Jumat, 14 Oktober 2011

Lakpesdam NU Sudan membedah buku "Salafi" potret masa ke-emasan islam, bukan sebuah madzhab"

Nusudan.com, Khartoum 12 Oktober 2011

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Mannusia (LAKPESDAM) NU Sudan mengadakan Diskusi Dwi Mingguan di Wisma NU Sudan, arkawit. Siapa yang tidak mengenal sosok ulama kontemporer Dr. M. Said Ramadhan Al-Bhuti? barangkali beliau sudah sangat mashur dikalangan ulama dan cendekiawan muslim, diskusi kali ini membedah buku beliau yang berjudul "As-Salafiyah Marhalah Zamaniah Mubarokah La Madzhab Islamy (“Salafi” potret masa ke-emasan islam, bukan sebuah madzhab).

Bertindak sebagai Pembicara adalah Sdr Jalaluddin Majdy dengan dimoderatori Sdr Abdurrohman Ss. Acara Diskusi ini adalah program rutin dwi mingguan LAKPESDAM NU Sudan yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan wawasan warga NU di Sudan. Berikut ini adalah makalahnya sebagaimana dilansir Nusudan.com

Prolog
Berbicara mengenai sosok Prof.Dr. Said Ramadhan Al-Bouti mungkin sudah tidaklah asing lagi. Seorang ulama kharismatik masa kini yang tidak diragukan lagi kiprah dan kapasitas keilmuannya. Beliau dilahirkan pada tahun 1929 di perkampungan ‘Ain Diwar di pulau ‘’Bhutan” yang merupakan wilayah Turki di sebelah utara Iraq. Pada umur 4 tahun beliau hijrah ke Damaskus bersama ayahnya dan menetap di sana hingga kini.

Al-Bouti merupakan ulama Sunni yang memegang teguh ajaran Aqidah sunniyah Asy’ariyah. Mendapatkan License (LC) pada tahun 1955 di Fakultas Syariah, Universitas Al-Azhar. Dan pada tahun berikutnya berhasil mendapatkan Diploma tarbiyah (Pasca sarjana) fakultas bahasa arab. Predikat Doktoralnya diraih pada tahun 1965 prodi Ushul As-syari’ah Al-islamiyah dengan predikat cum laude di universitas yang sama.( ) Selain ahli dalam ilmu syariah islamiyah Al-Bouti juga adalah ulama yang kompeten dalam ilmu Aqidah dan filsafat ( ). Karangan-karangannya telah tersebar luas dan mencakup berbagai disiplin ilmu keislaman.

Dan salah satu karya beliau yang akan pemakalah kupas adalah, “As-salafiyatu Marhalah Zamaniyah Mubaarokah La Madzhab Islamy”. Sebuah karya yang memicu pro dan kontra di tengah maraknya aktifitas pentakfiran dan pem-bid’ah-an oleh sekelompok orang yg mengatas namakan sebagai orang-orang salafi atau anshor as-sunnah. Dalam karangannya ini Dr. M. Said Ramadhan Al-Bouti mencoba untuk mensinergikan kembali benturan pandangan tersebut.

Definisi Salaf dan Perkembangannya
Masa nabi Muhammad Saw merupakan poros serta sumber sejarah. Sebab, di masa itulah Islam sebagai sebuah agama muncul untuk menggugah peradaban masyarakat waktu itu. Kalau kita melihat masa umat terdahulu, masa Rosul Saw bisa dikatakan sebagai masa khalaf (baru). Tapi, jika dibanding dengan masa setelahnya, masa Beliau adalah masa salaf (yang sudah lewat).

Salaf berasal dari kata "سلف" yang berarti dahulu. Secara etimologis, kata salaf sepadan dengan kata "قبل" yang artinya segala sesuatu yang sebelum kita. Lawan kata salaf adalah kholaf. Kata salaf kemudian menjadi sebuah terminologi untuk menunjuk pada generasi keemasan Islam. Yaitu tiga generasi yang telah mendapat penyaksian langsung dari Rosulullah Saw sebagai periode ummat yang terbaik. Hal ini terdapat pada salah satu hadis Nabi dari riwayatnya Abdullah bin Mas`ud: "Sebaik-baiknya manusia (khair al-nas) adalah di masaku (qarni), kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya…" ( ).

