (solving). Dan untuk mengimplementasikan ajaran islam yang kaffah, penulis menjelaskan bahwa seseorang harus terlebih dahulu mampu melewati tiga langkah (step) di bawah ini ( ) :

1. Merekonfirmasi keabsahan nash-nash yang disabdakan oleh Rosulullah Saw baik Al-quran maupun Al-hadits.
2. Memahami makna substansial nash-nash tersebut secara konperhensif sehingga memberikan satu keyakinan yang teguh pada diri kita.
3. Mengaplikasikan makna-makna serta tujuan ilahi yang tekandung dalam nash-nash tersebut.
Untuk lulus dari ke tiga langkah di atas maka seorang muslim harus mempunyai sebuah perangkat, dan perangkat itulah yang dinamakan manhaj. Dan ini merupakan manhaj yang menyeluruh untuk merekognisi ajaran islam dari mulai yang bersifat prinsipil maupun yurispundensnya.
¬¬¬¬¬
Bab Kedua : Implementasi Dari Manhaj Yang Menyeluruh (Al-Jaami’)
Pada bab kedua ini penulis mengeksplikasikan influence (pengaruh) dari manhaj jaami’ pada kehidupan seorang muslim baik dari segi spiritual maupun intelektualnya. Dengan ringkas penulis memaparkan tiga hal sebagai resultan dari manhaj itu, adalah:

A. Prinsip-prinsip primordial yang tidak dapat menimbulkan kontradiksi di dalamnya.
Beberapa hal yang harus diaplikasikan dari manhaj yang telah kita ketahui di atas diantaranya merupakan perkara yang disepakati. Dan dalam bukunya Penulis menjelaskan enam belas poin secara ringkas. Diantaranya adalah, pertama meyakini bahwa islam adalah agama Allah yang harus kita peluk. Kedua, meyakini bahwa Allah adalah Maha Esa pada dzat, sifat, maupun af’al-Nya. Kemudian juga meyakini bahwa agama islam yang hakiki terdiri dari iman, islam dan ihsan( ).

B. Penyimpangan atau penyelewengan yang tidak diragukan kebathilannya.
Di sini dijelaskan segala macam bentuk penyimpangan baik itu yang berkaitan dengan akidah, hukum maupun attitude (perilaku) yang disepakati kesesatannya. Namun hal-hal yang menyimpang ini bukanlah suatu keniscayaan yang dapat menjadikan seseorang menerima label “kafir” begitu saja. Tapi ada juga beberapa penyimpangan yang menjadikan seseorang berada pada level ibtida’, fasik, junuh (pelaku kejahatan), atau pada level antara kekufuran dan kefasikan.
Adapun contoh syudzudz yang dapat menjadikan seseorang keluar dari ajaran islam ialah segala bentuk syirik atau menyekutukan Allah. Sementara perilaku ke dua yaitu seperti segala hal (ilustrasi, keyakinan, atau perilaku) yang menjurus kepada penginterpretasian nash ssecara bebas tanpa mengindahkan kaidah-kaidah bahasa dan ilmu tafsir.

C. Perkara-perkara yang memiliki beberapa sudut pandang antara benar atau salah.
Contoh beberapa masail pada pembahasan ini kembali kepada tiga perkara ushul, yaitu pertama nash-nash mutasyabih yang mencakup ayat-ayat sifat dan hadits-hadits al-musyabahat. Seperti pentakwilan Imam Ahmad atas kata (جاء) dalam surat Al-fajr ayat 22( ) bermakna: telah datang perintah Allah, atau senada dengan firman-Nya dalam surat An-nahl ayat 32) (. Kemudian juga Al-baghawi dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas mentakwilkan kata“Istawa” dalam surat Thaha ayat 5 dengan makna irtafa’a (Maha tiinggi). Para ulama salaf dan khalaf telah berijma’ dalam mengeksegesi ayat mutasyabih ini kepada dua metode:

1. Tafwidh, maksudnya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika difahami sesuai zahir lafaznya akan merusak aqidah. Salah satu ulama yang menggunakan metode ini adalah imam Ibnu katsir.
2. dengan cara mentakwil ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil Qath’i dari Alquran dan hadits.

Perkara ushul yang kedua adalah, bid’ah definisi dan hukumnya. Ini merupakan yang paling luas serta kompleks pebahasannya. Sebagaimana kita ketahui al-ibtida’ dalam agama merupakan satu kesesatan sebagaaimana sabda Rasulullah Saw : "Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, (sebab) sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Namun apakah perubahan dan perkembangan baru dinyatakan bid’ah? Di sini Al-bouti menjelaskan ada dua hal yang memungkinkan adanya diferensiasi pandangan dalam menyematkan kata bid’ah, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat dan pengaplikasian definisi bid’ah itu sendiri pada realita kehidupan yang ada.
Dan ushul yang ketiga, tasawuf serta permasalahan-permasalahan di dalamnya. Dimana tujuan tasawwuf (misistisme) itu adalah untuk memperoleh hubungan langsung dengan sang Khaliq. Kesimpulannya ialah : kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Sang Pencipta melalui proses berkotemplasi. Namun sebagian orang memandang bahwa hal ini adalah satu bentuk kekeliruan. Dan Al-bouti menjawab statement itu dengan menyuguhkan dalil-dalil kepada kita.

