Informasi Haji 2011 PCI NU Sudan

Berita terbaru mengenai Haji 2011 Safarina Travel PCI NU Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Pelantikan PCINU Sudan 2011-2012

Acara Pelantikan PCINU Sudan 2011-2012 di Wisma NU Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Eksistensi NU di Era Modern

Acara HARLAH NU yang mengangkat tema Eksistensi NU di Era Modern. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

JSQ NU Sudan Hadiri Dukungan untuk Sudan

Jamiyyah Syifa’ul Qulub hadir dalam undangan Jaliyyah al-Arabiyyah wal Islamiyyah di Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Pelantikan NU Sudan Masa Khidmat 2010-2011

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Khartoum Sudan masa Khidmat 2010-2011 resmi dilantik. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

"HAMKA" Diskusi Reguler LAKPESDAM NU Sudan

Acara Diskusi Reguler LAKPESDAM NU Sudan kali ini mengangkat sosok HAMKA. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Jumat, 25 November 2011

Konsep NU dalam Bertasawuf

         Konsep dalam kamus KBBI berarti rancangan atau idea atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret. Kata ini berasal dari bahasa Inggris yaitu concept yang bila di”bahasa arabkan” menjadi “mafhum”.NU sendiri adalah sebuah organisasi yang didirikan pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) oleh para ulama yang mewakili pesantren pesantren di Indonesia sebagai wujud sikap penolakan dari gerakan wahabi yang muncul dari Arab Saudi.Sedangkan Tasawuf adalah cara untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya.

            Berangkat dari judul di atas, maksud dari penulis memberi judul tersebut adalah “Bagaimana mafhum tasawuf menurut NU?”. Atau dengan istilah lain, “Bagaimana NU memahami tasawuf?” Dan “Bagaimana NU bertasawuf?”. Lebih gamblangnya adalah, tasawuf yang dipraktekkan oleh NU itu seperti apa sih?.  Di samping judul ini merupakan permintaan teman teman dari LTN PCI NU Khartoum Sudan, judul ini memiliki relevansi sebagai satu bentuk kepedulian penulis untuk mempelajari kembali “paham” ke”NU”an dalam bidang tasawuf.

          Penulis tidak ingin berkutat kepada definisi tasawuf yang dipaparkan oleh para ulama, tidak pula penulis ingin menggambarkan sejarah bagaimana Tasawuf berkembang dari masa ke masa, bukan pula penulis ingin menulis tentang tasawuf itu sendiri.Penulis “hanya” ingin merumuskan bagaimana NU bertasawuf. Itu saja. Sehingga tulisan ini bisa menjadi rujukan bagi para kader Nahdlatul Ulama yang “ingin” terjun ke dunia “sufi”. Mengingat saat ini banyak aliran sufi yang muncul dan relatif aneh dan baru bagi kalangan Nahdliyyin.
Dalam Qonun asasi yang ditulis oleh Rais Akbar NU Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, beliau hanya menyebutkan rumusan Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam bidang fikih yaitu keharusan mengikuti empat (4) madzhab yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan bidang tasawuf beliau tidak menyebutkan secara khusus. Namun yang menarik dari tulisan beliau adalah beliau sangat mengkritik Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Inilah yang menjadi alasan kuat para ulama untuk bersatu mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama.

           Dalam perkembangan selanjutnya, Tasawuf mendapat perhatian khusus dari kalangan ulama NU seperti  KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan DR. KH. Tolchah Hasan.Mereka menjabarkan banyak konsep tentang Aswaja wa bil khusus tentang tasawuf atau akhlaq sampai pada perkembangan selanjutnya, tasawuf menurut NU adalah Mengikuti Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali.Tentu menarik untuk dicerna kenapa para ulama NU mengambil keputusan untuk menerima tasawuf di area “Aswaja” yang di lain pihak oleh Wahabi sangat diperangi dan sangat dimusuhi.

           Bagi kita generasi muda NU, pasti sudah mengenal dua tokoh tersebut. Syekh Junaid al Baghdadi yang sering dikutip qoulnya oleh para ulama dan kiai kita dalam setiap kesempatan, apalagi dengan sosok Syekh Abu Hamid Al Ghazali yang mempunyai karya masterpiece yaitu kitab Ihya ‘Ulumuddin yang merupakan bacaan wajib bagi para pengamal tasawuf di Indonesia.

            Dari titik tolak dua tokoh ini, penulis ingin mempelajari ilmu tasawuf yang menurut sebagian generasi muda, ilmu ini sangat sulit dilakukan. Karena harus melalui tahapan tahapan latihan dan tempaan. Dan tentu, tasawuf ala dua tokoh inilah yang benar benar diakui oleh organisasi Islam terbesar di dunia ini.

Tasawuf menurut Syekh Junaid al Baghdadi dan Al Ghazali

            Kedua tokoh ini merupakan panutan umat Islam dalam menjalani ajaran sufi. Bukan lain karena kedua tokoh ini memperjuangkan islam garis tengah, tawassuth dan moderat. Tapi tetap memegang tegas prinsip dasar islam. Dalam suatu qaidah yang pernah saya pelajari ketika menjadi mahasiswa Universitas Internasional Afrika, al Islaamu bainats Tsabaat wal Muruunah, islam berprinsip memegang teguh ajaran pokoknya, tanpa melupakan kelenturan ajarannya yang selalu sesuai dengan zaman, situasi dan kondisi.

          Pandangan - pandangan para sufi sebelum Junaid cukup radikal. Mereka memandang tokoh tokoh fikih sebagai orang orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan. Namun mereka mengabaikan esensi dan hakikat. Banyak penyelewengan yang dilakukan dengan legalitas hukum fikih yang menurut mereka menyalahi hati nurani mereka.Mengangkangi norma dan akhlak serta kesejatian manusia sebagai hamba Allah.Hal inilah yang menjadi penyebab pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih.

          Di lain pihak, para ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang orang zindiq, yang mengaku islam tapi tidak pernah menjalankan syari’atnya.Hal ini karena banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan tuntunan syari’at. Bahkan ada beberapa amaliah yang dikenal di kalangan ahli tasawuf, namun terbilang asing bagi para ahli fikih. Sehingga acapkali stempel bid’ah dilontarkan oleh para pakan syariat itu.Keadaan semakin runyam dengan hadirnya orang orang yang hanya mencari pembenaran atas prilakunya yang tidak sesuai dengan syari’at, yang di sisi lain mereka menggunakan pandangan pandangan ahli tasawuf. Mereka disebut oleh al Ghazali sebagai mutashawwif (orang yang pura pura menjadi sufi) bukan sufi hakiki.Hal inilah yang merisaukan Junaid. Beliau berpandangan bahwa antara syariat dan fikih tidak boleh dipertentangkan. Beliau berprinsip bahwa tasawuf dan fikih sama sama berdasarkan ajaran Nabi. Mestinya kedua cara pandang yang cenderung hakikat sentris dan yang cenderung legalit sentris dikompromikan. Dalam hal ini Juanid mengatakan:Ilmu (tasawuf) kami ini dilandasi oleh Al Quran dan As Sunnah, barangsiapa tidak membaca Al Quran dan menulis As Sunnah, maka ucapannya tidak dapat diikuti dalam ilmu kami ini.

         Menurut Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah. Dari sini gagasan Junaid sangat bisa diterima oleh kalangan ahli fikih dan hadits.Setelah Junaid, pada abad ke lima, Al Ghazali datang untuk menjadi pioneer dalam memadukan ilmu kalam, fiqih dan tasawuf yang sebelumnya mengalami ketegangan.Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.

        Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.

        Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.Apa yang telah diupayakan Al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya karena telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al Quran dan hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.

         Tentu bagi generasi saat ini sudah seharusnya bukan hanya mempelajari Islam, tapi yang lebih penting adalah mengamalkannya. Tasawuf dalam kajian akademis adalah sangat penting untuk menjadi pegangan para pencari ilmu, tapi yang lebih penting adalah mengamalkannya. Sangatlah naïf, bila kita mengetahui sejarah tasawuf, konsep tasawuf dan hapal al hikam, bila sehari hari kita tidak mempunyai keinginan untuk mengamalkannya.Sedikit dan bermanfaat lebih baik daripada banyak tapi tidak manfaati.

          Semoga kita diberi petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT untuk selalu dan selalu menjadi yang lebih baik dihadapanNya. Amiiin.

