Misbachul Anam MS
Dalam dasawarsa terakhir ini kita seringkali dihadapkan pada
peristiwa yang menggetarkan sisi kemanusiaan kita dengan banyaknya serangkaian
aksi yang seringkali menelan korban baik muslim maupun non muslim seperti
peristiwa 11 September 2001 yang fenomenal, pemboman hotel Marriot dan beberapa
kafe di Bali, penyanderaan dan eksekusi yang dilakukukan terhadap reporter
asing di Afghanistan sampai yang terakhir adalah pemboman yang terjadi di
kawasan wisata Sharm El-Sheikh di Mesir. Yang lebih memiriskan hati kita adalah
bahwa serangkaian aksi tersebut seringkali dilakukan atas nama jihad atau
perang suci (holy war) sehingga dampak dari hal itu adalah bahwa dikalangan
publik di barat dan negara-negara non muslim, Islam seringkali di identikkan
dengan “terorisme, fundamentalisme dan intoleransi”. Contoh dari bagaimana
negatifnya pandangan kalangan non muslim terhadap Islam adalah pernyataan Paus
Benediktus XVI baru-baru ini saat menyampaikan kuliah teologi di sebuah
universitas di Jerman mengutip perkataan salah seorang Kaisar Bizantium Emanuel
di abad 14 “Tunjukkan padaku apa yang baru dari Muhammad selain ajaran yang
berbau iblis dan perintah menyebarkan agama dengan pedang” padahal di kalangan
muslim sendiri Islam di yakini di turunkan Tuhan kepada Muhammad SAW dengan
misi menyebarkan kasih sayang (rahmah) bagi semesta alam ”Wa maa ja’alnaaka
illaa rahmatan lil ‘alamiin” walaupun tidak dapat kita pungkiri bahwa
secara praksis di kalangan Islam sendiri ada kelompok yang memaknai jihad lebih
kearah jihad fisik yang bersifat ofensif sehingga menampilkan sosok Islam yang
garang, destruktif dan intoleran, akan tetapi dengan tidak bermaksud untuk
berapologi diantara dua pandangan tersebut kita tentu lebih memilih pandangan
yang menghadirkan Islam sebagai agama yang damai, toleran dan penebar kasih
sayang sebab secara etimologis kata Islam sendiri pararel dengan kata salam
yang berarti damai dan secara realita pandangan seperti inilah yang tentu lebih
memihak kepada kemaslahatan dunia, pun demikian pandangan seperti ini ternyata
belum cukup untuk menjawab realita yang ada karena agama yang secara
normatif-konseptual merupakan rahmat namun historisitasnya ternyata bisa
berbeda sama sekali.
Saat penulis masih berada di Indonesia penulis sempat menyaksikan
sebuah acara di salah satu stasiun tv swasta yang bertemakan “Antara hitan dan
putih” yang menyuguhkan sebuah perdebatan menarik antara dua pemaknaan jihad
yang berbeda, kelompok satu yang bisa dikatakan merupakan representasi dari Islam
moderat lebih memaknai jihad dengan dua pemaknaan yaitu jihad fisik yang
bersifat defensif dan jihad non fisik yang dalam aplikasinya bisa sangat luas
meliputi segala amal perbuatan yang mempunyai nilai kebajikan, sementara
kelompok kedua yang mewakili Islam fundamentalis cenderung memaknai jihad
sebagai perang suci bahkan salah satu diantara mereka yang merupakan salah satu
pelaku bom bali dengan sangat ekstrim mengatakan bahwa jihad hanya mempunyai
satu penafsiran yaitu “qital” (perang fisik) berhadapan dengan non
muslim dan mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk pengabdian
terhadap agama yang balasannya tidak lain adalah surga.
Dalam dunia diskursus segala jenis pemaknaan atas teks mungkin
adalah sah-sah saja karena menurut sebuah teori linguistik sebuah teks
sepenuhnya adalah milik pembaca, atau dalam pernyataan yang lebih ekstrim
dikatakan bahwa dalam persoalan tafsir pemilik teks tidak punya wewenang
sedikitpun untuk menyatakan bahwa maksud yang ia kehendaki adalah yang paling
mewakili kebenaran, “pengarang telah mati” demikian kata Barthes dan Foucsult,
tapi persoalannya ketika sebuah penafsiran tersebut ternyata bertentangan
dengan prinsip-prinsip humanisme bahkan mempunyai potensi merusak terhadap
tatanan dunia dan peradaban maka menjadi patut untuk diimani bahwa perlawanan
terhadapnya adalah sebuah keniscayaan.