Bab Ketiga : Mengklaim Diri Bermadzhab Salaf Adalah Bid’ah
Bab terakhir ini merupakan inti dari grand theme yang diangkat oleh Al-Bouti. Pada bab ini dijelaskan secara eksplisit bahwasannya bermadzhab (tamadzhub) pada satu madzhab baru yang dinamakan “As-salafiyah” adalah bid’ah. Dan perlu di-underline perbedaan antara bermadzhab dengan berittiba’seperti apa yang telah dijelaskan pada dua bab sebelumnya yaitu keharusan meneladani salafus-shalih (ittiba’ as-salaf). Kemudian Beliau berkata bahawa istilah yang digunakan oleh para ulama’ untuk menamakan kedudukan para ulama’ yang benar adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Sejarah kemunculan gerakan salafiyah
Dilihat dari sisi historisnya, Salafiyah muncul pertama kali di Mesir pada masa kolonial Inggris, dimana bertepatan dengan munculnya gerakan reformasi keagamaan (harakah al-ishlah al-dini) yang dipimpin oleh orang-orang sekaliber Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Faktor kemunculan Salafiyah sendiri sangat terkait dengan kondisi sosial masyarakat Mesir pada masa itu. Meskipun terdapat Al-Azhar dengan seluruh ulamanya, dan juga gerakan keilmuan di sekitarnya, bahkan di seantero Mesir. Akan tetapi, pada saat itujuga tengah marak berbagai macam bid`ah dan khurafat yang sudah mulai berkembang dengan sangat pesat dan signifikan.
Di lingkungan al-Azhar sendiri, berbagai aktifitas keilmuan, berubah menjadi formalitas-formalitas yang stagnan. Yang ada hanyalah kontroversi verbalistik (mumahakat lisaniyyah) dan “folklore” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan realita masyarakat. Al-Azhar bukan hanya tidak peduli dengan masyarakat, bahkan juga tidak merasa bahwa di pundaknya terdapat tanggung jawab yang besar, yaitu reformasi (al-ishlah) dan perubahan (taghyir).

Di tengah kondisi ini, ada dua kelompok yang berkembang. Kelompok pertama, berkeinginan untuk membaur dengan peradaban barat, serta melepaskan diri dari semua ikatan, bahkan pemikiran-pemikiran keislaman. Kelompok kedua, berkeinginan untuk mereformasi kaum Muslimin, dengan mengembalikan mereka kepada Islam yang benar, yaitu Islam yang terbebas dari segala macam bid`ah dan khurafat, melepaskan Islam dari otoritas ulama al-Azhar yang lebih banyak memilih menyepi dari pada melebur bersama masyarakat, untuk kemudian diikat dengan roda kehidupan modern guna dicarikan alternatif harmonisasi simbiosis dengan peradaban pendatang (al-hadlarah al-wafidah)( ).

Akan tetapi, Salafiyah pada masa itu, semata-mata hanya digunakan sebagai syi`ar saja, tidak dijadikan sebagai salah satu madzhab Islam yang harus diikuti dan dianggap sebagai madzhab yang diyakini paling benar, sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang. Jadi, sebenarnya, walaupun gerakan reformasi tersebut menggunakan istilah Salafiyah sebagai syi`ar, itu hanya merupakan sebuah upaya untuk mendekati salafus-shalih pada satu sudut padang tertentu, yaitu yang berkenaan dengan penjauhan dari segala macam bid`ah dan khurafat. Gerakan reformasi keagamaan inilah yang agaknya telah membawa pengaruh besar bagi regulasi kata Salafiyah di tengah-tengah kultur dan sosial secara umum.
Bermadzhab Salafy adalah bid’ah

Al-bouti menegaskan, “Dan apabila seorang muslim mengklaim bahwa dirinya condong kepada sebuah mazhab yang kini dikenal dengan as-salafiyyah, maka tidak diragukan lagi ia adalah seorang ahli bid’ah”( ). Hal ini dikarenakan para salafus-shalih pun tidak pernah menyematkan kata ‘salafi’ apalagi menjadikannya sebuah madzhab.

Dalam kondisi seperti ini, kita perlu melakukan diferensiasi antara al-ashalah (orisinilitas) dan al-salafiyyah, yang selama ini bercampur aduk sehingga mencapai titik bias yang kabur. Al-ashalah mempunyai konotasi positif dinamis. Dalam hal ini kita bisa mengambil sebuah contoh, misalnya, seorang Steve Jobs melakukan riset orisinil (bahts ashil) dalam bidang teknologi, yang kemudian berhasil menjadikan CEO (Chief Executive Officer) Apple dengan menghasilkan sejumlah produk inovatif, seperti iPod, iPhone, MacBook, dan kini komputer tablet iPad. Kita katakan riset orisinil, artinya bahwa ilmuan tersebut telah melakukan semacam kreasi dan inovasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, riset yang ia lakukan, tidak berangkat dari angka nol. Namun berdasarkan penemuan-penemuan sebelumnya dalam bidang teknologi (akar-akar). Ini yang berkenaan dengan al-ashalah (orisinilitas).