KAJIAN KRITIS KONSEP MASLAHAH ABED AL-JABIRI “Sebuah Tawaran Abed al-Jabiri dalam Penerapan Syari’at”[1]


Oleh : Miftahul Munif[2]
Pendahuluan.
Dalam diskursus pemahaman teks dan penafsirannya diera modern ini menurut DR Yusuf al-qardlawi ada tiga model[3] :
-          Memahami teks secara harfiyah dan kolot tanpa memandang maqasid syari’ah yang terkandung di teks tersebut, dalam istilah dr yusuf al-qardlawi disebut dengan dzahiriyah jujud ( kelompok tekstual yang baru ). Sebagaimana pemahaman al-bany dalam hal kewajiban zakat harta dagangan, menurutnya tidak diwajibkan bagi pedagang untuk zakat dengan alasan tidak ada nash sharih yang mewajibkannya. Begitu juga kelompok ahbasy  dari mazhab syafi’i berbendapat bahwasanya mata uang sekarang tidak bisa dianalogikan dengan emas dan perak dalam berbagai hukum yang terkandung di dalamnya, seperti riba dan wajibnya zakat tatkala mencapai ketentuan tertentu.
-          Memahami teks dengan kaca mata maqasid saja dan mengabaikan dilalatul al-nash walaupun nash tersebut qath’iyu stubut wa dilalah. Dan mendahulukan maslahah tatkala berbenturan dengan nash (secara mutlak). Kelompok ini diwakili banyak para pemikir islam kontemporer seberti Arkon, Muhamad abid al-jabiri dkk.
-          Memahami nash dengan metodologi penggabungan dari kedua metodologi diatas yaitu memahami teks dengan memakai kaca mata maqasid syari’ah tapi tidak mengabaikan analisis tekstual yang terwujud dalam pembahasan usul fikih (dilalatul alfadz ‘alal ma’na).
              Dari ketiga kelompok ini menurut Dr Yusuf qardawi kelompok ketigalah yang paling ideal dari semuanya.
                Dalam diskusi kali ini saya akan sedikit mengupas dari setetes pemikiran kelompok kedua, yang mengambil satu tokoh yaitu Muhammed abid al-jabiri, itupun sekelumit dari pemikirannya yang dituangkan dalam kitab beliau “al-din wa al-daulah wa tathbiqu al-syari’ah” . saya akan mengkaji satu poin aja yang terdapat di dalam kitab tersebut yang mana menurut saya merupakan permasalahan pokok yang beliau tawarkan dalam kitab tersebut yaitu konsep maslahah.
Rumusan Konsep Maslahah yang ditawarkan al-Jabiry
Abed al-jabiri dalam kitabnya “al-din wa al-daulah” menyinggung permasalahan konsep maslahah dalam dua tempat, pertama : di muqaddimah bagian ketiga dari halaman 41 – 53 dengan menyebutkan tujuh contoh ijtihad khalifah Umar bin khatab ra yang menurut al-jabiri bisa dikategorikan pendahuluan maslahah terhadap nash.
Akan penulis ambil tiga sampel dari tujuh permasalahan yang dijadikan pijakan al-jabiri dan kita diskusikan, apakah itu bisa dijadikan hujjah untuk mendukung konsep maslahahnya atau sebaliknya.
Pertama : masalah pembagian harta rampasan perang yang mana khalifah Umar ra tidak membagi tanah rampasan yang ada di irak kepada para tentara perang, sedangkan di dalam al-qur’an dengan jelas diterangkan bahwa rampasan perang dibagikan kepada para tentara ( orang- orang yang ikut perang ), tetapi Umar ra lebih mendahulukan kemaslahatan kaum muslimin dimasa yang akan datang daripada kemaslahatan sebagian muslim (tentara) dimasa sekarang saja[4].
Kedua : pembagian zakat terhadap “ muallafati qulubuhum” (orang yang baru masuk islam atau orang yang diharapkan masuk islamnya) yang mana sudah ada nashnya dalam al-qur’an untuk dibagikan zakat kepada mereka dan rasulullah saw juga memberi mereka zakat diteruskan oleh khalifah Abu bakar ra. Tetapi di masa kekhalifahan Umar ra berkebalikan dari sebelumnya, mereka tak dikasih zakat dengan alasan islam sudah tidak membutuhkan mereka. Secara dzahir penerapan syari’ah Umar ra bertentangan dengan tekstualitas nash.[5]
Ketiga : potong tangan bagi pencuri disaat masa krisis, yang mana khalifah Umar ra tidak memotong tangan pencuri disaat krisis, yang secara kasat mata pertentangan dengan nash al-qur’an yang memerintahkan potong tangan bagi pencuri (secara mutlak)[6].
Di atas merupakan tiga sempel dari tujuh contoh yag dikemukakan al-jabiry tentang konsep maslahahnya, yang mana nanti aka kita diskusikan lagi secara kritis.
Selanjutnya al-jabiry mengupas lagi konsep maslahahnya dalam bab- bab akhir yaitu bab “ma’quliyatul ahkam al-syar’iyah” (rasionalitas hukum- hukum syari’at) dari halaman 167- 176 dan bab setelahnya hal. 177- 183 . Yang mana dalam bab ini beliau menjelaskan dalam upaya penerapan syari’ah kita harus membuka lebar pintu ijtihad dan tidak cukup dengan ijtihad dalam masalah cabang (furu’) tetapi lebih jauh lagi yaitu “ta’shilul usul” [7] (membangun pondasi usul (fikih))  dengan menekankan titik berat maqashidus syari’ah yang dibahasakan olehnya dengan kemaslahatan publik.
 Beliau membandingkan antara dua buah metodologi dalam menggali hukum yaitu d metodologi qiyas atau analogi dan metodologi maqasid syari’ah. Beliau mengkritisi metodologi qiyas yang sudah dibangun imam syafi’i, dan dianggapnya tidak sanggup menjawab permasalahan kekinian serta menganggap bahwa metodologi analogi ini terkesn sangat ribet. Lain halnya membangun rasionalitas hukum dengan menggunakan metodologi maqasid maka akan didapatkan lebih luwes dan dia menganggap bahwa membangun rasionalitas hukum dengan maqasid berangkat dari premis yang rasional yaitu kemaslahatan umum yang mana penerapan syari’ah islam harus berdasarkan dengan kemaslahatan umum tersebut.[8]
Ada satu hal lagi yang sangat penting dalam konsep maslahahnya al-jabiry yaitu “ dauranul ahkam ‘ala al-mashalih ( al-hikmah)”. Beliau berpendapat bahwa hukum – hukum islam, ada dan tidak adanya itu perputar berdasarkan hikmah atau maslahah tidak pada illatnya yang sebagaimana telah dipaparkan oleh kitab- kitab usul fikih dari masa kodifikasi sampai sekarang. Beliau berpendapat bahwasanya kaidah tersebut tidak ada dalilnya dari al-qur’an maupun as-sunah melainkan hanya ijtihad dari para ulama’ untuk membangun metodologi dalam ijtihad bahkan sebelum masa kodifikasi usul fikih para mujtahid terutama Umar bin khatab ra memutarkan hukum pada maslahah dan hikmahnya tidak pada illatnya. Karena itu sah- sah saja tatkala dalam rangka membangun lagi metodologi usul dengan menggunakan kaidah tersebut, sehingga penerapan syari’at islam akan relevan disetiap ruang dan waktu.[9]


Study Kritis Atas konsep di atas.
Sudah banyak kita temukan kajian tentang konsep maslahah baik sebelum kitab “al-din wa al-daulah” ditulis maupun setelahnya. Dan tawaran yang digagas oleh al-jabiry bukanlah hal yang baru, bahkan banyak pemikir- pemikir sebelumnya juga menawarkan konsep tersebut atau minimal dalam ijtihadnya secara parsial, sebagaimana pendapat seorang ulama al-azhar tentang diperbolehkan bunga bank kalau hanya sekian persen dengan menggunakan konsep “al-ahkam taduru ma’a hikmatiha” (hukum berputar pada hikmahnya). Dilain pihak kita temukan banyak kitab yang membantah tawaran- tawaran tersebut, yang mana menurut saya kitab yang paling komplit membahas hal ini adalah kitab “dhawabitul maslahah” desertasi doktorahnya Dr Muhammad sa’id ramadlan al-buthi. Kitab yang setebal 456 halaman ini secara detail membahas metodologi dan batasan- batasan dalam berhujjah dengan maslahah serta beliau membantah kerancuan- kerancuan pemikiran dalam memahami konsep tersebut. Selain al-buthi, Dr Yusuf qaradlawi juga sering membahas dalam kitab- kitab beliau walaupun pembahasannya tak sedetail kitabnya al-buthi. Sebagai contoh dalam kitab beliau “ as-siyasah al-syar’iyah”  beliau mengupas dalam satu bab penuh dari hal. 155- 222. Beliau membantah kerancuan- kerancuan dalam memahami konsep maslahah tersebut yang mana sedikit banyak telah membantah tawaran al-jabiry dalam hal ini.
Dari paparan diatas dapat kita ketahui ada tiga poin yang akan kita kaji dari pemikiran al-jabiry dalam buku tersebut : fikihnya Umar ra, mendahulukan istidlal dengan maslahah daripada dengan qiyas dan berputarnya hukum tergantung pada hikmah yang tergantung di dalamnya. Mari kita kupas satu- persatu dari tawaran al-jabiry tersebut!
-          Apakah sayyidina Umar ra dalam beberapa ijtihadnya di atas mengabaikan nash dan mendahulukan maslahah ?
Jawaban pertanyan ini bisa dengan dua cara : jawaban secara global dan jawaban secara detail.
Jawaban global dari tertanyaan di atas adalah tidak benar kalau beliau ra mengabaikan nash dengan hanya berpedomman dengan mashlahah yang lahir dari pendapat beliau sendiri, bahkan sebaliknya adalah yang benar yaitu beliau terkenal dengan “waqaffan” di depan nash, baik al-qur’an maupun as-sunnah bahkan beliau sering mencela berargumen hanya dengan “ra’yu”. Akan saya paparkan secara singkat bukti- bukti tersebut.
1-      Cerita yang sangat populer yaitu tatkala beliau ra berkhutbah dan beliau berupaya untuk membatasi mahar (supaya mahar tak terlalu besar), maka seketika itu ada seorang wanita yang protes dengan berdalil dari al-qur’an surat annasa’ ayat 20, maka seketika itu pula beliau berkata : “wanita ini benar dan umar salah”.
2-      Beliau ra ingin menjadikan denda untuk jari berbeda- beda karena memandang terpautnya kemanfaatan dari satu dengan yang lainnya, sehingga sampai padanya bahwasanya rasulullah saw menyamakan diantaranya, maka beliau meninggalkan pendapatnya.
3-      Beliau ingin merajam orang gila, sehingga beliau tau sabda rasulullah saw : “qalam diangkat bagi tiga orang .... diantaranya orang gila “.
4-      Beliau ra berkata : “jauhilah ashhabur ra’yi , karena sungguh mereka adalah musuh- musuh sunnah “![10]
Dari bukti- bukti tersebut tidaklah masuk akal kalau Umar ra meninggalkan nash dengan berdalih bertentangan dengan kemaslahatan. Dan sekarang kita menuju jawaban secara terperinci dari sempel ijtihadnya umar ra yag di jadikan pijakan al-jabiry dalam merumuskan konsep maslahahnya.
1-      Masalah pembagian harta rampasan perang. Apakah beliau ra bersebrangan dengan nash?
Dalam hal ini saya hanya akan menunjukkan referensi yang menjawab secara detail karena akan terlalu panjang kalau saya jabarkan di sini, diantaranya buka as-siyasah al-syar’iyahnya Yusuf qaradlawi hal. 192- 201 dan kitab dhawabitul mashlahah karya al-Buthi hal 163- 175. Di situ dipaparkan secara detail mengenai alasan- alasan Umar ra yang berargumen dengan al-qur’an dan assunnah, yang mana beliau tidak bisa dikatakan mengabaikan nash.
2-      Pembagian zakat terhadap “muallafati qulubuhum” . Dalam menjawab hal ini cukup merujuk as-siyasah al-syar’iyah hal. 174- 187 dan dhawabitul mashlahah hal. 154-156 !
3-      Tidak dipotongnya tangan pencuri. Cukup lihat as-siyasah al-syar’iyah hal. 202- 207 dan  dhawabitul mashlahah hal. 156- 157 !
-          Beragumen dengan menggunakan maslahah secara mutlak (tanpa ada batasan) dan kritikannya terhadap qiyas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua mazhab empat menggunakan maslahah dalam penggalian hukum, tetapi yang paling populer dari keempatnya adalah mazhab maliki yang banyak berdalil dengannya, yang disebut dengan maslahatul mursalah. Tetapi dalam beragumen dengannya ada batasan dan syarat yang harus dipenuhi sebagaimana beragumen dengan dalil- dalil yang lain (qiyas, istihsan, ishtihab dll).
Dalam kitabnya dr muhammad said ramdlan al-buthi “ dlawabitul mashlahah” beliau membahas secara detail syarat- syarat beragumen dengan mashlahah, ada lima syarat yang harus dipenuhi.
1-      Tidak bertentangan dengan al-qur’an, kalau ada maslahah yang dianggap bertentangan dengannya maka mashlahah tersebut hanya prasangka (mauhumah) yang mulghah. Selanjutnya beliau menjelaskan argumennya tentang kebenaran syarat ini[11].
2-      Tidak bertentangan dengan hadis yang shahih[12].
3-      Tidak bertentangan dengan ijma’.
4-      Tidak bertentangan dengan qiyas shahih[13].
5-      Tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang lebih penting[14].
Di setiap poin dari kelima ini beliau menjelaskan secara detail serta membantah kerancuan atau subhat yang ada di dalamnya, serta menjelaskan argumen- argumen yang membenarkan syarat- syarat tersebut.
Adapun kritikan al-jabiry terhadap qiyas dalam penggalian hukum dan pendapatnya yang lebih mengajak untuk menggunakan konsep maqasid tanpa menengok kemetodologi qiyas yang ribet, maka cukuplah merujuk apa yang ditulis al-buthi disyarat yang keempat yaitu tidak bertentangan dengan qiyas, di kitabnya dari hal. 229- 259.