Dari hadis yang dikemukakan di atas, ada beberapa pertanyaan yang muncul. Apa yang dimaksud al-qurun al-tsalatsah (tiga abad) yang oleh Rasulullah disifati dengan al-khairiyyah (terbaik), sebagaimana yang telah disebutkan secara berturut? Apakah al-khairiyyah diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin) yang hidup pada masa itu? Atau, apakah al-khairiyyah itu diperuntukkan bagi personal (al-afrad) dari kaum Muslimin?

Dalam hal ini terdapat sebuah perbedaan, mayoritas (Jumhur) ulama memandang bahwa, al-khairiyyah diperuntukkan bagi perorangan (al-afrad) dari kaum Muslimin, walaupun terdapat perbedaan derajat di antara mereka. Sedangkan Ibn Abdulbar (363-463 H) berpendapat bahwa, al-khairiyyah hanya diperuntukkan bagi seluruh kaum Muslimin (majmu` al-muslimin). Menurutnya, al-khairiyyah tidak untuk perorangan. Kalau untuk perorangan digunakan kata afdlal (lebih utama), yang mana di antara mereka ada yang lebih utama dari yang lain.( )

Tidak diragukan Rasulullah menyebut orang-orang yang hidup pada tiga masa itu sebagai umat terbaik (al-khairiyyah), dikarenakan masa kehidupan mereka bagaikan lingakran mata rantai terdekat dengan masa lahirnya kenabian dan risalah Islam. Periode pertama adalah masa para sahabat yang memang mendapat bimbingan secara langsung dari nabi Muhammad Saw. Sehingga aqidah dan akhlak Mereka (Ridhwanullahi ‘alaihim) tertanam kokoh dan bersih dari berbagai macam bentuk bid’ah. Periode kedua adalah masa para tabi`in (pengikut para sahabat Rasul), di mana mereka memperoleh cahaya kenabian melalui para sahabat. Kemudian yang terakhir adalah masa tabi`i al-tabi`in. Periode ini merupakan pemungakas dari abad ‘keemasan’ yang memegang teguh puritas ajaran islam dan terbebas dari penyelewengan internal. Namun kemudian di masa inilah aliran-aliran Islam lahir sebagai reaksi terhadap kenyataan sosial yang 'kurang memuaskan'.

Jadi Salafu as-shalih adalah para sahabat yang hidup semasa Rosulullah Saw, serta para tabi’in dan atbau tabi’in. Namun pada perkembangan selanjutnya karena ada perbedaan dalam mengejawantahkan sunnah-sunnah Rosulullah Saw, muncul satu sekte bernama salafi yang mengklaim sebagai penerus salafus sholeh tersebut. Yang kemudian, pandangan dan ajaran kaum salafi itu terkesan sebagai sebuah madzhab tersendiri dalam islam.

Periode keemaasan islam itu pun mulai terkikis dengan munculnya sekte-sekte yang menyimpang dan terus berlanjut hingga kini. Hal ini menunjukkan kebenaran hadits dari riwayat Anas bin Malik yaitu, Rosulullah Saw bersabda( ) :
" . . .لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه . . ."
“. . . tidak akan datang kepadamu zaman kecuali yang lebih jelek dari zaman sebelumnya . . .”

Adapun ‘ibrah yang dapat kita ambil dari adanya hadits ini adalah satu invitasi kepada kita agar dapat mengkolaborasikan antara akal fikiran dan tingkah laku dengan adanya loyalitas kepada para salaf dengan mengikuti jejak mereka.