Sedangkan al-salafiyyah, pada pemahamannya saat ini, adalah seruan untuk meneladani jejak al-salaf . Artinya bahwa, terdapat fase historis cemerlang, di mana pada masa itu segala problematika ekonomi, sosial dan politik dapat terpecahkan. sehingga mereka mampu menerapkan keadilan dan membangun sebuah dinasti yang kokoh dan berdaulat. Jadi, yang patut dijadikan panutan adalah al-salaf yang dianggap telah menjaga nalar dari berbagai kerancuan berfikir dan memahami nash. Maka dari itu, kita harus mengikuti jejaknya, menirunya serta tidak boleh keluar dari garis-garis yang telah ditetapkan.

Epilog
“…Pengalaman sejarah bangsa Arab, pengalamannya bersama peradaban kontemporer saat ini, tidak cukup hanya mencontoh model salafus-shalih saja. Model ini sudah cukup bagi kita manakala sejarah itu adalah sejarah kita, manakala dunia, secara universal, berada di bagian dalam dunia kita...” (Abid Al-Jabiri)( )

Di era modern ini sudah banyak terjadi kontroversi, Salafiyah tidaklah efektif dan relevan untuk dijadikan role model (panutan) alternatif. Keektifitasannya akan terasa ketika kita sedang uzlah dalam sebuah dunia, yaitu dunia kita sendiri seperti apa yang dikemukakan oleh Al-Jabiri di atas. Akan tetapi, manakala kita sudah menjadi salah satu bagian dari semua, maka jalan satu-satunya untuk menjaga eksistensi dan kepribadian kita adalah menjalin hubungan dengan semuanya. Dan pengalaman sejarah di masa keemasan islam itu harus dikontekstualkan agar lebih dinamis pada masa kontemporer ini. Menciptakan new round (babak baru) yang mampu beradaptasi dengan zaman modern sekarang ini.

Buku karya Dr. Said Ramadhan Al-bouti ini memiliki surplus dalam memberi kritik dan saran, disertai pemaparan dalil-dalil yang eksplisit baik itu dalam ranah kebangkitan islam maupun ranah eksternal. Dan buku ini juga memberikan benefit (manfaat) kepada para penganut faham yang mengatas namakan dirinya adalah salafi untuk bisa merenungkan kembali pemahaman-pemahaman manhaj salafus-shalih secara konprehensif. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai referensi untuk menjawab serangan-serangan bersenjata “ibtida’” dan “takfir”.

Namun demikian tulisan pemakalah ini tidak bertujuan untuk mendiskreditkan satu golongan tertentu atas yang lainnya. Sebagaimana disampaikan oleh Al-Bouti sendiri pada kalimat sebelum prolog di dalam buku As-salafiyah ini. Tidak pula membenarkan atau menyalahkan setiap perbedaan tetapi mencoba merenungkan hal yang lebih urgen dari itu.
Wallahu A’lam Bi-As-Showab

Minggu, 02 Oktober 2011

INFORMASI HAJI 2011

Khartoum, 2 Oktober 2011,  Travel Haji Safarina yang dibentuk PCI NU Sudan resmi mengumumkan persyaratan Haji pada tahun ini. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh saudara Ketua Panitia Anas Firdaus yang dilansir nusudan.com adalah sebagai bentuk usaha PCI NU Sudan dalam rangka membantu WNI di Sudan baik mahasiswa ataupun non-mahasiswa untuk menjalankan Ibadah Haji pada tahun ini. Anas menambahkan "Untuk teman-teman yang hendak berangkat haji, segera kumpulkan berkas persyaratannya, waktunya menipis, dan untuk yang belum daftar segera mendaftar serta dilengkapi persyaratannya" demikian sebagaimana dikutip nusudan.com melalui rilis pers Safarina Travel PCI NU Sudan di khartoum.

Dalam kesempatan lain Ketua Tanfidziah PCI NU Sudan H. Lian Fuad menyampaikan rasa optimisnya akan adanya Kuota Haji bagi warga negara asing yang berdomisili di Sudan, meskipun akan ada perubahan BPIH (biaya perjalanan ibadah haji) yang cukup signifikan.

Nah, bagi yang ingin berangkat pada tahun ini dapat melengkapi persyaratan-persyaratannya. Berikut persyaratan tersebut seperti yang disampaikan resmi Staf Ahli Safarina Travel Saudara Abdul Ghofur  :

Photo 4x6 brwarna dgn background 4 lembar.
Photo 3x4 brwarna dgn background merah 4 lembar.
Photo copy passport 2 lembar.
Photo copy iqomah (visa) 2 lembar.
Surat izin (khitob) dr masing-2 universitas atau instansi.

Informasi selengkapnya juga dapat menghubungi line di bawah ini :

Anas Fidaus 0920039827
Lian Fuad 0923600427
Radhi al-Mardhi 0920084406
Abdul Ghofur 0926204971