-          Permasalahan ketiga adalah : apakah hukum itu berputar pada illatnya atau pada hikmahnya ?
Dalam masalah ini al-jabiry menewarkan konsep yang terbalik dari yang umum yaitu berputarnya hukum pada hikmah atau maslahah dan tidak pada ilatnya.
Untuk menjawab pertanyaan ini akan saya serahkan kepada peserta diskusi untuk membahsnya lebih lanjut.
Penutup.
                Dalam upaya penerapan syari’at islam dalam sebuah negara memang harus dirumuskan secara matang, tidak boleh secara cerobah yang mana akan mengakibatkan tercorengnya syari’ah itu sendiri tatkala penerapannya tidak sesuai dengan yang semestinya.
  


[1] Makalah ini sebagai pembanding pada diskusi LAKPESDAM PCINU Sudan. Rabu, 16 November 2011
[2] Pengemis ilmu dari padepokan kulon banon
[3] Dr Yusuf qaradlawi, al-siyasah al-syar’iyah, hal. 228
[4] Dr Muhammed Abid el-jabiry, al-din wa al-daulah wa tathbiqu al-syari’ah, (Bairut :markas dirasat wahdah islamiyah. Cet 3, 2009) hal. 45- 47
[5] Ibid hal. 47- 48
[6] Ibid hal.48- 49
[7] Ibid, hal.167
[8] Ibid, hal. 168- 169
[9] Ibid, hal. 177- 183
[10] Dr Yusuf qaradlawi, al-siyasah al-syar’iyah ... . hal: 218- 220 / Dr muhammad said ramdlan al-buthi, dhawabitul mashlahah si al-syari’ah al-islamiyah” (bairut : darul fikri, cet, 6, 2008 ) hal.153
[11] Lihat dhawabitul mashlahah fi al-syari’ah al-islamiyah (damaskus : darul fikr cet 6, 2008) hal. 141- 175
[12] Ibid , hal. 176
[13] Ibid, hal.229
[14] Ibid, hal. 260

Benarkah RUH itu Makhluk Sendiri?

Ibnu Zakariya (w. 395 H / 1004 M) menjelaskan bahwa kata al-ruh dan semua kata yang memiliki kata aslinya terdiri dari huruf ra, wawu, ha; mempunyai arti dasar besar, luas dan asli. Makna itu mengisyaratkan bahwa al-ruh merupakan sesuatu yang agung, besar dan mulia, baik nilai maupun kedudukannya dalam diri manusia.

Diantaranya makna kata Ar Ruh adalah :Seperti halnya dalam surat Al-Qadr ayat 4

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

artinya Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Didalam ayat ke-4 yang berbunyi “Tanajjalul malaaaikatu warruuhu fiihaa” dimana kata “warruuhu” diterjemahkan sebagai Jibril. Bukankah Jibril adalah malaikat namun kenapa dalam ayat tersebut Jibril disebutkan secara khusus. Dalam ilmu tafsir diterangkan bahwa menyebut yang khusus setelah yang umum, menunjukkan bahwa yang khusus tadi mempunyai keistimewaan yang harus diperhatikan. Sehingga jibril yang berada di tengah-tengah malaikat adalah yang terdepan, Jibril sebagai pemimpin para malaikat.
Seperti dalam firman Allah swt surat Annisa ayat 171

إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ

Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Kalimat Dan ruh darinya maksud-nya Isa as. Lalu yang menjadi pertanyaan, kenapa nabi Isa as disebut Ruh? Diantara mukjizat Nabi Isa as selain menyembuhkan orang sakit yaitu Nabi Isa as mempunyai mukjizat mampu menghidupkan orang yang sudah mati, yang tentunya atas ijin Allah swt. Maka Nabi Isa as disebut Ruh, karena seolah-olah Nabi Isa bisa menghadirkan kembali ruh orang yang sudah meninggal. Pada dasarnya, jika seseorang meninggal dunia maka ruh orang tersebut pergi dari jasad-nya. Seperti halnya jika seseorang tidur, maka dalam keadaan tidur itu ruhnya sedang pergi dari jasadnya. Dan ketika bangun, ruhnya telah kembali ke jasadnya. Seperti halnya dalam surat Asy-Syuura (42) ayat 52

وكذلك أوحينا إليك روحا من أمرنا

artinya “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Kenapa Al Quran disebut sebagai Ruh? Karena Al Quran adalah pedoman kehidupan yang hakiki untuk umat manusia, terutama di akhirat nanti. Sehingga seseorang yang hidup bersama Al Quran, membaca, mendengar, merenungi, memahami, manghafalkan dan mendakwakan Al Quran maka orang tersebut akan mendapatkan kehidupan yang hakiki.

seperti dalam firman Allah surat Al-isra ayat 85

ويسئلونك عن الروح قل الروح من أمر ربي

" Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku. Seseorang yang masih bernafas dan bergerak maka orang tersebut masih ada ruh-nya. Kata nafas dan ruh dalam bahasa indonesia diterjemahkan sebagai nyawa, yang artinya bahwa seseorang masih hidup kalau orang tersebut ada nyawanya. Dan kita tidak mengetahui seperti apa wujud/bentuk dari nyawa tersebut.

Manusia terdiri dari ruh dan jasad, karenanya Allah Swt menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika di mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ahli hakikat dari kalangan ahli sunnah berbeda pandangan soal ruh.

Ada yang berpendapat, ruh adalah kehidupan, yang lain berpandangan ruh adalah kenyataan yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah Swt menjalankan kebiasaan makhluk dengan menciptan kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya menempel di badan. Manusia hidup dengan sifat kehidupan, tetapi arwah selalu di cetak di dalam hati dan bisa naik ketika tidur dan terpisah dengan badan, kemudian kembali kepada-Nya.

Al-Raqib al-Asfahaniy (w. 503 H / 1108 M), menyatakan di antara makna al-Ruh adalah al-Nafs (jiwa manusia). Makna disini adalah dalam arti aspek atau dimensi, yaitu bahwa sebagian aspek atau dimensi jiwa manusia adalah al-ruh.

Nyawa (ruh) menurut al-Ghazali mengandung dua pengertian, pertama : tubuh halus (jisim lathif). Sumbernya itu lubang hati yang bertubuh. Lalu bertebar dengan perantaraan urat-urat yang memanjang ke segala bagian tubuh yang lain. Mengalirnya dalam tubuh, membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman dari padanya kepada anggota-anggotanya itu, menyerupai membanjirnya cahaya dari lampu yang berkeliling pada sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kepada sebagian dari rumah, melainkan terus disinarinya dan hidup itu adalah seperti cahaya yang kena pada dinding. Dan nyawa itu adalah seperti lampu. Berjalannya nyawa dan bergeraknya pada batin adalah seperti bergeraknya lampu pada sudut-sudut rumah, dengan digerakkan oleh penggeraknya.