Dr. Said Ramadhan Al-Buthi menerangkan bahwa cara “Meneladani salafu as-shalih” bukan hanya sebatas mengkuti ucapan, perilaku, serta kebiasaan yang ditetapkan dan dijalankan oleh para pendahulu kita secara literalis, tanpa penambahan maupun pengurangan. Bahkan ulama salaf sendiri tidak berpendirian se-‘rigid’ itu. Akan tetapi, para salafus-shalih menginterptretasikan pemikiran yang telah tetap ini kepada ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum yang telah diturunkan kepada mereka dengan jelas dan qath’i di dalam kitab Allah dan hadits Rasulullah Saw. Kemudian mereka mengolahnya sesuai dengan sebab-sebab (‘illat) hukum, perkembangan zaman serta kemajuan intelektualitas menuju tatanan masyarakaat dari “as-shalih” (baik) menuju “al-ashlah” (yang lebih baik dan terbaik).( )

Jadi dari sini kita bisa mengambil sebuah simpulan bahwa para salafus-shalih pun telah berhasil menjawab tuntutan zaman. Mereka telah melakukan adaptasi dan mengakulturasi budaya satu dengan yang lainnya, dengan tetap berpedoman teguh kepada dalil qath’i yaitu al Qur'an dan as-sunnah. Bukan semata mata tekstual, kaku, ekskluif dan terpaku pada redaksi (nash) sumber hukumnya.

Salah satu contoh fleksibilitas ajaran islam telah dipraktekkan langsung oleh Rasullullah Saw dan para Sahabat. Ketika berada di mekkah, Rosul Saw dan para Sahabat mempunyai suatu kebiasaan dan adat tersendiri. Setelah mereka hijrah ke Madinah, mereka menemukan kebiasaan baru yang belum mereka temui di Makkah. Baik mengenai tata cara berpakaian, bentuk rumah maupun friksi-friksi yang lain sebagai implikasi dari interaksi antara satu sama lainnya. Semasa di Makkah mereka belum mengerti baju yang berjahit, maka ketika mereka sudah tinggal di Madinah mereka memakai baju yang berjahit dan perhiasan dari yaman. Dulu mereka juga tidak mengunakan perabotan dapur (mangkuk dan piring) yang terbuat dari beling. Yang mana sebelum itu mangkuk yang dipakai Rosulullah Saw sebagaimana yang diriwayatkan dari Anas bin Malik dalam hadits sohih adalah terbuat dari kayu yang tebal. setelah para sahabat mengetahuinya maka mereka mengambil mangkok itu dan menggunakannya untuk minum. ( )

Nabi juga mulai menggunakan stempel dari perak yang bertuliskan “Muhammad Rosulullah” dalam setiap surat yang dikirim kepada raja-raja semenjak tinggal di Madinah ( ). Kemudian selama sekitar tujuh tahun Nabi SAW berkhotbah dengan bersandar kepada ranting kurma. Kemudian ada seorang wanita dari golongan anshar yang menawarkan untuk membuatkan sebuah mimbar, karena wanita itu memiliki seorang budak yang menjadi tukang kayu. Kemudian nabi menerima tawaran wanita itu. Semenjak itu, nabi memakai mimbar itu untuk melakukan khotbah.( )

Ini hanyalah sedikit sampel dari fenomena-fenomena perkembangan yang bervariasi di era kehidupan salafussalih Ridlwanullahi alaihim. Bahkan fenomena seperti ini justru sudah banyak terjadi sejak abad pertama dari tiga abad yang merupakan masa keemasan (golden century) islam dengan penyaksian dari Rasulullah SAW ( ). Dan hal ini sangat kontradiktif dengan keadaan sekarang, di mana tengah berkembang biak satu gerakan yang mengklaim dirinya adalah pengikut salafus-shalih. Tetapi ajaran-ajaran yang diusung tidaklah se-fleksibel para salaf tersendiri. Oleh karena itu Dr. Said Ramadhan Al-bouti memandang bahwa penyematan kata “salafiyah” atau Ancestralisme tidaklah relevan dijadikan sebuah madzhab tersendiri. Karena itu hanya sebatas fase sejarah atau kurun waktu yang telah lampau.

Adapun eksplikasi lebih lanjut dipaparkan oleh Dr. Said Ramadhan Al-bouti dalam tiga bab besar secara eksplsit. Dan berikut ini pemakalah mencoba memaparkan sedikit khulasohnya.

