Khartoum, nusudan.com.
Maraknya isu – isu dari barat yang menimpa umat islam sekarang ini, kian hari di rasa semakin memanas seolah-seolah tak akan berujung sampai menjadikan kebakaran jenggot beberapa ulamak islam khususnya mereka dari kalangan reformis, itu pastinya di latar belakangi oleh problematika yang sangat fital yaitu adanya persentuhan agama islam yang kurang proporsional sehingga mengesankan agama kurang responsif dan solutif dalam menuntaskan beberapa permasalahan di zaman moderen.
LAKPESDAM NU Sudan dalam diskusi dwi mingguannya kali ini membedah isu tersebut dengan mengangkat judul Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, sebuah buku karya Abid Al Jabiri, tema Ini merupakan PR besar bagi semua umat islam untuk menunjukkan eksistensi umat islam di mata dunia, adapun bertindak sebagai pembicara adalah H. Dzulfikar Radafi, LC dan Miftahul Munif sebagai pembandingnya. Isi diskusi sebagaimana berikut :
Disaat problematika dan isu-isu baru tampak seperti kita temukan akhir-akhir ini, muncullah sederetan intelektual baik dari muslim atau non-muslim – dengan berbagai sudut pandangnya yang – berusaha untuk menggaungkan keras jargon agung yang “ tertidur “ kurang lebih selama empat belas abad yang lalu “ Islam adalah solusi bagi segalanya “, teori ini di pelopori oleh beberapa ulamak semisal Imam Hasan Al Banna, Prof. Dr. Muhamad ‘Imarah[3] dan kawan-kawannya, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menebang habis isu tersebut dengan berbagai macam sistem dan metodologi yang berciri khas islami dari teori dan prakteknya.
Sementara itu, dari kaum rasionalis muslim, muncullah beberapa sarjana terkenal, di antarnya Prof. Dr. Hasan Hanafi[4], Prof. Dr. ‘Abid Al Jabiri dan lain-lainnya yang mereka rekam lewat beberapa aksi dan karya ilmiahnya. Nah, Dalam tulisan sederhana dan singkat ini, penulis berkesempatan untuk membedah buku karya intelektual dan pemikir terkenal berkebangsaan maroko Prof. Dr. ‘Abid Al Jabiri yang berjudul “ الدين والدولة وتطبيق الشريعة “. Sebelum masuk pada materi, penulis ingin memaparkan sekilas tentang biografi singkat ‘Abid Al Jabiri, ia terlahir pada tahun 1936 di maroko kemudian dalam karir setudinya ia behasil menyebet gelar sampai doktor, dengan gelar master dari universitas ribath maroko pada tahun 1967 lalu ia S3 nya juga diperoleh di universitas yang sama dan pada usia tiga puluh empat ia berhasil menyebet gelar doktornya, tepatnya pada tahun 1970 dengan desertasinya tantang “ Filsafat Ibnu Khuldun “ begitu juga tesis S2 nya tentang ke-khuldunan.
Al Jabiri dalam menulisnya patut di katakan sebagai “ Si tangan emas “ karena selalu kreatif menelurkan ide-ide cerdas, realistis dan logis khususnya dalam menyikapi kajian-kajian keislaman kontemporer, di samping ia produktif dalam dunia tulis-menulis sampai menjelang usia senja, ia masih gemar membaca dan peka terhadap fenomena seputar umat islam di sertai dengan kemampuannya dalam menguasai tiga bahasa: arab, inggris dan perancis yang secara tidak langsung sangat menunjang dan memebentuk sepak terjang pemikirannya sehingga tidak heran dari tangannya terlahirlah beberapa buku karya ilmiah sekitar 40-an lebih. Kemudian sekitar tahun 2009 kemarin ia meninggal dunia, jika kita dalam menganalisa ide-ide segar Al Jabiri dalam beberapa karyanya dan proyeknya, untuk mengenang jasa – jasanya, penulis teringat satu tulisan wartawan Saudi yang ia tulis pada surat kabar “ ‘Ukadl “ adalah “ orang yang dalam setiap gerak – geriknya serta polah – tingkahnya selalu menemui dua hal yaitu musuh dan teman “,bagi Penulis sendiri sangatlah tidak berlebihan kalau sosok Al Jabiri dalam mengaplikaskan sistem islam rasionalis di katakan sebagai “ Imam Abu Hanifah era moderen “. Relefansi Agama Di Dalam Sistem Sebuah Negara.
Sebuah elaborasi panjang Al Jabiri, dalam mengkritisi hubungan antara agama dan negara untuk mewujudkan kemakmuran hakiki bersama ( Mashlahah ‘amah ) yang berdasar pada nilai-nilai adiluhung sejarah serta pengejawentahan aspek maqashid syari’ah dan berorientasi pada penekanan sisi kemashlatan. Secara garis besar proyek di atas adalah diskursus lama dan mengalami setagnasi atau “ mandeg “ dalam tahapan “ ngrumpi ilmiah “ ( baca: perdebatan ), walaupun seperti itu justru akhir-akhir ini semakin kita rasakan luapannya dengan semakin menjadi-jadi. Dari sini, Al Jabiri berusaha menawarkan beberapa setitmen dengan menganalisa ulang pada fenomena masa-masa Rashululah SAW dan Khulafa’ Urasydin yang menjadi rujukan pokok mereka, dari pandangannya tersebut Al Jabiri mnyampaikan dengan tegas bahwa “ Agama ( baca: Islam ) tidak membahas menejemen kenegaraan “, hal ini tentunya menimbulkan pro dan kontra dan diskusi berkepanjangan dari beberapa kesarjanaan muslim kontemporer[5] yang menjadikan pemahaman akan ketidak bakuannya sistem tersebut dalam agama.