Pengertian kedua yaitu yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan itulah tentang salah satu pengertian hati, serta itulah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya

ويسئلونك عن الروح قل الروح من أمر ربي

Dan itu adalah urusan ketuhanan yang menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan akal dan paham dari pada mengetahui hakikatnya.

Dengan adanya al-ruh dalam diri manusia menyebabkan manusia menjadi makhluk yang istimewa, unik, dan mulia. Inilah yang disebut sebagai khayalan akhar, yaitu makhluk yang istimewa yang berbeda dengan makhluk lainnya. Al-Qur’an menjelaskan hal ini dalam QS. Al-Mu’minun : 14
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)
Dari Abdullah bin Mas’ud ra berkata bahwa :Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya setiap kamu dibentuk di perut ibunya selama 40 hari, kemudian berbentuk ‘alaqah seperti itu juga, kemudian menjadi mudhghah seperti itu juga. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh dan menetapkan 4 masalah {HR.Bukhari, Ibnu Majah, At-Tirmizy}

Karakteristik al-Ruh

Mengenai ruh ada beberapa karakteristik, antara lain :

1.Ruh berasal dari Tuhan, dan bukan berasal dari tanah / bumi
2.Ruh adalah unik, tak sama dengan akal budi, jasmani dan jiwa manusia.Ruh yang berasal dari Allah itu merupakan sarana pokok untuk munajat kehadirat-Nya
3.Ruh tetap hidup sekalipun kita tidur / tak sadar
4.Ruh dapat menjadi kotor dengan dosa dan noda, tapi dapat pula dibersihkan menjadi suci dengan dzikir dan doa
5. Ruh karena sangat lembut dan halusnya mengambil “wujud” serupa “wadah”nya, parallel dengan zat cair, gas dan cahaya yang “bentuk”-nya serupa tempat ia berada.
6. Ruh butuh makanan bathin.

Selasa, 22 November 2011

Bedah Buku "Agama, Negara dan Penerapan Syariat Islam" Sebuah Tawaran Konsep “Mashlah” di Era Modern.


Khartoum, nusudan.com.


Maraknya isu – isu  dari barat yang menimpa umat islam sekarang ini, kian hari di rasa semakin memanas seolah-seolah tak akan berujung sampai menjadikan kebakaran jenggot beberapa ulamak islam khususnya mereka dari kalangan reformis, itu pastinya di latar belakangi oleh problematika yang sangat fital yaitu adanya persentuhan agama islam yang kurang proporsional sehingga mengesankan agama kurang responsif dan solutif dalam menuntaskan beberapa permasalahan di zaman moderen.

LAKPESDAM NU Sudan dalam diskusi dwi mingguannya kali ini membedah isu tersebut dengan mengangkat judul Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, sebuah buku karya Abid Al Jabiri, tema  Ini merupakan PR besar bagi semua umat islam untuk menunjukkan eksistensi umat islam di mata dunia, adapun bertindak sebagai pembicara adalah H. Dzulfikar Radafi, LC dan Miftahul Munif sebagai pembandingnya. Isi diskusi sebagaimana berikut :

Disaat problematika dan isu-isu baru tampak seperti kita temukan akhir-akhir ini, muncullah sederetan intelektual baik dari muslim atau non-muslim – dengan berbagai sudut pandangnya yang – berusaha untuk menggaungkan keras jargon agung yang “ tertidur “ kurang lebih selama empat belas abad yang lalu “ Islam adalah solusi bagi segalanya “, teori ini di pelopori oleh beberapa ulamak semisal Imam Hasan Al Banna, Prof. Dr. Muhamad ‘Imarah[3] dan kawan-kawannya, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menebang habis isu tersebut dengan berbagai macam sistem dan metodologi yang berciri khas islami dari teori dan prakteknya.

Sementara itu, dari kaum rasionalis muslim, muncullah beberapa sarjana terkenal, di antarnya Prof. Dr. Hasan Hanafi[4], Prof. Dr. ‘Abid Al Jabiri dan lain-lainnya yang mereka rekam lewat beberapa aksi dan karya ilmiahnya. Nah, Dalam tulisan sederhana dan singkat ini, penulis berkesempatan untuk membedah buku karya intelektual dan pemikir terkenal berkebangsaan maroko Prof. Dr. ‘Abid Al Jabiri yang berjudul “ الدين والدولة وتطبيق الشريعة “. Sebelum masuk pada materi, penulis ingin memaparkan sekilas tentang biografi singkat ‘Abid Al Jabiri, ia terlahir pada tahun 1936 di maroko kemudian dalam karir setudinya ia behasil menyebet gelar sampai doktor, dengan gelar master dari universitas ribath maroko pada tahun 1967 lalu ia S3 nya juga diperoleh di universitas yang sama dan pada usia tiga puluh empat ia berhasil menyebet gelar doktornya, tepatnya pada tahun 1970 dengan desertasinya tantang “ Filsafat Ibnu Khuldun “ begitu juga tesis S2 nya tentang ke-khuldunan.

Al Jabiri dalam menulisnya patut di katakan sebagai “ Si tangan emas “ karena selalu kreatif menelurkan ide-ide cerdas, realistis dan logis khususnya dalam menyikapi kajian-kajian keislaman kontemporer, di samping ia produktif dalam dunia tulis-menulis sampai menjelang usia senja, ia masih gemar membaca dan peka terhadap fenomena seputar umat islam di sertai dengan kemampuannya dalam menguasai tiga bahasa: arab, inggris dan perancis yang secara tidak langsung sangat menunjang dan memebentuk sepak terjang pemikirannya sehingga tidak heran dari tangannya terlahirlah beberapa buku karya ilmiah sekitar 40-an lebih. Kemudian sekitar tahun 2009 kemarin ia meninggal dunia, jika kita dalam menganalisa ide-ide segar Al Jabiri dalam beberapa karyanya dan proyeknya, untuk mengenang jasa – jasanya, penulis teringat satu tulisan wartawan Saudi yang ia tulis pada surat kabar “ ‘Ukadl “ adalah “ orang yang dalam setiap gerak – geriknya serta polah – tingkahnya selalu menemui dua hal yaitu musuh dan teman “,bagi Penulis sendiri sangatlah tidak berlebihan kalau sosok Al Jabiri dalam mengaplikaskan sistem islam rasionalis di katakan sebagai “ Imam Abu Hanifah era moderen “. Relefansi Agama Di Dalam Sistem Sebuah Negara.

Sebuah elaborasi panjang Al Jabiri, dalam mengkritisi hubungan antara agama dan negara untuk mewujudkan kemakmuran hakiki bersama ( Mashlahah ‘amah ) yang berdasar pada nilai-nilai adiluhung sejarah serta pengejawentahan aspek maqashid syari’ah dan berorientasi pada penekanan sisi kemashlatan. Secara garis besar proyek di atas adalah diskursus lama dan mengalami setagnasi atau “ mandeg “ dalam tahapan “ ngrumpi ilmiah “ ( baca: perdebatan ), walaupun seperti itu justru akhir-akhir ini semakin kita rasakan luapannya dengan semakin menjadi-jadi. Dari sini, Al Jabiri berusaha menawarkan beberapa setitmen dengan menganalisa ulang pada fenomena masa-masa Rashululah SAW dan Khulafa’ Urasydin yang menjadi rujukan pokok mereka, dari pandangannya tersebut Al Jabiri mnyampaikan dengan tegas bahwa “ Agama ( baca: Islam ) tidak membahas menejemen kenegaraan “, hal ini tentunya menimbulkan pro dan kontra dan diskusi berkepanjangan dari beberapa kesarjanaan muslim kontemporer[5] yang menjadikan pemahaman akan ketidak bakuannya sistem tersebut dalam agama.



Sebenarnya duet kontrofersial antara agama dan negara menurut Al Jabiri, mulai meluap sekitar seratus lima puluh tahun yang lalu dengan pengaruh sistem negara-negara eropa yang semakin maju dalam semua lini kehidupannya dengan memisahkan duet agama dan negara sementara dunia arab masih terbelakang seperti yang di sinyalir oleh pertanyaan Sakeb Arselan, tipikal pemikiran pemisahan duet di atas mengingatkan sebuah ungkapan dari seorang moderenis berkebangsaan Lebanon, ia adalah Butros Al Bastani yang hidup pada tahun 1860, dalam perkataannya yang di rekam oleh koran mesir Al Ahram “ Selama masyarakat tidak bisa memposisikan dengan benar antara tugas agama dan negara yang sesuai dengan ruang-linkupnya maka keduanya akan menjadi korban atau salah satunya “, dasar pemikiran dia dalam hal ini adalah karena agama memang sudah di intensifkan dalam mengatur hubungan antara hamba dan tuhannya jadi dia lebih bersifat permanen dan tetap berbeda dengan menejemen kenegaraan ( baca: politik ) yang lebih berkesan temporal dalam teori dan prakteknya, sehingga dari sini muncullah sebuah ideoligi mereka yaitu:

إعطاء ما لله لله وما لقيصر لقيصر " “



Yang mana ini bisa merampingkan job-jobnya sekaligus sebagai syarat mutlak sebuah kemajuan eksperimen realstis sejarah, dari sini Al Ajbiri menyatakan bahwa duet agama dan negara dalam pemikiran arab kontemporer selalu akan menimbulkan permsalahan di atas permasalahan yang lain karena bisa menhilangkan teori politik, demokrasi dan lain[6], menurutnya, karena ini isu baru jadi konsepnya belum terkodifikasi secara matang dan sitematis dalam Al Qur’an dan Al Hadist, tapi tidak harus menginterpretasikannya secara apriori dengan semisal memisahkan duet tersebut seolah-olah memusuhi islam dan lain sebagainya, tapi dalam hal ini perlu adanya perumusan pemahaman bahwa ketika memisahkan duet antara agama dan negara bukan berarti islam dan semua perangkatnya harus terhenti dari hak otoritasnya dalam mengaplikasikan jalannya hukum akan tetapi keharusan adanya sebuah sistem pembagian fungsi untuk membedakan visi dan misinya sesuai dengan porsi masing-masing, maka dalam hal ini agama adalah mencakup hukum-hukum yang harus di laksanakan, sedangkan negara adalah mencakup beberapa instansi kelompok maysarakat karena negara bersetatus sebagai konsumen untuk menangani jalannya hukum[7]. Jadi dengan adanya pemisahan menejemen tugas ini tidak akan ada terjadi tumpang-tindih dalam oprasionalitasnya mengingat dua hal tersebut nantinya mempunyai sumber dan pengaruh yang deferentif.