Bab Pertama : "Faktor-Faktor Yang Mendorong Munculnya Al-Manhaj Al-‘Ilmi "
Bab ini bersubstansikan karakteristik para Sahabat (rhadiyallahu ‘anhum), serta kondisi-kondisi yang memicu perkembangan masyarakat muslim ditinjau dari pelbagai aspek kehidupan. Beberapa faktor tersebut adalah pertama, meluasnya wilayah ekspansi islam ke luar jazirah arab. Sebagaimana kita ketahui islam telah mengadakan ekspansinya pada masa kekhalifahan “khulafa ar-rasyidin”. Perluasannya mencakup seluruh semenanjung arab hingga Palestina, Suriah, Irak, Persia, dan Mesir. Setelah era khulafa ar-rasyidin berakhir, ekspansi islam jilid dua berlanjut di bawah kepimimpinan dinasti umayah. Pada era inilah Islam menjadi sebuah imperium besar, wilayahnya meluas sampai ke eropa. Berbeda bangsa dengan aneka ras dan suku di pelbagai pelosok dunia bernaung dalam satu aristokrasi Islam.

Sudah tentu dengan adanya perluasan wilayah ini berimplikasi pada perubahan dan perkembangan kehidupan masyarakat. Baik itu pada level cultural yang mencakup adat kebiasaan, arsitektur bangunan, serta kondisi social ekonomi yang baru. Begitu juga pada level ilmiah, muncul halaqoh-halaqoh ta’lim sebagai pusat pendidikan pertama. serta berkembangnya wacana-wacana literatur keagamaan yang “debatable”.

Faktor kedua, banyaknya pemeluk agama lain yang masuk islam dari mulai penganut yahudi, maniisme( ) , zoroastrianisme( ) dan sebagainya. Dimana mayoritas para muallaf (new comers) itu diantaranya merupakan para pemuka agama. Kemudian faktor yang ketiga juga tidak lain sebagai bentuk keberhasilan islamisasi, yaitu berbondong-bondongnya ribuan bahkan jutaan orang dari pelbagai negri masuk ke dalam agama Allah. Dan faktor yang keempat, menyebar ruaknya sekte-sekte yang menyimpang seperti “Al-Zindiqoh” atau kaum atheis yang mencela agama. Dari sinilah terbuka lebar pintu perdebatan serta pertikaian internal yang kemudian juga menjadi pembuka jendela ijtihad.

Kalau dilihat dengan telaah historis era sahabat dan tabiin keempat faktor di atas muncul pada satu kurun waktu. Dan tentunya hal ini merupakan pemicu para salafus-shalih untuk mengembangkan metodologi ilmiah dalam berbagai aspek kehidupan. Sementara itu kini golongan yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus salafus-shalih malah “mangkir” dari manhaj yang dipakai oleh para salaf sendiri. Mereka memakai system yang ekslusif sehingga terkesan tidak dinamis dan bahkan melahirkan paradigma yang radikal dan fundamental.

Meski perkembangan ini membawa kepada masa kejayaan islam namun tidak dapat dipungkiri dampak negatifnya. Berbagai macam promlematika muncul sebagai ancaman yang juga merupakan efek dari keempat faktor tersebut di atas. Kesulitan krusial ini dipandang sebagai satu cakrawala yang tidak berarah dan tanpa batas. Hal ini merupakan sebab yang primordial atas munculnya berbagai sekte dan golongan. Namun para salafus-shalih tidak saling menjatuhkan atau merasa “benar sendiri” dalam mensikapi perbedaan. Mereka justru langsung mencari solusi yang terbaik.
Manhaj para salafus-shalih ini patut kita teladani untuk menyelesaikan setiap problematika yang membutuhkan penyelesaian (solving). Dan untuk mengimplementasikan ajaran islam yang kaffah, penulis menjelaskan bahwa seseorang harus terlebih dahulu mampu melewati tiga langkah (step) di bawah ini ( ) :

1. Merekonfirmasi keabsahan nash-nash yang disabdakan oleh Rosulullah Saw baik Al-quran maupun Al-hadits.
2. Memahami makna substansial nash-nash tersebut secara konperhensif sehingga memberikan satu keyakinan yang teguh pada diri kita.
3. Mengaplikasikan makna-makna serta tujuan ilahi yang tekandung dalam nash-nash tersebut.
Untuk lulus dari ke tiga langkah di atas maka seorang muslim harus mempunyai sebuah perangkat, dan perangkat itulah yang dinamakan manhaj. Dan ini merupakan manhaj yang menyeluruh untuk merekognisi ajaran islam dari mulai yang bersifat prinsipil maupun yurispundensnya.
¬¬¬¬¬
Bab Kedua : Implementasi Dari Manhaj Yang Menyeluruh (Al-Jaami’)
Pada bab kedua ini penulis mengeksplikasikan influence (pengaruh) dari manhaj jaami’ pada kehidupan seorang muslim baik dari segi spiritual maupun intelektualnya. Dengan ringkas penulis memaparkan tiga hal sebagai resultan dari manhaj itu, adalah:

A. Prinsip-prinsip primordial yang tidak dapat menimbulkan kontradiksi di dalamnya.
Beberapa hal yang harus diaplikasikan dari manhaj yang telah kita ketahui di atas diantaranya merupakan perkara yang disepakati. Dan dalam bukunya Penulis menjelaskan enam belas poin secara ringkas. Diantaranya adalah, pertama meyakini bahwa islam adalah agama Allah yang harus kita peluk. Kedua, meyakini bahwa Allah adalah Maha Esa pada dzat, sifat, maupun af’al-Nya. Kemudian juga meyakini bahwa agama islam yang hakiki terdiri dari iman, islam dan ihsan( ).

B. Penyimpangan atau penyelewengan yang tidak diragukan kebathilannya.
Di sini dijelaskan segala macam bentuk penyimpangan baik itu yang berkaitan dengan akidah, hukum maupun attitude (perilaku) yang disepakati kesesatannya. Namun hal-hal yang menyimpang ini bukanlah suatu keniscayaan yang dapat menjadikan seseorang menerima label “kafir” begitu saja. Tapi ada juga beberapa penyimpangan yang menjadikan seseorang berada pada level ibtida’, fasik, junuh (pelaku kejahatan), atau pada level antara kekufuran dan kefasikan.
Adapun contoh syudzudz yang dapat menjadikan seseorang keluar dari ajaran islam ialah segala bentuk syirik atau menyekutukan Allah. Sementara perilaku ke dua yaitu seperti segala hal (ilustrasi, keyakinan, atau perilaku) yang menjurus kepada penginterpretasian nash ssecara bebas tanpa mengindahkan kaidah-kaidah bahasa dan ilmu tafsir.

C. Perkara-perkara yang memiliki beberapa sudut pandang antara benar atau salah.
Contoh beberapa masail pada pembahasan ini kembali kepada tiga perkara ushul, yaitu pertama nash-nash mutasyabih yang mencakup ayat-ayat sifat dan hadits-hadits al-musyabahat. Seperti pentakwilan Imam Ahmad atas kata (جاء) dalam surat Al-fajr ayat 22( ) bermakna: telah datang perintah Allah, atau senada dengan firman-Nya dalam surat An-nahl ayat 32) (. Kemudian juga Al-baghawi dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas mentakwilkan kata“Istawa” dalam surat Thaha ayat 5 dengan makna irtafa’a (Maha tiinggi). Para ulama salaf dan khalaf telah berijma’ dalam mengeksegesi ayat mutasyabih ini kepada dua metode:

1. Tafwidh, maksudnya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika difahami sesuai zahir lafaznya akan merusak aqidah. Salah satu ulama yang menggunakan metode ini adalah imam Ibnu katsir.
2. dengan cara mentakwil ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil Qath’i dari Alquran dan hadits.

Perkara ushul yang kedua adalah, bid’ah definisi dan hukumnya. Ini merupakan yang paling luas serta kompleks pebahasannya. Sebagaimana kita ketahui al-ibtida’ dalam agama merupakan satu kesesatan sebagaaimana sabda Rasulullah Saw : "Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru, (sebab) sesungguhnya setiap perkara yang baru itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Namun apakah perubahan dan perkembangan baru dinyatakan bid’ah? Di sini Al-bouti menjelaskan ada dua hal yang memungkinkan adanya diferensiasi pandangan dalam menyematkan kata bid’ah, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat dan pengaplikasian definisi bid’ah itu sendiri pada realita kehidupan yang ada.
Dan ushul yang ketiga, tasawuf serta permasalahan-permasalahan di dalamnya. Dimana tujuan tasawwuf (misistisme) itu adalah untuk memperoleh hubungan langsung dengan sang Khaliq. Kesimpulannya ialah : kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Sang Pencipta melalui proses berkotemplasi. Namun sebagian orang memandang bahwa hal ini adalah satu bentuk kekeliruan. Dan Al-bouti menjawab statement itu dengan menyuguhkan dalil-dalil kepada kita.