Sebenarnya duet kontrofersial antara agama dan negara menurut Al Jabiri, mulai meluap sekitar seratus lima puluh tahun yang lalu dengan pengaruh sistem negara-negara eropa yang semakin maju dalam semua lini kehidupannya dengan memisahkan duet agama dan negara sementara dunia arab masih terbelakang seperti yang di sinyalir oleh pertanyaan Sakeb Arselan, tipikal pemikiran pemisahan duet di atas mengingatkan sebuah ungkapan dari seorang moderenis berkebangsaan Lebanon, ia adalah Butros Al Bastani yang hidup pada tahun 1860, dalam perkataannya yang di rekam oleh koran mesir Al Ahram “ Selama masyarakat tidak bisa memposisikan dengan benar antara tugas agama dan negara yang sesuai dengan ruang-linkupnya maka keduanya akan menjadi korban atau salah satunya “, dasar pemikiran dia dalam hal ini adalah karena agama memang sudah di intensifkan dalam mengatur hubungan antara hamba dan tuhannya jadi dia lebih bersifat permanen dan tetap berbeda dengan menejemen kenegaraan ( baca: politik ) yang lebih berkesan temporal dalam teori dan prakteknya, sehingga dari sini muncullah sebuah ideoligi mereka yaitu:
إعطاء ما لله لله وما لقيصر لقيصر " “
Yang mana ini bisa merampingkan job-jobnya sekaligus sebagai syarat mutlak sebuah kemajuan eksperimen realstis sejarah, dari sini Al Ajbiri menyatakan bahwa duet agama dan negara dalam pemikiran arab kontemporer selalu akan menimbulkan permsalahan di atas permasalahan yang lain karena bisa menhilangkan teori politik, demokrasi dan lain[6], menurutnya, karena ini isu baru jadi konsepnya belum terkodifikasi secara matang dan sitematis dalam Al Qur’an dan Al Hadist, tapi tidak harus menginterpretasikannya secara apriori dengan semisal memisahkan duet tersebut seolah-olah memusuhi islam dan lain sebagainya, tapi dalam hal ini perlu adanya perumusan pemahaman bahwa ketika memisahkan duet antara agama dan negara bukan berarti islam dan semua perangkatnya harus terhenti dari hak otoritasnya dalam mengaplikasikan jalannya hukum akan tetapi keharusan adanya sebuah sistem pembagian fungsi untuk membedakan visi dan misinya sesuai dengan porsi masing-masing, maka dalam hal ini agama adalah mencakup hukum-hukum yang harus di laksanakan, sedangkan negara adalah mencakup beberapa instansi kelompok maysarakat karena negara bersetatus sebagai konsumen untuk menangani jalannya hukum[7]. Jadi dengan adanya pemisahan menejemen tugas ini tidak akan ada terjadi tumpang-tindih dalam oprasionalitasnya mengingat dua hal tersebut nantinya mempunyai sumber dan pengaruh yang deferentif.
Mungkin kita bisa sedikit mengupas akan beberapa teori mereka[8] yang di jadikan sebagai rujukan dasar dalam kaitannya duet diatas, misalnya seputar permasalahan dasar mendirikan negara atau menjadikan seseorang menjadi pemimpin, dua hal ini kalau di pandang dari kaca mata sejarah Al Jabiri mengatakan bahwa dalam islam tidak di temukan sistem baku dalam teori kepemimpinan dan ketata negaraan baik di tinjau dari nash Al Qur’an atau Al Hadist atau pula dari sisi sejarah sebagaimana di atas, sedangkan kalau di tinjau dari munculnya para fuqaha’ semisal Imam Al Mawardi pada kitabnya “ Al Ahkam As Suthoniah “ mereka baru muncul sekitar abad ke empat hijriah, namun dalam pandangan Al Jabiri, kitab ini sangat di sayangkan karena lebih bercorak merujuk ke masa sebelumnya dan masa Al Mawardi sendiri sehingga kurang bisa respon dalam menjawab tatangan perpolitikan dan kenegaraan di masadepan kemudian “ Al Fiqhu As Siyasah “ semakin bekembang dengan diteruskan oleh Imam Al Ghozali dan ulamak-ilamak setelahnya sampai akhirnya mengkrucut pada sebuah konsensus ( Ijmak ) pendapat bahwa suatu menejeman hukum hanya bisa di legalisasi dengan sebuah kesepakatan bersama dan kuatnya pendukung ( suara mayoritas ) yang mana hal ini berakhir dengan men non-aktifkan fiqh siyasah dan di ganti dengan jargon fuqaha’:[9]
“ من اشتدت وطأته وجبت طاعته “
Artinya: Barang siapa yang banyak kecocokannya kepada sesorang maka ia wajib menta’atinya.
Kemudian dalam mengaktualisasikan teori modern kepemimpinan dengan berkaca pada masa-masa kenabian, Al Jabiri menarik tiga etika[10]:
Segala sesuatunya harus di putuskan dengan bermusyawarah. Adanya rasa tanggung jawab terhadap rakyatnya sebagaimana hadist tentang kepemimpinan. Selalu berpegang pada prinsip “أنتم أدري بشؤون دنياكم “ sebagaimana pidato pertama kali Abu Bakar ketika tepilih sebagai khalifah dengan bernilai “ Tawadlu’ “[11], Berpijak pada tiga point inilah yang menjadi formulasi awal dalam teori seorang pemimpin dalam mengemban amanahnya walaupun nanti akhirnya akan berkembang. Kemudian dalam hal sistem kenegaraan, Al Jabiri manganalisanya dalam fenomena ketidak mungkinannya Rasulullah SAW pada awal mula berdakwah adalah berorientasi mendirikan negara karena tidak di temukan dalam Al Qur’an atau beberapa periwayatan malah yang di temukan adalah penolakan Rasulullah SAW akan adanya pemimpin atau semisal raja karena yang beliau SAW lakukan adalah berkonsentrasi pada penyebaran agama baru bukan pembentukan suatu negara[12]. Diantara fenomena-fenomena sejarah yang menunjukan ketidak bakuannya teori agama dalam sistem kenegaraan seperti di bawah ini:
Masyarakat arab ketika masa-masa awal kenabian tidak mengenal teori pemimpin ( baca: raja ) atau negara karena aturan-aturan yang di jalankan di makah dan yastrib ( Madinah ) masih terbatas pada perkumpulan masyarakat tertentu atau kabilah dengan menggunakan adat-adat dan norma-norma yang berlaku katika itu, jadi belum sampai pada sekup yang lebih besar yaitu negara.