Mungkin kita bisa sedikit mengupas akan beberapa teori mereka[8] yang di jadikan sebagai rujukan dasar dalam kaitannya duet diatas, misalnya seputar permasalahan dasar mendirikan negara atau menjadikan seseorang menjadi pemimpin, dua hal ini kalau di pandang dari kaca mata sejarah Al Jabiri mengatakan bahwa dalam islam tidak di temukan sistem baku dalam teori kepemimpinan dan ketata negaraan baik di tinjau dari nash Al Qur’an atau Al Hadist atau pula dari sisi sejarah sebagaimana di atas, sedangkan kalau di tinjau dari munculnya para fuqaha’ semisal Imam Al Mawardi pada kitabnya “ Al Ahkam As Suthoniah “ mereka baru muncul sekitar abad ke empat hijriah, namun dalam pandangan Al Jabiri, kitab ini sangat di sayangkan karena lebih bercorak merujuk ke masa sebelumnya dan masa Al Mawardi sendiri sehingga kurang bisa respon dalam menjawab tatangan perpolitikan dan kenegaraan di masadepan kemudian “ Al Fiqhu As Siyasah “ semakin bekembang dengan diteruskan oleh Imam Al Ghozali dan ulamak-ilamak setelahnya sampai akhirnya mengkrucut pada sebuah konsensus ( Ijmak ) pendapat bahwa suatu menejeman hukum hanya bisa di legalisasi dengan sebuah kesepakatan bersama dan kuatnya pendukung ( suara mayoritas ) yang mana hal ini berakhir dengan men non-aktifkan fiqh siyasah dan di ganti dengan jargon fuqaha’:[9]

من اشتدت وطأته وجبت طاعته
Artinya: Barang siapa yang banyak kecocokannya kepada sesorang maka ia wajib menta’atinya.
Kemudian dalam mengaktualisasikan teori modern kepemimpinan dengan berkaca pada masa-masa kenabian, Al Jabiri menarik tiga etika[10]:


Segala sesuatunya harus di putuskan dengan bermusyawarah. Adanya rasa tanggung jawab terhadap rakyatnya sebagaimana hadist tentang kepemimpinan. Selalu berpegang pada prinsip “أنتم أدري بشؤون دنياكم “ sebagaimana pidato pertama kali Abu Bakar ketika tepilih sebagai khalifah dengan bernilai “ Tawadlu’ “[11], Berpijak pada tiga point inilah yang menjadi formulasi awal dalam teori seorang pemimpin dalam mengemban amanahnya walaupun nanti akhirnya akan berkembang. Kemudian dalam hal sistem kenegaraan, Al Jabiri manganalisanya dalam fenomena ketidak mungkinannya Rasulullah SAW pada awal mula berdakwah adalah berorientasi mendirikan negara karena tidak di temukan dalam Al Qur’an atau beberapa periwayatan malah yang di temukan adalah penolakan Rasulullah SAW akan adanya pemimpin atau semisal raja karena yang beliau SAW lakukan adalah berkonsentrasi pada penyebaran agama baru bukan pembentukan suatu negara[12]. Diantara fenomena-fenomena  sejarah yang menunjukan ketidak bakuannya teori agama  dalam sistem kenegaraan seperti di bawah ini:



Masyarakat arab ketika masa-masa awal kenabian tidak mengenal teori pemimpin ( baca: raja ) atau negara karena aturan-aturan yang di jalankan di makah dan yastrib ( Madinah ) masih terbatas pada perkumpulan masyarakat tertentu atau kabilah dengan menggunakan adat-adat dan norma-norma yang berlaku katika itu, jadi belum sampai pada sekup yang lebih besar yaitu negara.



Orientasi Rasululah SAW ketika awal kali di utus adalah sebagai pemimpin kelompok orang-orang islam ( Jama’ah Islamiyah ) dan beliau SAW menolak secara tegas dan berulangkali akan sistem “ raja atau kerajaan”, jadi beliau SAW lebih mengerahkan waktunya dalam training agama barunya .



Pada masa sahabat yaitu pasca Rasulullah SAW meninggal, mereka kebingungan dalam menejemen permsalahan dunia karena kemajuan dan perkembangannya semakin meluas sehingga membutuhkan seseorang yang menangani menejemen jama’ah islam tadi semisal perpolitikan, perekonomian dan sosial kemasyarakatan hingga akhirnya muncullah di masa itu istilah “ politik atau السياسة “ dan “ pemimpin atau الآمر “.



Perdebatan yang terjadi di sqifah bani sa’idah adalah semata perdebatan politik dengan membai’at Abu Bakar RA, kemudian berkesimpulan bahwa diskursus sistem khalifah ketika itu adalah bersifat politik semata dengan berdasar pada ijtihad dan kemashlahatan.[13] Kemudian di lihat dari sisi perkumpulan di saqifah bani sa’idah yang mereka jadikan dasar pemikirannya dalam membentuk seorang pemimpin adalah mereka berusaha mengambangkannya dengan sistem qiyas, dalam masalah kepemimpinan mengkiyaskan pada saqifah bani sa’idah, ‘Abid Al Jabiri menyimpulkan tiga point dalam:[14]



-       Pemilihan seseorang yang nantinya di jadikan pemimpin dengan cara bai’at
-       Pemimpin harus terdiri dari satu orang-       Legalisasi terbentuknya pemimpin terlahir dari sebuah pemlihan bukan dari nash – nash (penolakan terhadap ebagaimana teori syi’ah ).

Nah, karena Rasulullah SAW tidak meninggalkan teori yang baku dalam kepemimpinan[15] sebagaimana hadist “ أنتم أدري بشؤون دنياكم “, agar mereka kreatif untuk berijtihad, jadi segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah kepemimpinan dan kenegaraan yang mana teorinya bisa berkaca pada para sahabat, sampai dengan ahli fiqh pun turut campur, tapi perlu di ingat, semuanya itu berlandaskan dari sebuah sistem “ ijtihad “ bukan resmi dari nash[16], yang mana karakteristiknya selalu fleksibel, elastis, selalu berubah secara dinamis dan bersinkronisasi dengan kebutuhan serta keadaan. Jadi tidak heran kalau ada beberapa ulamak islam dari golongan tertentu yang menolak akan adanya pemimpin dan negara karena dasarnya adalah sudah perselisihan[17]. Maka dari sini kita bisa tahu bahwasannya jargon “ Islam adalah solusi segalanya “ kalau di jadikan slogan politik islam, ia akan menjadi teori yang ompong dan multi tuna dalam fungsinya. Dalam analisa penulis teori Al Jabiri, ijtihad pada permasalahan politik atau negara dan sebagainya memakai tiga komponen:



- Teori kemashlahatan umum yang seirama dengan situasi dan kondisi sebagai dasarnya yang paling sentral.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai etika-etika islam sebagai aksesoris dalam tujuannya .- Kemudian pelajaran dari beberapa empirisme sejarah sebagai barometernya.
Karena secara intrinsik, sekuleritas sebagaimana dalam hubungannya dengan agama adalah bersetatus mensinergikan fungsi serta otoritasnya dalam menggapai intensitas masing-masing secara maksimal dengan menepis isu-isu intimidasi dengan lainnya, logikannya sisi substansial dari pada agama adalah tertuju pada sebuah penyatuan yang termanifestasi dalam ajaran “ tauhid “ sedangkan menejemen negara ( baca: politik ) adalah berkarakter kontradiktif dan deferentif yang selalu mengikuti arus situasi dan kondisi, maka adanya kristalisasi antara keduanya adalah seolah-olah memasukkan sebuah racun ke dalam agama yang nantinya akan menjadi perpecahan di dalam agama itu sendiri[18]. Dari sinilah jelas keotoriteran serta kedlalimannya slogan-slogan islami semisal “ Al Ittijah Al Islami ( Sistematisasi islam ) “, Ushuliyah ( Fundamentalisme ) ” dan “ Al Islam As Siyasi ( Perpolitikan islam ) “ dan lain sebagainya.

Problematika Mashlahah Dalam Pratek Syari’ah.