Bab Ketiga : Mengklaim Diri Bermadzhab Salaf Adalah Bid’ah
Bab terakhir ini merupakan inti dari grand theme yang diangkat oleh Al-Bouti. Pada bab ini dijelaskan secara eksplisit bahwasannya bermadzhab (tamadzhub) pada satu madzhab baru yang dinamakan “As-salafiyah” adalah bid’ah. Dan perlu di-underline perbedaan antara bermadzhab dengan berittiba’seperti apa yang telah dijelaskan pada dua bab sebelumnya yaitu keharusan meneladani salafus-shalih (ittiba’ as-salaf). Kemudian Beliau berkata bahawa istilah yang digunakan oleh para ulama’ untuk menamakan kedudukan para ulama’ yang benar adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Sejarah kemunculan gerakan salafiyah
Dilihat dari sisi historisnya, Salafiyah muncul pertama kali di Mesir pada masa kolonial Inggris, dimana bertepatan dengan munculnya gerakan reformasi keagamaan (harakah al-ishlah al-dini) yang dipimpin oleh orang-orang sekaliber Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Faktor kemunculan Salafiyah sendiri sangat terkait dengan kondisi sosial masyarakat Mesir pada masa itu. Meskipun terdapat Al-Azhar dengan seluruh ulamanya, dan juga gerakan keilmuan di sekitarnya, bahkan di seantero Mesir. Akan tetapi, pada saat itujuga tengah marak berbagai macam bid`ah dan khurafat yang sudah mulai berkembang dengan sangat pesat dan signifikan.
Di lingkungan al-Azhar sendiri, berbagai aktifitas keilmuan, berubah menjadi formalitas-formalitas yang stagnan. Yang ada hanyalah kontroversi verbalistik (mumahakat lisaniyyah) dan “folklore” yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan realita masyarakat. Al-Azhar bukan hanya tidak peduli dengan masyarakat, bahkan juga tidak merasa bahwa di pundaknya terdapat tanggung jawab yang besar, yaitu reformasi (al-ishlah) dan perubahan (taghyir).

Di tengah kondisi ini, ada dua kelompok yang berkembang. Kelompok pertama, berkeinginan untuk membaur dengan peradaban barat, serta melepaskan diri dari semua ikatan, bahkan pemikiran-pemikiran keislaman. Kelompok kedua, berkeinginan untuk mereformasi kaum Muslimin, dengan mengembalikan mereka kepada Islam yang benar, yaitu Islam yang terbebas dari segala macam bid`ah dan khurafat, melepaskan Islam dari otoritas ulama al-Azhar yang lebih banyak memilih menyepi dari pada melebur bersama masyarakat, untuk kemudian diikat dengan roda kehidupan modern guna dicarikan alternatif harmonisasi simbiosis dengan peradaban pendatang (al-hadlarah al-wafidah)( ).

Akan tetapi, Salafiyah pada masa itu, semata-mata hanya digunakan sebagai syi`ar saja, tidak dijadikan sebagai salah satu madzhab Islam yang harus diikuti dan dianggap sebagai madzhab yang diyakini paling benar, sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang. Jadi, sebenarnya, walaupun gerakan reformasi tersebut menggunakan istilah Salafiyah sebagai syi`ar, itu hanya merupakan sebuah upaya untuk mendekati salafus-shalih pada satu sudut padang tertentu, yaitu yang berkenaan dengan penjauhan dari segala macam bid`ah dan khurafat. Gerakan reformasi keagamaan inilah yang agaknya telah membawa pengaruh besar bagi regulasi kata Salafiyah di tengah-tengah kultur dan sosial secara umum.
Bermadzhab Salafy adalah bid’ah

Al-bouti menegaskan, “Dan apabila seorang muslim mengklaim bahwa dirinya condong kepada sebuah mazhab yang kini dikenal dengan as-salafiyyah, maka tidak diragukan lagi ia adalah seorang ahli bid’ah”( ). Hal ini dikarenakan para salafus-shalih pun tidak pernah menyematkan kata ‘salafi’ apalagi menjadikannya sebuah madzhab.