Orientasi Rasululah SAW ketika awal kali di utus adalah sebagai pemimpin kelompok orang-orang islam ( Jama’ah Islamiyah ) dan beliau SAW menolak secara tegas dan berulangkali akan sistem “ raja atau kerajaan”, jadi beliau SAW lebih mengerahkan waktunya dalam training agama barunya .
Pada masa sahabat yaitu pasca Rasulullah SAW meninggal, mereka kebingungan dalam menejemen permsalahan dunia karena kemajuan dan perkembangannya semakin meluas sehingga membutuhkan seseorang yang menangani menejemen jama’ah islam tadi semisal perpolitikan, perekonomian dan sosial kemasyarakatan hingga akhirnya muncullah di masa itu istilah “ politik atau السياسة “ dan “ pemimpin atau الآمر “.
Perdebatan yang terjadi di sqifah bani sa’idah adalah semata perdebatan politik dengan membai’at Abu Bakar RA, kemudian berkesimpulan bahwa diskursus sistem khalifah ketika itu adalah bersifat politik semata dengan berdasar pada ijtihad dan kemashlahatan.[13] Kemudian di lihat dari sisi perkumpulan di saqifah bani sa’idah yang mereka jadikan dasar pemikirannya dalam membentuk seorang pemimpin adalah mereka berusaha mengambangkannya dengan sistem qiyas, dalam masalah kepemimpinan mengkiyaskan pada saqifah bani sa’idah, ‘Abid Al Jabiri menyimpulkan tiga point dalam:[14]
- Pemilihan seseorang yang nantinya di jadikan pemimpin dengan cara bai’at
- Pemimpin harus terdiri dari satu orang- Legalisasi terbentuknya pemimpin terlahir dari sebuah pemlihan bukan dari nash – nash (penolakan terhadap ebagaimana teori syi’ah ).
Nah, karena Rasulullah SAW tidak meninggalkan teori yang baku dalam kepemimpinan[15] sebagaimana hadist “ أنتم أدري بشؤون دنياكم “, agar mereka kreatif untuk berijtihad, jadi segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah kepemimpinan dan kenegaraan yang mana teorinya bisa berkaca pada para sahabat, sampai dengan ahli fiqh pun turut campur, tapi perlu di ingat, semuanya itu berlandaskan dari sebuah sistem “ ijtihad “ bukan resmi dari nash[16], yang mana karakteristiknya selalu fleksibel, elastis, selalu berubah secara dinamis dan bersinkronisasi dengan kebutuhan serta keadaan. Jadi tidak heran kalau ada beberapa ulamak islam dari golongan tertentu yang menolak akan adanya pemimpin dan negara karena dasarnya adalah sudah perselisihan[17]. Maka dari sini kita bisa tahu bahwasannya jargon “ Islam adalah solusi segalanya “ kalau di jadikan slogan politik islam, ia akan menjadi teori yang ompong dan multi tuna dalam fungsinya. Dalam analisa penulis teori Al Jabiri, ijtihad pada permasalahan politik atau negara dan sebagainya memakai tiga komponen:
- Teori kemashlahatan umum yang seirama dengan situasi dan kondisi sebagai dasarnya yang paling sentral.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai etika-etika islam sebagai aksesoris dalam tujuannya .- Kemudian pelajaran dari beberapa empirisme sejarah sebagai barometernya.
Karena secara intrinsik, sekuleritas sebagaimana dalam hubungannya dengan agama adalah bersetatus mensinergikan fungsi serta otoritasnya dalam menggapai intensitas masing-masing secara maksimal dengan menepis isu-isu intimidasi dengan lainnya, logikannya sisi substansial dari pada agama adalah tertuju pada sebuah penyatuan yang termanifestasi dalam ajaran “ tauhid “ sedangkan menejemen negara ( baca: politik ) adalah berkarakter kontradiktif dan deferentif yang selalu mengikuti arus situasi dan kondisi, maka adanya kristalisasi antara keduanya adalah seolah-olah memasukkan sebuah racun ke dalam agama yang nantinya akan menjadi perpecahan di dalam agama itu sendiri[18]. Dari sinilah jelas keotoriteran serta kedlalimannya slogan-slogan islami semisal “ Al Ittijah Al Islami ( Sistematisasi islam ) “, Ushuliyah ( Fundamentalisme ) ” dan “ Al Islam As Siyasi ( Perpolitikan islam ) “ dan lain sebagainya.
Problematika Mashlahah Dalam Pratek Syari’ah.