Kontekstualisasi syari’ah islam dalam realita negara adalah bukan semudah seperti membalik tangan, selain di sana akan menemui perdebatan yang begitu panjang juga ia akan  bertabrakan dengan beberapa metodologi historis dan relistis yang justru lebih sulit untuk di lewati, walaupun begitu, sama sekali tidak mengurangi sedikit pun ambisi mereka dalam menggapainya. Dari sini Al Jabiri berusaha memberikat beberapa sinyalir yang di dasarkan dari berbagai sudut pandang yang ideal dan obyektif. Tepatnya pasca revolusi iran muncul suatu gerakan yang berbaju “ dakwah “ bertujuan untuk mengusung gaung syari’ah di muka bumi ini, namun dari beberapa sarjana muslim masih berfikir berkali-berkali sehingga timbullah fakta ini sebagai fenomena yang kontroversial di mata dunia yang mana akhirnya bermunculan juga berbagai metodologi dari mereka sebagai kendaraannya semisal garakan “ As Shahwah Al Islamiyah “ atau “ An Nidlam Al Islami “ yang berbasis islami di semua sisi kehidupan, akan tetapi dalam hal ini Al Jabiri memberikan penyikapan yang lain dengan menformat ulang dasar pemikiran mereka dengan metodologi “ At Tajdid “. Ia tidak setuju dengan gerakan “ As Shahwah Al Islamiyah “ yang mereka galakkan karena di analogikan dengan orang yang tidur kemarin itu ketika bangun masih bisa mengulang kehidupannya yang sama dengan hari kemarin tanpa ada perubahan pada hari esoknya dengan bangkit kembali ( As Shahwah ) tapi kalau tidurnya As Habul Kahfi maka teori ini tidaklah cukup tapi harus dengan formulasi yang lain yaitu menformat ulang ( At Tajdid ) teori tersebut, tapi interpretasi tepat pada tajdid disini, Al Jabiri lebih sependapat dengan Bapak Maqashid Syari’ah Imam As Syathibi ( 790 H ) yang lebih logis dan relefan yaitu “ pembacaan ulang teori tajdid[19] itu tidak seharusnya di dasarkan pada masa-masa shahabat karena ( situasi ) mereka tidak akan datang lagi tapi lebih tepatnya di sandarkan pada beberapa sisi yang selalu bisa menyantuh nuansa kemashlahatan “[20].



Maka teori mashlahah yang menjadi rujukan utama serta tolok ukur yang tepat dalam hal ini adalah analisis seputar kegiatan para sahabat dalam menjalankan tasyri’, perpolitikan, perekonomian, sosial, keintelektulan yang kemudian dalam sejarah di sebut “ Aktifitas Sahabat ( عمل الصحابة ) “, dalam menganalisa aktifitas para sahabat mereka tidak terisolasi pada teks-teks nash apalagi beberapa kaidah-kaidah yang masih belum ada ketika itu, mereka hanya berprinsip pada sebuah “ kemashlahatan, naskh-mansukh dan kontekstual nash ( Asbab An Nuzul ) “, jadi sering di jumpai penyikapan mereka atas beberapa kejadian yang sama sekali tidak menggunakan dan “ manut “ pada tekstual nash walaupun hal itu sudah benar-benar jelas baik secara eksplisit maupun implisit tapi hal ini tidak di maksudkan “ me-non aktifkan otoritas nash “ tapi berusaha untuk menyentuhnya dari pintu lain dengan berbagai pemahaman dan takwil, seperti yang terjadi pada beberapa sahabat nabi khusunya pada Sayidina Umar RA yang kemudian dalam sejarah di kenal dengan “ Muwafaqatu ‘Umar “, diantara kasus tersebut adalah semisal di bawah ini:

 Sahabat ‘Umar tidak membagi ghanimah berupa tanah “ Sawad Al ‘Iraq “ kepada para sahabat yang ikut perang tapi justru membuat sistem perpajakan walaupun telah jelas dalam nash perintahnya tapi orientasi ‘Umar adalah kemashlahatan generasi masadepan bukan kenikmatan terbatas.



- Sahabat ‘Umar tidak mambagikan zakat kepada para mu’allaf walaupun bertentangan dengan teks nash dan tentunya banyak yang menentang, lalu ‘Umar mengatakan kepada mereka yang meminta “ Rasululah SAW memberikan zakat kepada para mu’allaf karena ketika itu islam masih sedikit dan lemah tapi sekarang islam sudah kuat maka pergilah dan bekerjalah…



- ‘Umar tidak memotong tangan pencuri yang mana ia dalam keadaan sangat lapar dan ketika itu di kenal dengan “ ‘Am Al Muja’ah ( Masa kelaparan ) “, dalam hal ini berarti para sahabat khususnya ‘Umar tidak leterlek serta tekstualis dalam memahami nash.

- ‘Umar RA melarang Khudlaifah menikahi wanita ahli kitab dari yahudi dan nashara karena kehawatirannya timbul fitnah di karenakan akan kemungkinan sahabat-sahabat lainnya mengikuti langkahnya dengan memilih di antara mereka yang cantik-cantuk atau maksud tertentu lainnya.



- Sahabat Khudlaifah tidak menghukum pimpinan perang yang minum khamer karena di khawatirkan kesempatan tersebut di manfaatkan oleh musuh.[21] 
Mungkin kita juga bisa menganalisa fenomena “ As Salaf As Sholih “ yang menjadi rujukan utama mereka juga dalam merealisasi syri’ah. Al Jabiri mengkritisi mereka ( baca: salafiyah moderen ) untuk mengimitasi salaf as shalih mereka harus menjaga eksistensi ajarannya dengan menyikapi perkembangan masyarakat agar tidak punah[22] serta berinteraksi dengan peradaban yang lain dengan dua prinsip:

Rasionalis dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan politik, ekonomi dan hubungan sosial masyarakat. Anasisis kritis dalam kehidupan sosial, budaya dan berideologi.[23] Tapi dua hal masih kurang bisa maksimal bila di buat untuk mencontek semua sisi kehidupan salafus shalih karena menurut pandangan Al Jabiri, zamannya sudah beda dan berubah, yang mana masa mereka masih kental akan nuansa dunia adalah sebatas bekal untuk kehidupan akhirat sementara masa moderen sekarang ini adalah zaman majunya keilmuan dan tekhnologi serta gencarnya berbagai macam ideologi-ideologi sehingga sedikit banyak melahirkan sebuah epistemologi islam yang baru, sementara di sisi lain Al Jabiri juga mengatakan bahwa salaf sholih itu adalah sebuah pengalaman sejarah yang telah ada di masa dulu dengan meraih prestasi berharga dalam sejarah islam, kemudian apabila dalam kehidupan kita sekarang ini berusaha meniru tingkah-polahnya sangatlah kurang, jadi permasalahannya sekarang, bagaimana kita menjadi umat islam yang relefan ( sholih ) untuk zaman kita, mampu menghidupkan zaman kita sebagaimana mereka menghidupkan zaman mereka dengan mengukir sejarah baru sebagai penyempurna dari pada masyarakat salaf sholih dulu ( yang di lengkapi dengan hidupnya islam dan syari’ahnya ) sehingga generasi mendatang bisa membangun roda kehidupan mereka sendiri dengan lebih cerah[24]. 



Pada diskursus setelah di atas adalah proyeksi mereka selanjutnya adalah praktek syri’ah secara totalitas dan sempurna, dalam hal ini Al Jabiri memberikan jawaban yang sangat singkat akan kemungkinan di praktekannya syri’ah secara sempurna itu hanya bisa di lakukan dalam kondisi trasedental yang jauh dari angan-angan dan empirisme manusia karena selama dalam sejarah manusia di muka bumi ini belum di temukan praktek syari’ah secara sempurna, lalu bila kita melihat lebih dalam lagi tentang syari’ah, ia adalah milik tuhan yang maha sempurna secara mutlak kemudian di berikan kepada umat manusia yang ber-notabe serba kurang dan lupa maka hal tersebut sangat sulit kecuali dalam sekala relativisme karena logikanya bila suatu kesempurnaan telah sempurna maka akan tidak ada kehidupan begitu juga syari’at yang di turunkan akan sia-sia tidak ada artinya[25].



Lalu kalau meneliti beberapa opini ulamak mengenai praktek syari’ah, minimal akan menemukan dua pendapat:



Ahmad Baha’udin seorang wartawan majalah Al Ahram mesir mengatakan bahwa sepanjang sejarah islam syari’ah islam tidak terpraktekan, pendapat ini lumayan mendapat kecaman dan tantangan dari beberapa ulamak terutama ulamak Al Azhar. Beberapa ulamak Al Azhar mengatakan memang sepanjang sejarah syari’ah tidak terpraktekan secara sempurna kecuali pada masa Rasulullah SAW dan khulafa’ Urasyidin yang secara gak langsung menolak pendapat sebelumnya. Al Jabiri malah dengan tanpa beban apapun mengatakan dengan tegas bahwa syari’at islam sama sekali tidak pernah terpraktekan secara sempurna karena prakteknya syari’ah islam hanya sebatas relativisme sebgaimana di atas, kemudian tentang beberapa alasan ‘Abid Al Jabiri dalam pendapatnya tersebut diantaranya sebagai berikut: -       Syari’ah tidak terpraktekan secara sempurna pada zaman Rasulullah SAW karena Al Qur’an sendiri tidak turun sepontan sekaligus tapi bertahap sedangkan Al Qur’an itu sempurna turun pada ayat “ اليوم أكملت لكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا “ dan menurut riwayat Rasulullah SAW hidup setelah itu sekitar 81 hari, begitu juga hadist belum sempurna kecuali pada waktu Rasulullah SAW menjelang meninggal jadi Al Qur’an sempurna sampai pada habis turunnya begitu juga Al Hadist belum sempurna sampai Rasulullah SAW meninggal.



-       Pada zaman khulafa urasyidin syari’ay juga belum sempurna karena pada masa itu para sahabat di hadapkan pada permasalahan-permasalahan baru yang mengharuskan mereka berijtihad sendiri karena tidak pernah di jumpai pada zaman Rasulullah SAW sehingga mereka selalu berdebat karena berbeda pendapat sampai akhirnya sepakat.