Dalam kondisi seperti ini, kita perlu melakukan diferensiasi antara al-ashalah (orisinilitas) dan al-salafiyyah, yang selama ini bercampur aduk sehingga mencapai titik bias yang kabur. Al-ashalah mempunyai konotasi positif dinamis. Dalam hal ini kita bisa mengambil sebuah contoh, misalnya, seorang Steve Jobs melakukan riset orisinil (bahts ashil) dalam bidang teknologi, yang kemudian berhasil menjadikan CEO (Chief Executive Officer) Apple dengan menghasilkan sejumlah produk inovatif, seperti iPod, iPhone, MacBook, dan kini komputer tablet iPad. Kita katakan riset orisinil, artinya bahwa ilmuan tersebut telah melakukan semacam kreasi dan inovasi yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, riset yang ia lakukan, tidak berangkat dari angka nol. Namun berdasarkan penemuan-penemuan sebelumnya dalam bidang teknologi (akar-akar). Ini yang berkenaan dengan al-ashalah (orisinilitas).

Sedangkan al-salafiyyah, pada pemahamannya saat ini, adalah seruan untuk meneladani jejak al-salaf . Artinya bahwa, terdapat fase historis cemerlang, di mana pada masa itu segala problematika ekonomi, sosial dan politik dapat terpecahkan. sehingga mereka mampu menerapkan keadilan dan membangun sebuah dinasti yang kokoh dan berdaulat. Jadi, yang patut dijadikan panutan adalah al-salaf yang dianggap telah menjaga nalar dari berbagai kerancuan berfikir dan memahami nash. Maka dari itu, kita harus mengikuti jejaknya, menirunya serta tidak boleh keluar dari garis-garis yang telah ditetapkan.

Epilog
“…Pengalaman sejarah bangsa Arab, pengalamannya bersama peradaban kontemporer saat ini, tidak cukup hanya mencontoh model salafus-shalih saja. Model ini sudah cukup bagi kita manakala sejarah itu adalah sejarah kita, manakala dunia, secara universal, berada di bagian dalam dunia kita...” (Abid Al-Jabiri)( )

Di era modern ini sudah banyak terjadi kontroversi, Salafiyah tidaklah efektif dan relevan untuk dijadikan role model (panutan) alternatif. Keektifitasannya akan terasa ketika kita sedang uzlah dalam sebuah dunia, yaitu dunia kita sendiri seperti apa yang dikemukakan oleh Al-Jabiri di atas. Akan tetapi, manakala kita sudah menjadi salah satu bagian dari semua, maka jalan satu-satunya untuk menjaga eksistensi dan kepribadian kita adalah menjalin hubungan dengan semuanya. Dan pengalaman sejarah di masa keemasan islam itu harus dikontekstualkan agar lebih dinamis pada masa kontemporer ini. Menciptakan new round (babak baru) yang mampu beradaptasi dengan zaman modern sekarang ini.

Buku karya Dr. Said Ramadhan Al-bouti ini memiliki surplus dalam memberi kritik dan saran, disertai pemaparan dalil-dalil yang eksplisit baik itu dalam ranah kebangkitan islam maupun ranah eksternal. Dan buku ini juga memberikan benefit (manfaat) kepada para penganut faham yang mengatas namakan dirinya adalah salafi untuk bisa merenungkan kembali pemahaman-pemahaman manhaj salafus-shalih secara konprehensif. Buku ini juga dapat dijadikan sebagai referensi untuk menjawab serangan-serangan bersenjata “ibtida’” dan “takfir”.

Namun demikian tulisan pemakalah ini tidak bertujuan untuk mendiskreditkan satu golongan tertentu atas yang lainnya. Sebagaimana disampaikan oleh Al-Bouti sendiri pada kalimat sebelum prolog di dalam buku As-salafiyah ini. Tidak pula membenarkan atau menyalahkan setiap perbedaan tetapi mencoba merenungkan hal yang lebih urgen dari itu.
Wallahu A’lam Bi-As-Showab