Kontekstualisasi syari’ah islam dalam realita negara adalah bukan semudah seperti membalik tangan, selain di sana akan menemui perdebatan yang begitu panjang juga ia akan bertabrakan dengan beberapa metodologi historis dan relistis yang justru lebih sulit untuk di lewati, walaupun begitu, sama sekali tidak mengurangi sedikit pun ambisi mereka dalam menggapainya. Dari sini Al Jabiri berusaha memberikat beberapa sinyalir yang di dasarkan dari berbagai sudut pandang yang ideal dan obyektif. Tepatnya pasca revolusi iran muncul suatu gerakan yang berbaju “ dakwah “ bertujuan untuk mengusung gaung syari’ah di muka bumi ini, namun dari beberapa sarjana muslim masih berfikir berkali-berkali sehingga timbullah fakta ini sebagai fenomena yang kontroversial di mata dunia yang mana akhirnya bermunculan juga berbagai metodologi dari mereka sebagai kendaraannya semisal garakan “ As Shahwah Al Islamiyah “ atau “ An Nidlam Al Islami “ yang berbasis islami di semua sisi kehidupan, akan tetapi dalam hal ini Al Jabiri memberikan penyikapan yang lain dengan menformat ulang dasar pemikiran mereka dengan metodologi “ At Tajdid “. Ia tidak setuju dengan gerakan “ As Shahwah Al Islamiyah “ yang mereka galakkan karena di analogikan dengan orang yang tidur kemarin itu ketika bangun masih bisa mengulang kehidupannya yang sama dengan hari kemarin tanpa ada perubahan pada hari esoknya dengan bangkit kembali ( As Shahwah ) tapi kalau tidurnya As Habul Kahfi maka teori ini tidaklah cukup tapi harus dengan formulasi yang lain yaitu menformat ulang ( At Tajdid ) teori tersebut, tapi interpretasi tepat pada tajdid disini, Al Jabiri lebih sependapat dengan Bapak Maqashid Syari’ah Imam As Syathibi ( 790 H ) yang lebih logis dan relefan yaitu “ pembacaan ulang teori tajdid[19] itu tidak seharusnya di dasarkan pada masa-masa shahabat karena ( situasi ) mereka tidak akan datang lagi tapi lebih tepatnya di sandarkan pada beberapa sisi yang selalu bisa menyantuh nuansa kemashlahatan “[20].
Maka teori mashlahah yang menjadi rujukan utama serta tolok ukur yang tepat dalam hal ini adalah analisis seputar kegiatan para sahabat dalam menjalankan tasyri’, perpolitikan, perekonomian, sosial, keintelektulan yang kemudian dalam sejarah di sebut “ Aktifitas Sahabat ( عمل الصحابة ) “, dalam menganalisa aktifitas para sahabat mereka tidak terisolasi pada teks-teks nash apalagi beberapa kaidah-kaidah yang masih belum ada ketika itu, mereka hanya berprinsip pada sebuah “ kemashlahatan, naskh-mansukh dan kontekstual nash ( Asbab An Nuzul ) “, jadi sering di jumpai penyikapan mereka atas beberapa kejadian yang sama sekali tidak menggunakan dan “ manut “ pada tekstual nash walaupun hal itu sudah benar-benar jelas baik secara eksplisit maupun implisit tapi hal ini tidak di maksudkan “ me-non aktifkan otoritas nash “ tapi berusaha untuk menyentuhnya dari pintu lain dengan berbagai pemahaman dan takwil, seperti yang terjadi pada beberapa sahabat nabi khusunya pada Sayidina Umar RA yang kemudian dalam sejarah di kenal dengan “ Muwafaqatu ‘Umar “, diantara kasus tersebut adalah semisal di bawah ini:
Sahabat ‘Umar tidak membagi ghanimah berupa tanah “ Sawad Al ‘Iraq “ kepada para sahabat yang ikut perang tapi justru membuat sistem perpajakan walaupun telah jelas dalam nash perintahnya tapi orientasi ‘Umar adalah kemashlahatan generasi masadepan bukan kenikmatan terbatas.
- Sahabat ‘Umar tidak mambagikan zakat kepada para mu’allaf walaupun bertentangan dengan teks nash dan tentunya banyak yang menentang, lalu ‘Umar mengatakan kepada mereka yang meminta “ Rasululah SAW memberikan zakat kepada para mu’allaf karena ketika itu islam masih sedikit dan lemah tapi sekarang islam sudah kuat maka pergilah dan bekerjalah…
- ‘Umar tidak memotong tangan pencuri yang mana ia dalam keadaan sangat lapar dan ketika itu di kenal dengan “ ‘Am Al Muja’ah ( Masa kelaparan ) “, dalam hal ini berarti para sahabat khususnya ‘Umar tidak leterlek serta tekstualis dalam memahami nash.
- ‘Umar RA melarang Khudlaifah menikahi wanita ahli kitab dari yahudi dan nashara karena kehawatirannya timbul fitnah di karenakan akan kemungkinan sahabat-sahabat lainnya mengikuti langkahnya dengan memilih di antara mereka yang cantik-cantuk atau maksud tertentu lainnya.
- Sahabat Khudlaifah tidak menghukum pimpinan perang yang minum khamer karena di khawatirkan kesempatan tersebut di manfaatkan oleh musuh.[21]
Mungkin kita juga bisa menganalisa fenomena “ As Salaf As Sholih “ yang menjadi rujukan utama mereka juga dalam merealisasi syri’ah. Al Jabiri mengkritisi mereka ( baca: salafiyah moderen ) untuk mengimitasi salaf as shalih mereka harus menjaga eksistensi ajarannya dengan menyikapi perkembangan masyarakat agar tidak punah[22] serta berinteraksi dengan peradaban yang lain dengan dua prinsip:
Rasionalis dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan politik, ekonomi dan hubungan sosial masyarakat. Anasisis kritis dalam kehidupan sosial, budaya dan berideologi.[23] Tapi dua hal masih kurang bisa maksimal bila di buat untuk mencontek semua sisi kehidupan salafus shalih karena menurut pandangan Al Jabiri, zamannya sudah beda dan berubah, yang mana masa mereka masih kental akan nuansa dunia adalah sebatas bekal untuk kehidupan akhirat sementara masa moderen sekarang ini adalah zaman majunya keilmuan dan tekhnologi serta gencarnya berbagai macam ideologi-ideologi sehingga sedikit banyak melahirkan sebuah epistemologi islam yang baru, sementara di sisi lain Al Jabiri juga mengatakan bahwa salaf sholih itu adalah sebuah pengalaman sejarah yang telah ada di masa dulu dengan meraih prestasi berharga dalam sejarah islam, kemudian apabila dalam kehidupan kita sekarang ini berusaha meniru tingkah-polahnya sangatlah kurang, jadi permasalahannya sekarang, bagaimana kita menjadi umat islam yang relefan ( sholih ) untuk zaman kita, mampu menghidupkan zaman kita sebagaimana mereka menghidupkan zaman mereka dengan mengukir sejarah baru sebagai penyempurna dari pada masyarakat salaf sholih dulu ( yang di lengkapi dengan hidupnya islam dan syari’ahnya ) sehingga generasi mendatang bisa membangun roda kehidupan mereka sendiri dengan lebih cerah[24].