-       Formulasi syari’ah islam bukan hanya terbentuk dari Al Qur’an, Al Hadist, Ijmak sahabat dan ijtihad mereka akan tetapi ia juga mencakup ketetapan para mujtahid sekarang dan yang akan dating karena syari’ah sendiri adalah milik manusia sepanjang masa[26].  
     
Praktek Syari’ah Dan Metodologi Mashlahah Versi Al Jabiri.

Jika di analisa dari pemikiran Al Jabiri dalam usahanya untuk mengkontekstualisasi syari’ah islam, sangat terlihat jelas bahwa ia terpengaruh dengan teori Imam As Syathibi, dalam metodenya bila terjadi paradoksal antara nash ( Al Qur’an dan As Sunah ) dan sistem mashlahah maka yang di prioritaskan adalah mashlahah tersebut karena nash di turunkan berfungsi untuk menjaga eksistensi mashlahah begitu juga teori ijtihad harus selalu di kembangkan untuk menyikapi persoalan yang ada sehingga pada perkembangannya, sangat sulit ( Baca: tidak munkin ) kalau ada pendapat yang berinisiatif untuk menutup pintu ijtihad dengan berbagai alasannya sedangkan di sisi lain peradapan selalu berkembang, karena ia menduduki kursi yang sangat vital agama walaupun ijtihad dalam hal ini lebih beorientasi pada sebuah metodologi berfikir dalam bentuk tertentu yang mana inspirator dasarnya adalah masih Al Qur’an dan As Sunah. Kemudian dalam mengaplikasi sebuah hukum fiqh, Prof. Dr. Muhamad ‘Abid Al Jabiri tidak seberapa menggunakan teori kontekstualisasi ( Asbab Nuzul ) kuno – yang di rintis oleh para fuqaha’ zaman dulu – tapi ia lebih berkonsntrasi untuk  kontekstualisasi Asbab An Nuzul moderen ( baca: problematika kontemporer ) Dalam menganalisa pengambilan Asbab An Nuzul moderen mungkin bisa mengambil dua contoh:



Hukuman potong tangan pada orang yang mencuri. Kalau di lihat dari sisi yang melatar belakangi hukuman tersebut adalah karena tradisi potong tangan pada orang-orang arab sudah di lakukan dan kemudian kondisi alam negara arab waktu itu adalah masih berupa tanah lapang padang pasir dan jarang sekali di temukan suatu bangunan-bangunan, mereka berpindah dengan tendanya dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari rumput dan makan jadi sangat berat ketika itu kalau di praktekan hukuman penjara maka dalam hal ini jalan salah satunya adalah hukuman badan dengan potong tangan tersebut yang mana tujuan utamanya adalah biar tidak mengulangi perbuatan mencuri lagi dan hal itu akan menjadi tanda baginya bahwa dia telah mencuri supaya setiap orang selalu waspada.  Menetapkan hukuman zina dengan berbagai syarat-syaratnya semisal harus ada saksi 3 orang dengan mengetahui secara persis masuknya penis ke dalam vagina, ketika itu hal tersebut memang masih mungkin untuk di lakukan dengan di latarbelakangi kondisi alamnya masih mudah untuk mengklarifikasi kejadian seteliti itu karena pada masa itu masih sangat jarang di temukan bangunan-bangunan dan kamar-kamar seperti sekarang ini. Jadi pertanyaannya sekarang adalah apakah logis hal-hal tersebut kita lakukan di zaman yang serba moderen seperti ini ?[27]. Nah, Hal di atas inilah yang nantinya akan menyentuh sisi maqashid syari’ah dan mashlahah kemudian pada akhirnya akan bisa merubah realitas teks-teks suci agama karena pada dasarnya sebuah hukum akan di legalisasi, selama ia logis dan bertalian mesra dengan teori mashlahah – kalau masih menganggap mashlahah tersebut bagian dari pada dasar sayri’at islam –, agar syari’ah dan fiqhnya tetap eksis sepanjang masa serta menghindari  agar syari’ah tidak multi tuna dalam prakteknya juga supaya tidak di kucilkan dalam sebuah komunitas masyarakat, maka dari sinilah ia menjadi salah satu motifator untuk selalu kreatif berijtihad dalam rangka realisasi syari’ah sehingga akhirnya melahirkan “ Al Fiqh An Nadlari “ ( Fiqh Teoritis ) sebagai konsekswensi atas kontinuitas perubahan kontemporer.
Prof. Dr. Muhamad ‘Abid Al Jabiri dalam menyikapi proses penyelesaian problematika praktek syari’ah, ia menawarkan dua teori yaitu:

Teori pencarian ‘illat ( Ta’lil ), Qiyas serta Ististmar Al Alfadl ( Tinjauan filologis ) gagasan ini di cetuskan oleh Bapak Ushul Fiqh Imam Syafi’i. Teori aplikasi Maqashid Syari’ah, teori ini di telurkan oleh Bapak Maqashid Syari’ah Imam As Syathibi[28]. Teori Imam Syafi’i dalam pandangan Al Jabiri kalau dalam ranah fiqh yang lebih luas ia akan mengalami keterbatasan dan pada akhirnya akan gagal sendiri karena metodologinya semisal qiyas, ta’lil dan lainnya masih bersifat skeptis bilamana di temukan dengan suatu perasalahan-permasalahan yang tidak mempunyai sisi kesamaan atau tidak bisa di temukan sisi ‘illatnya sedangkan kalau teori Imam Syathibi dalam pandangan Al Jabiri akan semakin relefan dan luas jangkauannya sehingga akan berkesimpulan setiap permasalahan pasti bisa di selesaikan dengan teori ini tanpa ada skeptisme, yang mana standarisasi mashlahah yang relatif harus selalu di prioritaskan secara inheren dalam mengikuti perubahan dan perkembangan dalam setiap ruang dan waktu.

 Penutup.

Dalam penutup ini penulis hanya ingin sedikit menulis bahwasannya islam serta beberapa komponen penting di dalamnya harus selalu sejalan dengan roda kehidupan dengan tanpa adanya tumpang-tindih interpretasi yang memojokkan satu sama lain mengingat notabene kebenaran dalam islam sendiri adalah bisa di miliki pada setiap hamba yang hendak mencari mutiara kebenaran itu dengan berbagai sudut pandangnya.

Penulis sangat yakin semua pasti mendapat pahala karena kerinduan mereka dengan kebenaran hakiki dalam islam dengan pendiriannya di atas dasar ijtihad mereka yang tanpa mengurangi keimanannya kepada Allah SWT, sebagaimana kisah Nabi Ibrahim AS dalam surat Al Baqarah akan keinginan kuatnya untuk mengetahui bagaimana cara Allah SAW dalam menghidupkan orang meninggal, tapi Allah SWT menjawab: “ Apa kamu tidak beriman ( percaya ) kepadaku wahai Ibrahim ? Lalu Nabi Ibrahim menjawab: Iya saya beriman dan percaya kepada engkau ya Allah tapi biar hatiku tenang dan lega saja, hingga akhirnya Allah SWT menurutinya dengan mencontohkan sebuah burung. Nah, dari sini kita semua yakin bahwa semua ajaran islam itu adalah benar tapi alangkah baiknya biar hati dan jiwa kita tenang, kita berusaha mencari proses kebenaran-kebenaran tersebut dengan tanpa mengurangi nilai keimanan kita kepada Allah SWT.