Berbicara tentang konsep jihad Louis Makluf dalam Munjid fi al-Lughah
wa al-A’lam menyebutkan bahwa jihad secara etimologis berasal dari kata jahada
yang bermakna mengerahkan daya
upaya, kemudian dalam artian yang lebih khusus dikatakan sebagai upaya
memerangi musuh dengan tujuan pembelaan terhadap agama. Dalam Al-Qur’an sendiri
kata jihad dan kata yang mempunyai akar kata yang sama dengannya disebutkaan
kurang lebih dalam 39 ayat yang terpencar disekitar 19 surat baik makkiyah maupun madaniyah. Sementara
dalam leksikon Arab klasik kata jihad merujuk ketiga makna yaitu perjuangan
secara fisik, perjuangan melawan hawa nafsu, setan (mujahadah), dan berjuang
dalam menelorkan gagasan-gagasan yang positif (ijtihad). Dalam konteks
ayat-ayat yang turun di Makkah jihad lebih banyak dilakukan melalui persuasi
yang tercermin dalam QS.19:5 atas dasar itu pada masa ini jihad lebih bermakna
etis, moral dan spiritual sedangkan dalam konteks ayat-ayat yang turun di
Madinah, jihad seringkali diartikan dengan makna yang lebih luas yaitu
“mengerahkan segala upaya” yang di dalamnya mencakup perang secara fisik.
Jika kita menengok sejarah awal kaum muslimin jihad dalam artian
perang fisik menemukan momentumnya ketika orang-orang muslim berperang melawan
orang-orang Makkah pada peristiwa perang Badar Kubra pada tahun kedua Hijrah
bertepatan dengan 624 M, pun kalau kita lihat lebih lanjut jihad fisik yang
dilakukan Nabi beserta para sahabat pada peristiwa perang Badar lebih merujuk
ke perang dalam artian yang defensif yaitu demi menjaga kelangsungan masyarakat
muslim di Madinah yang pada saat itu masih merupakan embrio kecil dan untuk
mempertahankan keyakinan ummat Islam dari serangan orang-orang Makkah yang
tidak senag Islam berkembang di tanah Arab. Dengan demikian pengidentikan jihad
hanya sebagai perang fisik yang ofensif apalagi menganggapnya sebagai langgam
bahasa dakwah Islam adalah tidak tepat karena pada masa awal penyebarannya Nabi
melakukan dakwah bukan dengan landasan perang dan pedang akan tetapi dengan
landasan kebijaksanaan dan semangat mengajak kepada kebaikan dengan nasehat
yang baik berdasarkan perintah Tuhan “Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana
dan nasehat yang baik” dan itu berlangsung selama sepuluh tahun sejak di utusnya
Nabi. Selain itu pemaknaan jihad sebagai perang ofensif adalah bertentangan
dengan beberapa landasan teologis dalam Al-Quran dan Hadits, diantaranya
QS.4:114 “tidak ada kebaikan dalam kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali
bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah, berbuat
kebaikan, atau mengupayakan perdamaian diantara manusia” dan di sebuah hadits
di sebutkan Al-Hafiz Abu Bakr Al-Bazzar meriwayatkan dari Anas ra, bahwasanya
Rasulullah SAW berkata kepada Abu Ayub : “Maukah kamu aku tunjukkan kepada
suatu perniagaan? Abu Ayub berkata: “Mau wahai Rasulullah” kemudian Rasulullah
bersabda: “Hendaknya kamu mengupayakan perdamaian diantara manusia jika mereka
saling merusak satu sama lain dan berusahalah merekatkan mereka jika mereka saling
membuat jarak. Disamping itu perang juga bertentangan dengan hati nurani dan
kesucian jiwa yang dalam hal ini diwakili oleh ucapan para malaikat ketika
mengungakapkan keberatannya atas penciptaan manusia karena dikhawatirkan akan
membuat kerusakan dan pertumpahan darah (QS 2:30). Kalau kita tarik dalam
konteks negara modern yang memiliki senjata pemusnah massal yang dalam sekali
sasaran saja bisa meluluh lantakkan dunia dengan banyaknya korban yang
berjatuhan jelas makna jihad dalam artian perang fisik berpotensi memporak
porandakan tataran dunia, dan peradaban yang terdiri atas sumber daya alam dan
manusia ini tidak mungkin dibangun atas landasan perang. Kita tentu tidak ingin
perang dunia terulang kembali bukan?
Akhirnya penulis berpendapat bahwa jihad dalam konteks kekinian
lebih tepat jika di maknai sebagai upaya melawan kecenderungan-kecenderungan
negatif dalam diri manusia sebagaimana sabda Nabi setelah perang Badar ketika
melihat bahwa pengertian konsep ini telah melampui makna spiritualnya “kita
kembali dari jihad kecil (perang badar) menuju jihad akbar (perang melawan hawa
nafsu), dan juga bisa dimaknai sebagai upaya mewujudkan keadilan, kemajuan dan
perdamaian antar ummat manusia. Wallahu a’lam bisshawaab (otoritas
kebenaran hanya di tangan Tuhan)
Arsip : ex Majalah Tathwirul Afkar 2006