Pada diskursus setelah di atas adalah proyeksi mereka selanjutnya adalah praktek syri’ah secara totalitas dan sempurna, dalam hal ini Al Jabiri memberikan jawaban yang sangat singkat akan kemungkinan di praktekannya syri’ah secara sempurna itu hanya bisa di lakukan dalam kondisi trasedental yang jauh dari angan-angan dan empirisme manusia karena selama dalam sejarah manusia di muka bumi ini belum di temukan praktek syari’ah secara sempurna, lalu bila kita melihat lebih dalam lagi tentang syari’ah, ia adalah milik tuhan yang maha sempurna secara mutlak kemudian di berikan kepada umat manusia yang ber-notabe serba kurang dan lupa maka hal tersebut sangat sulit kecuali dalam sekala relativisme karena logikanya bila suatu kesempurnaan telah sempurna maka akan tidak ada kehidupan begitu juga syari’at yang di turunkan akan sia-sia tidak ada artinya[25].
Lalu kalau meneliti beberapa opini ulamak mengenai praktek syari’ah, minimal akan menemukan dua pendapat:
Ahmad Baha’udin seorang wartawan majalah Al Ahram mesir mengatakan bahwa sepanjang sejarah islam syari’ah islam tidak terpraktekan, pendapat ini lumayan mendapat kecaman dan tantangan dari beberapa ulamak terutama ulamak Al Azhar. Beberapa ulamak Al Azhar mengatakan memang sepanjang sejarah syari’ah tidak terpraktekan secara sempurna kecuali pada masa Rasulullah SAW dan khulafa’ Urasyidin yang secara gak langsung menolak pendapat sebelumnya. Al Jabiri malah dengan tanpa beban apapun mengatakan dengan tegas bahwa syari’at islam sama sekali tidak pernah terpraktekan secara sempurna karena prakteknya syari’ah islam hanya sebatas relativisme sebgaimana di atas, kemudian tentang beberapa alasan ‘Abid Al Jabiri dalam pendapatnya tersebut diantaranya sebagai berikut: - Syari’ah tidak terpraktekan secara sempurna pada zaman Rasulullah SAW karena Al Qur’an sendiri tidak turun sepontan sekaligus tapi bertahap sedangkan Al Qur’an itu sempurna turun pada ayat “ اليوم أكملت لكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا “ dan menurut riwayat Rasulullah SAW hidup setelah itu sekitar 81 hari, begitu juga hadist belum sempurna kecuali pada waktu Rasulullah SAW menjelang meninggal jadi Al Qur’an sempurna sampai pada habis turunnya begitu juga Al Hadist belum sempurna sampai Rasulullah SAW meninggal.
- Pada zaman khulafa urasyidin syari’ay juga belum sempurna karena pada masa itu para sahabat di hadapkan pada permasalahan-permasalahan baru yang mengharuskan mereka berijtihad sendiri karena tidak pernah di jumpai pada zaman Rasulullah SAW sehingga mereka selalu berdebat karena berbeda pendapat sampai akhirnya sepakat.
- Formulasi syari’ah islam bukan hanya terbentuk dari Al Qur’an, Al Hadist, Ijmak sahabat dan ijtihad mereka akan tetapi ia juga mencakup ketetapan para mujtahid sekarang dan yang akan dating karena syari’ah sendiri adalah milik manusia sepanjang masa[26].
Praktek Syari’ah Dan Metodologi Mashlahah Versi Al Jabiri.
Jika di analisa dari pemikiran Al Jabiri dalam usahanya untuk mengkontekstualisasi syari’ah islam, sangat terlihat jelas bahwa ia terpengaruh dengan teori Imam As Syathibi, dalam metodenya bila terjadi paradoksal antara nash ( Al Qur’an dan As Sunah ) dan sistem mashlahah maka yang di prioritaskan adalah mashlahah tersebut karena nash di turunkan berfungsi untuk menjaga eksistensi mashlahah begitu juga teori ijtihad harus selalu di kembangkan untuk menyikapi persoalan yang ada sehingga pada perkembangannya, sangat sulit ( Baca: tidak munkin ) kalau ada pendapat yang berinisiatif untuk menutup pintu ijtihad dengan berbagai alasannya sedangkan di sisi lain peradapan selalu berkembang, karena ia menduduki kursi yang sangat vital agama walaupun ijtihad dalam hal ini lebih beorientasi pada sebuah metodologi berfikir dalam bentuk tertentu yang mana inspirator dasarnya adalah masih Al Qur’an dan As Sunah. Kemudian dalam mengaplikasi sebuah hukum fiqh, Prof. Dr. Muhamad ‘Abid Al Jabiri tidak seberapa menggunakan teori kontekstualisasi ( Asbab Nuzul ) kuno – yang di rintis oleh para fuqaha’ zaman dulu – tapi ia lebih berkonsntrasi untuk kontekstualisasi Asbab An Nuzul moderen ( baca: problematika kontemporer ) Dalam menganalisa pengambilan Asbab An Nuzul moderen mungkin bisa mengambil dua contoh:
Hukuman potong tangan pada orang yang mencuri. Kalau di lihat dari sisi yang melatar belakangi hukuman tersebut adalah karena tradisi potong tangan pada orang-orang arab sudah di lakukan dan kemudian kondisi alam negara arab waktu itu adalah masih berupa tanah lapang padang pasir dan jarang sekali di temukan suatu bangunan-bangunan, mereka berpindah dengan tendanya dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari rumput dan makan jadi sangat berat ketika itu kalau di praktekan hukuman penjara maka dalam hal ini jalan salah satunya adalah hukuman badan dengan potong tangan tersebut yang mana tujuan utamanya adalah biar tidak mengulangi perbuatan mencuri lagi dan hal itu akan menjadi tanda baginya bahwa dia telah mencuri supaya setiap orang selalu waspada. Menetapkan hukuman zina dengan berbagai syarat-syaratnya semisal harus ada saksi 3 orang dengan mengetahui secara persis masuknya penis ke dalam vagina, ketika itu hal tersebut memang masih mungkin untuk di lakukan dengan di latarbelakangi kondisi alamnya masih mudah untuk mengklarifikasi kejadian seteliti itu karena pada masa itu masih sangat jarang di temukan bangunan-bangunan dan kamar-kamar seperti sekarang ini. Jadi pertanyaannya sekarang adalah apakah logis hal-hal tersebut kita lakukan di zaman yang serba moderen seperti ini ?[27]. Nah, Hal di atas inilah yang nantinya akan menyentuh sisi maqashid syari’ah dan mashlahah kemudian pada akhirnya akan bisa merubah realitas teks-teks suci agama karena pada dasarnya sebuah hukum akan di legalisasi, selama ia logis dan bertalian mesra dengan teori mashlahah – kalau masih menganggap mashlahah tersebut bagian dari pada dasar sayri’at islam –, agar syari’ah dan fiqhnya tetap eksis sepanjang masa serta menghindari agar syari’ah tidak multi tuna dalam prakteknya juga supaya tidak di kucilkan dalam sebuah komunitas masyarakat, maka dari sinilah ia menjadi salah satu motifator untuk selalu kreatif berijtihad dalam rangka realisasi syari’ah sehingga akhirnya melahirkan “ Al Fiqh An Nadlari “ ( Fiqh Teoritis ) sebagai konsekswensi atas kontinuitas perubahan kontemporer.
Prof. Dr. Muhamad ‘Abid Al Jabiri dalam menyikapi proses penyelesaian problematika praktek syari’ah, ia menawarkan dua teori yaitu:
Teori pencarian ‘illat ( Ta’lil ), Qiyas serta Ististmar Al Alfadl ( Tinjauan filologis ) gagasan ini di cetuskan oleh Bapak Ushul Fiqh Imam Syafi’i. Teori aplikasi Maqashid Syari’ah, teori ini di telurkan oleh Bapak Maqashid Syari’ah Imam As Syathibi[28]. Teori Imam Syafi’i dalam pandangan Al Jabiri kalau dalam ranah fiqh yang lebih luas ia akan mengalami keterbatasan dan pada akhirnya akan gagal sendiri karena metodologinya semisal qiyas, ta’lil dan lainnya masih bersifat skeptis bilamana di temukan dengan suatu perasalahan-permasalahan yang tidak mempunyai sisi kesamaan atau tidak bisa di temukan sisi ‘illatnya sedangkan kalau teori Imam Syathibi dalam pandangan Al Jabiri akan semakin relefan dan luas jangkauannya sehingga akan berkesimpulan setiap permasalahan pasti bisa di selesaikan dengan teori ini tanpa ada skeptisme, yang mana standarisasi mashlahah yang relatif harus selalu di prioritaskan secara inheren dalam mengikuti perubahan dan perkembangan dalam setiap ruang dan waktu.
Penutup.
Dalam penutup ini penulis hanya ingin sedikit menulis bahwasannya islam serta beberapa komponen penting di dalamnya harus selalu sejalan dengan roda kehidupan dengan tanpa adanya tumpang-tindih interpretasi yang memojokkan satu sama lain mengingat notabene kebenaran dalam islam sendiri adalah bisa di miliki pada setiap hamba yang hendak mencari mutiara kebenaran itu dengan berbagai sudut pandangnya.
Penulis sangat yakin semua pasti mendapat pahala karena kerinduan mereka dengan kebenaran hakiki dalam islam dengan pendiriannya di atas dasar ijtihad mereka yang tanpa mengurangi keimanannya kepada Allah SWT, sebagaimana kisah Nabi Ibrahim AS dalam surat Al Baqarah akan keinginan kuatnya untuk mengetahui bagaimana cara Allah SAW dalam menghidupkan orang meninggal, tapi Allah SWT menjawab: “ Apa kamu tidak beriman ( percaya ) kepadaku wahai Ibrahim ? Lalu Nabi Ibrahim menjawab: Iya saya beriman dan percaya kepada engkau ya Allah tapi biar hatiku tenang dan lega saja, hingga akhirnya Allah SWT menurutinya dengan mencontohkan sebuah burung. Nah, dari sini kita semua yakin bahwa semua ajaran islam itu adalah benar tapi alangkah baiknya biar hati dan jiwa kita tenang, kita berusaha mencari proses kebenaran-kebenaran tersebut dengan tanpa mengurangi nilai keimanan kita kepada Allah SWT.