      ____________________________________________

[1] . Makalah ini di presentasikan pada diskusi regular dwi mingguan LAKPESDAM PCI-NU sudan dalam rangka bedah buku “ الدين والدولة وتطبيق الشريعة “ Karya : Prof. Dr. Muhamad ‘Abid Al Jabiri, pada hari selasa tanggal  16 November 2011, Pukul: 17.00 WIS.[2] . Kata orang-orang, orangnya Insyaallah Baik dan Sholih;)…Semoga, Amin3x!!! [3] . Pemikirannya dalam hal ini terlihat jelas dalam salah – satu bukunya yang terkenal “الإسلام هو الحل لماذا كيف ؟  “ yang di cetak di Cairo oleh percetakan Dar Syuruq.[4] . Adalah doktor jebolan Universitas Sorbon – Perancis –, sepesialis Ilmu – ilmu keislaman, sekarang beliaunya masih produktif dalam menulis dan mengajar di Universitas Cairo, pemikiran dia dalam hal ini bisa di ihat pada beberapa bukunya salah-satunya seperti “ هموم الفكر والوطن, التراث والعصر والحداثة “ dengan dua jilid yang di cetak oleh percetakan Darul Ma’rifah Al Jami’iah di Cairo, Mesir.[5] . Munculnya beberapa kontradiksi pada permasalahan ini, secara praktis ada tiga kelompok:Mereka mengatakan bahwa menjadikan seorang pemimpin yang kemudian membentuk negara adalah termasuk bagian pokok dari agama dengan otoritas nash, pendapat ini di pelopori oleh kelompok syi’ah. Pendapat kedua ini berlawanan dengan pendapat sebelumnya dengan mengatakan bahwa memilih seorang pemimpin begitu juga membentuk negara tidak wajib dalam pandangan agama jadi urusan ini di serahkan pada semua orang muslim tapi kalau hal tersebut mungkin di lakukan dengan tanpa ada pertumpahan darah maka itu lebih utama tapi jika tidak mungkin maka cukup dengan seseorang memimpin serta menanggung dirinya sendiri dan keluarganya, alasan mereka adalah kalau seorang pemimpin di pilih dari kalangan mereka sendiri bagaimana bisa mentaatinya? Dan bagaiman kita menjadikan pemimpin sedangkan kita ( baca: mujtahid ) boleh tidak mentaatinya bila tidak sesuai dengan ijtihad ?, pendapat ini di motori oleh pengikut Najdah Al Hanafi ( Najdat ) juga senior-senior khawarij. Kelompok ini mengatakan bahwa menjadikan imam dan negara adalah wajib dengan cara dipilih bukan dari perintah nash, pendapat ini di gulingkan oleh kelompok Ahlu Sunah dan mayoritas Mu’tazilah. ( Lihat: Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, karya Abid Al Jabiri, hal :  24 ).
[6] . Menurut analisa penulis, dalam teori kemajuan sebagaimana yang di gagas di atas lebih bercorak materialistik sementara di satu sisi yang lain kemajuan sepiritual yang justru lebih penting malah belum bisa di sentuh oleh teori tersebut maka dari sini perlu adanya peninjauan lebih dalam lagi dengan berbagai perumusan-perumusan matang demi sebuah penyelarasan.
[7] . Ibid, hal: 63. 
[8] . Maksud penulis adalah beberapa kelompok orang yang mengatakan bahwa agama itu mencakup semuanya tidak lain adalah masalah negara dan politik.[9] . Ibid, hal: 86.[10] . Al Jabiri dalam hal ini menggunakan kata “ الخلقية “karena yang nash yang di gunakan sebagai dasarnya tidak bersifat “ Tasyri’ “ sehingga setiap ulamak dalam hal ini sangat leluasa untuk berijtihad.[11] . Ibid, hal: 89 [12] . Ibid, hal: 65. [13] . Ibid, hal: 13.[14] . Dalam hal ini Al Jabiri merasakan kesedihan umat islam pada perjalanan sejarahnya akan satu problematika terhadap teori kepemimpinan khilafah yang beralih ke sistem “ Raja “ atau “ Kerajaan “  yang sebelumnya di benci Rasulullah SAW, hal ini disebabkan tiga hal pokok:Tidak ada pengkodifikasian secara legal dan sistematis akan sebuah sistem kepemimpinan. Tidak adanya aturan akan batas masa kepemimpinan. 3.       Tidak adanya sitem yang membatasi akan skill atau kecakapan sebagai khalifah. ( Kecuali pada masa-masa munculnya ahli fiqh dengan ijtihad mereka yang jauh setelah masa itu ). ( Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, karya Abid Al Jabiri, hal : 78 )  [15] . Ibid, hal: 74.[16] . Dari sini perlu di ketahui, bahwa ketika Al Qur’an atau As Sunah tidak membahas permasalahan hubungan agama dan negara serta menejemen kenegaraan lainnya, berarti yang menjadi rujukan utama serta tolok ukur yang tepat dalam hal ini adalah analisis seputar kegiatan para sahabat dalam menjalankan tasyri’dan perpolitikannya yang mana itu semua bercorak sosial, keintelektulan, perekonomian dan perpolitikan kemudian di sebut dengan “ Aktifitas Sahabat ( عمل الصحابة ) “ dengan sama sekali tidak menafikan kekreatifan masa setelahnya dari para fuqaha’ dan teman-temanya dalam berijtihad pada masalah tersebut walaupun bersifat temporal dan terpaku pada batas teritorialitas tertentu yang tetunya itu semua bukan bagian dari agama kesakralannya, dalam menganalisa aktifitas para sahabat mereka tidak terisolasi pada teks-teks nash apalagi beberapa kaidah-kaidah yang masih belum ada ketika itu, mereka hanya berprinsip pada sebuah “ kemashlahatan, naskh-mansukh dan kontekstual nash ( Asbab An Nuzul ) “, jadi sering di jumpai penyikapan mereka atas beberapa kejadian yang sama sekali tidak menggunakan dan “ manut “ pada tekstual nash walaupun hal itu sudah benar-benar jelas baik secara eksplisit maupun implisit tapi hal ini tidak di maksudkan “ me-non aktifkan otoritas nash “ tapi berusaha untuk menyentuhnya dari pintu lain dengan berbagai pemahaman dan takwil, seperti yang terjadi pada beberapa sahabat nabi khusunya pada Sayidina Umar RA yang kemudian dalam sejarah di kenal dengan “ Muwafaqatu ‘Umar “, diantara kasus tersebut adalah semisal di bawah

- Sahabat ‘Umar tidak membagi ghanimah berupa tanah “ Sawad Al ‘Iraq “ kepada para sahabat yang ikut perang tapi justru membuat sistem perpajakan walaupun telah jelas dalam nash perintahnya tapi orientasi ‘Umar adalah kemashlahatan generasi masadepan bukan kenikmatan terbatas
-Sahabat ‘Umar tidak mambagikan zakat kepada para mu’allaf walaupun bertentangan dengan teks nash dan tentunya banyak yang menentang, lalu ‘Umar mengatakan kepada mereka yang meminta “ Rasululah SAW memberikan zakat kepada para mu’allaf karena ketika itu islam masih sedikit dan lemah tapi sekarang islam sudah kuat maka pergilah dan bekerjalah
- ‘Umar tidak memotong tangan pencuri yang mana ia dalam keadaan sangat lapar dan ketika itu di kenal dengan “ ‘Am Al Muja’ah ( Masa kelaparan ) “, dalam hal ini berarti para sahabat khususnya ‘Umar tidak leterlek serta tekstualis dalam memahami nash
- ‘Umar RA melarang Khudlaifah menikahi wanita ahli kitab dari yahudi dan nashara karena kehawatirannya timbul fitnah di karenakan akan kemungkinan sahabat-sahabat lainnya mengikuti langkahnya dengan memilih di antara mereka yang cantik-cantuk atau maksud tertentu lainnya.
- Sahabat Khudlaifah tidak menghukum pimpinan perang yang minum khamer karena di khawatirkan kesempatan tersebut di manfaatkan oleh musuh. ( Lihat : Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, karya Abid Al Jabiri, hal : 48 ).   [17] . Ibid, hal: 73.[18] . Ibid, hal: 118.[19] . Pemakna’an ulang At Tajdid di atas berbeda jauh dengan dengan pendapat ulamak-ilamak islam kontemporer semisal Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Prof. Dr. Yusuf Al Qardlawi, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan Al Buthi dan teman-temannya yang dalam memaknai At Tajdid di atas lebih di tekankan kebelakang dengan pengambalian ek masa lalu ( Lihat: Makalah Prof. Dr. Sa’id Ramadlan Al Buthi tengan tema besar At Tajdid Fi Al Fikr Al Islami, cet: Wazaratul Auqaf – cairo – )  [20] . Ibid, hal:132.[21] . Ibid, hal: 48[22] . Ibid, hal:140.[23] . Ibid, hal:142.[24] . Ibid, hal:143.[25] . Dalam hal ini, penulis teringat akan pertanyaan ‘Abdul Malik anak khalifah Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz kepada bapaknya, Kenapa engkau ketika memimpin tidak mempraktekan syari’ah secara sempurna? Lalu Khalifah menjawab: Jangan tergesa-gesa wahai anaku, bahwasanya Allah SWT mencela khamr itu dua kali dan baru mengharamkannya kali yang ketiga, sebenarnya saya takut membebani manusia sepontanitas karena ia nanti akan menolak secara sepontanitas pula dan nantinya malah menimbulkan fitnah. Maka dari sini sejauh analisa penulis dalam poryek Al Jabiri pada bukunya tersebut, sebelum melakukan praktek syari’ah maka ada empat hal yang jauh lebih penting untuk di realisasikan lebih dulu yaitu:Menanamkan prinsip “ وأمرهم شوري بينهم “ dalam berpokitik. Menanamkan prinsip “  كاد الفقر أن يكون كفرا “ dalam kehidupan sosial dan berekonomi. Menanamkan prinsip “ هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون “  dalam kehidupan intelektual  keilmuan. Dan menanamkan prnisip “ الناس كأسنان المشط  “ dalam berinteraksi di berbagai setrata bermasyarakat.  [26] . Dalam hal ini Al Jabiri juga menolak pendapat ulamak Al Azhar yang mengatakan seperti di atas, bahwa syari’ah islam yang ada pada zaman Rasulullah SAW dan khulafa’ Ur Rasyidin itu sudah terpraktekan secara sempurna tanpa harus menunggu keseluruhan, Al Jabiri menolak pendapat ini karena alasan debating sebagai berikut:
-Memang syari’ah baik Al Qur’an maupun Hadist sudah di kenal dan di jalankan pada zaman Rasulullah SAW sebagai syari’ah yang hidup tidak setagnan namun di situ juga terjadi Nasikh dan Mansukh terus apakah baik posisi Nasikh ataupun Mansukh itu masuk pada kategori sempurna atau tidak? Lalu apakah orang-orang yang hanya mengaku di depan Rasuullah SAW masuk islam itu semua sudah mnejalankan syari’ah ? Terus mereka yang berbondang-bondong dating ke Rasulullah SAW kemudian mengaku masuk islam, apakah Rasulullah SAW tidak mengutus salah seorang sahabat untuk mengajarinya?
-Begitu juga masa sahabat adalah masa perluasan daerah islam kemudian ada orang-orang mengaku masuk islam, kemudian mereka sangat mambutuhkan belajar agama barunya sambil menunggu kondisi tenang maksudnya tidak mungkin langsung di praktekan syari’ah dalam kondisi seperti itu.
-Bagaimana dengan ijtihad-ijtihadnya para khulafa urasydin yang tidak sedikit meraka merubah beberapa aturan yang telah di lakukan oleh khalifah sebelumnya separti yang terjadi antara Umar dan Abu Bakar yang merobah sistem pembagian tanah ke sistem pajak.
-Kemudian, kita mungkin bisa menjawab sendiri ketika menganalisa pada zaman kita sekarang ini akan sempurna atau tidaknya praktek syari’ah?. ( Lihat : Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, karya Abid Al Jabiri, hal : 208 ).
[27] . Ibid, hal:173.