____________________________________________
[1] . Makalah ini di presentasikan pada diskusi regular dwi mingguan LAKPESDAM PCI-NU sudan dalam rangka bedah buku “ الدين والدولة وتطبيق الشريعة “ Karya : Prof. Dr. Muhamad ‘Abid Al Jabiri, pada hari selasa tanggal 16 November 2011, Pukul: 17.00 WIS.[2] . Kata orang-orang, orangnya Insyaallah Baik dan Sholih;)…Semoga, Amin3x!!! [3] . Pemikirannya dalam hal ini terlihat jelas dalam salah – satu bukunya yang terkenal “الإسلام هو الحل لماذا كيف ؟ “ yang di cetak di Cairo oleh percetakan Dar Syuruq.[4] . Adalah doktor jebolan Universitas Sorbon – Perancis –, sepesialis Ilmu – ilmu keislaman, sekarang beliaunya masih produktif dalam menulis dan mengajar di Universitas Cairo, pemikiran dia dalam hal ini bisa di ihat pada beberapa bukunya salah-satunya seperti “ هموم الفكر والوطن, التراث والعصر والحداثة “ dengan dua jilid yang di cetak oleh percetakan Darul Ma’rifah Al Jami’iah di Cairo, Mesir.[5] . Munculnya beberapa kontradiksi pada permasalahan ini, secara praktis ada tiga kelompok:Mereka mengatakan bahwa menjadikan seorang pemimpin yang kemudian membentuk negara adalah termasuk bagian pokok dari agama dengan otoritas nash, pendapat ini di pelopori oleh kelompok syi’ah. Pendapat kedua ini berlawanan dengan pendapat sebelumnya dengan mengatakan bahwa memilih seorang pemimpin begitu juga membentuk negara tidak wajib dalam pandangan agama jadi urusan ini di serahkan pada semua orang muslim tapi kalau hal tersebut mungkin di lakukan dengan tanpa ada pertumpahan darah maka itu lebih utama tapi jika tidak mungkin maka cukup dengan seseorang memimpin serta menanggung dirinya sendiri dan keluarganya, alasan mereka adalah kalau seorang pemimpin di pilih dari kalangan mereka sendiri bagaimana bisa mentaatinya? Dan bagaiman kita menjadikan pemimpin sedangkan kita ( baca: mujtahid ) boleh tidak mentaatinya bila tidak sesuai dengan ijtihad ?, pendapat ini di motori oleh pengikut Najdah Al Hanafi ( Najdat ) juga senior-senior khawarij. Kelompok ini mengatakan bahwa menjadikan imam dan negara adalah wajib dengan cara dipilih bukan dari perintah nash, pendapat ini di gulingkan oleh kelompok Ahlu Sunah dan mayoritas Mu’tazilah. ( Lihat: Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, karya Abid Al Jabiri, hal : 24 ).
[6] . Menurut analisa penulis, dalam teori kemajuan sebagaimana yang di gagas di atas lebih bercorak materialistik sementara di satu sisi yang lain kemajuan sepiritual yang justru lebih penting malah belum bisa di sentuh oleh teori tersebut maka dari sini perlu adanya peninjauan lebih dalam lagi dengan berbagai perumusan-perumusan matang demi sebuah penyelarasan.
[7] . Ibid, hal: 63.
[8] . Maksud penulis adalah beberapa kelompok orang yang mengatakan bahwa agama itu mencakup semuanya tidak lain adalah masalah negara dan politik.[9] . Ibid, hal: 86.[10] . Al Jabiri dalam hal ini menggunakan kata “ الخلقية “karena yang nash yang di gunakan sebagai dasarnya tidak bersifat “ Tasyri’ “ sehingga setiap ulamak dalam hal ini sangat leluasa untuk berijtihad.[11] . Ibid, hal: 89 [12] . Ibid, hal: 65. [13] . Ibid, hal: 13.[14] . Dalam hal ini Al Jabiri merasakan kesedihan umat islam pada perjalanan sejarahnya akan satu problematika terhadap teori kepemimpinan khilafah yang beralih ke sistem “ Raja “ atau “ Kerajaan “ yang sebelumnya di benci Rasulullah SAW, hal ini disebabkan tiga hal pokok:Tidak ada pengkodifikasian secara legal dan sistematis akan sebuah sistem kepemimpinan. Tidak adanya aturan akan batas masa kepemimpinan. 3. Tidak adanya sitem yang membatasi akan skill atau kecakapan sebagai khalifah. ( Kecuali pada masa-masa munculnya ahli fiqh dengan ijtihad mereka yang jauh setelah masa itu ). ( Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, karya Abid Al Jabiri, hal : 78 ) [15] . Ibid, hal: 74.[16] . Dari sini perlu di ketahui, bahwa ketika Al Qur’an atau As Sunah tidak membahas permasalahan hubungan agama dan negara serta menejemen kenegaraan lainnya, berarti yang menjadi rujukan utama serta tolok ukur yang tepat dalam hal ini adalah analisis seputar kegiatan para sahabat dalam menjalankan tasyri’dan perpolitikannya yang mana itu semua bercorak sosial, keintelektulan, perekonomian dan perpolitikan kemudian di sebut dengan “ Aktifitas Sahabat ( عمل الصحابة ) “ dengan sama sekali tidak menafikan kekreatifan masa setelahnya dari para fuqaha’ dan teman-temanya dalam berijtihad pada masalah tersebut walaupun bersifat temporal dan terpaku pada batas teritorialitas tertentu yang tetunya itu semua bukan bagian dari agama kesakralannya, dalam menganalisa aktifitas para sahabat mereka tidak terisolasi pada teks-teks nash apalagi beberapa kaidah-kaidah yang masih belum ada ketika itu, mereka hanya berprinsip pada sebuah “ kemashlahatan, naskh-mansukh dan kontekstual nash ( Asbab An Nuzul ) “, jadi sering di jumpai penyikapan mereka atas beberapa kejadian yang sama sekali tidak menggunakan dan “ manut “ pada tekstual nash walaupun hal itu sudah benar-benar jelas baik secara eksplisit maupun implisit tapi hal ini tidak di maksudkan “ me-non aktifkan otoritas nash “ tapi berusaha untuk menyentuhnya dari pintu lain dengan berbagai pemahaman dan takwil, seperti yang terjadi pada beberapa sahabat nabi khusunya pada Sayidina Umar RA yang kemudian dalam sejarah di kenal dengan “ Muwafaqatu ‘Umar “, diantara kasus tersebut adalah semisal di bawah
- Sahabat ‘Umar tidak membagi ghanimah berupa tanah “ Sawad Al ‘Iraq “ kepada para sahabat yang ikut perang tapi justru membuat sistem perpajakan walaupun telah jelas dalam nash perintahnya tapi orientasi ‘Umar adalah kemashlahatan generasi masadepan bukan kenikmatan terbatas
-Sahabat ‘Umar tidak mambagikan zakat kepada para mu’allaf walaupun bertentangan dengan teks nash dan tentunya banyak yang menentang, lalu ‘Umar mengatakan kepada mereka yang meminta “ Rasululah SAW memberikan zakat kepada para mu’allaf karena ketika itu islam masih sedikit dan lemah tapi sekarang islam sudah kuat maka pergilah dan bekerjalah
- ‘Umar tidak memotong tangan pencuri yang mana ia dalam keadaan sangat lapar dan ketika itu di kenal dengan “ ‘Am Al Muja’ah ( Masa kelaparan ) “, dalam hal ini berarti para sahabat khususnya ‘Umar tidak leterlek serta tekstualis dalam memahami nash
- ‘Umar RA melarang Khudlaifah menikahi wanita ahli kitab dari yahudi dan nashara karena kehawatirannya timbul fitnah di karenakan akan kemungkinan sahabat-sahabat lainnya mengikuti langkahnya dengan memilih di antara mereka yang cantik-cantuk atau maksud tertentu lainnya.
- Sahabat Khudlaifah tidak menghukum pimpinan perang yang minum khamer karena di khawatirkan kesempatan tersebut di manfaatkan oleh musuh. ( Lihat : Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, karya Abid Al Jabiri, hal : 48 ). [17] . Ibid, hal: 73.[18] . Ibid, hal: 118.[19] . Pemakna’an ulang At Tajdid di atas berbeda jauh dengan dengan pendapat ulamak-ilamak islam kontemporer semisal Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Prof. Dr. Yusuf Al Qardlawi, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan Al Buthi dan teman-temannya yang dalam memaknai At Tajdid di atas lebih di tekankan kebelakang dengan pengambalian ek masa lalu ( Lihat: Makalah Prof. Dr. Sa’id Ramadlan Al Buthi tengan tema besar At Tajdid Fi Al Fikr Al Islami, cet: Wazaratul Auqaf – cairo – ) [20] . Ibid, hal:132.[21] . Ibid, hal: 48[22] . Ibid, hal:140.[23] . Ibid, hal:142.[24] . Ibid, hal:143.[25] . Dalam hal ini, penulis teringat akan pertanyaan ‘Abdul Malik anak khalifah Umar Bin ‘Abdul ‘Aziz kepada bapaknya, Kenapa engkau ketika memimpin tidak mempraktekan syari’ah secara sempurna? Lalu Khalifah menjawab: Jangan tergesa-gesa wahai anaku, bahwasanya Allah SWT mencela khamr itu dua kali dan baru mengharamkannya kali yang ketiga, sebenarnya saya takut membebani manusia sepontanitas karena ia nanti akan menolak secara sepontanitas pula dan nantinya malah menimbulkan fitnah. Maka dari sini sejauh analisa penulis dalam poryek Al Jabiri pada bukunya tersebut, sebelum melakukan praktek syari’ah maka ada empat hal yang jauh lebih penting untuk di realisasikan lebih dulu yaitu:Menanamkan prinsip “ وأمرهم شوري بينهم “ dalam berpokitik. Menanamkan prinsip “ كاد الفقر أن يكون كفرا “ dalam kehidupan sosial dan berekonomi. Menanamkan prinsip “ هل يستوي الذين يعلمون والذين لا يعلمون “ dalam kehidupan intelektual keilmuan. Dan menanamkan prnisip “ الناس كأسنان المشط “ dalam berinteraksi di berbagai setrata bermasyarakat. [26] . Dalam hal ini Al Jabiri juga menolak pendapat ulamak Al Azhar yang mengatakan seperti di atas, bahwa syari’ah islam yang ada pada zaman Rasulullah SAW dan khulafa’ Ur Rasyidin itu sudah terpraktekan secara sempurna tanpa harus menunggu keseluruhan, Al Jabiri menolak pendapat ini karena alasan debating sebagai berikut:
-Memang syari’ah baik Al Qur’an maupun Hadist sudah di kenal dan di jalankan pada zaman Rasulullah SAW sebagai syari’ah yang hidup tidak setagnan namun di situ juga terjadi Nasikh dan Mansukh terus apakah baik posisi Nasikh ataupun Mansukh itu masuk pada kategori sempurna atau tidak? Lalu apakah orang-orang yang hanya mengaku di depan Rasuullah SAW masuk islam itu semua sudah mnejalankan syari’ah ? Terus mereka yang berbondang-bondong dating ke Rasulullah SAW kemudian mengaku masuk islam, apakah Rasulullah SAW tidak mengutus salah seorang sahabat untuk mengajarinya?
-Begitu juga masa sahabat adalah masa perluasan daerah islam kemudian ada orang-orang mengaku masuk islam, kemudian mereka sangat mambutuhkan belajar agama barunya sambil menunggu kondisi tenang maksudnya tidak mungkin langsung di praktekan syari’ah dalam kondisi seperti itu.
-Bagaimana dengan ijtihad-ijtihadnya para khulafa urasydin yang tidak sedikit meraka merubah beberapa aturan yang telah di lakukan oleh khalifah sebelumnya separti yang terjadi antara Umar dan Abu Bakar yang merobah sistem pembagian tanah ke sistem pajak.
-Kemudian, kita mungkin bisa menjawab sendiri ketika menganalisa pada zaman kita sekarang ini akan sempurna atau tidaknya praktek syari’ah?. ( Lihat : Ad Din Wa Daulah Wa Tahtbiq As Syari’ah, karya Abid Al Jabiri, hal : 208 ).
[27] . Ibid, hal:173.