Jumat, 25 November 2011

Konsep NU dalam Bertasawuf

         Konsep dalam kamus KBBI berarti rancangan atau idea atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret. Kata ini berasal dari bahasa Inggris yaitu concept yang bila di”bahasa arabkan” menjadi “mafhum”.NU sendiri adalah sebuah organisasi yang didirikan pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) oleh para ulama yang mewakili pesantren pesantren di Indonesia sebagai wujud sikap penolakan dari gerakan wahabi yang muncul dari Arab Saudi.Sedangkan Tasawuf adalah cara untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-Nya.

            Berangkat dari judul di atas, maksud dari penulis memberi judul tersebut adalah “Bagaimana mafhum tasawuf menurut NU?”. Atau dengan istilah lain, “Bagaimana NU memahami tasawuf?” Dan “Bagaimana NU bertasawuf?”. Lebih gamblangnya adalah, tasawuf yang dipraktekkan oleh NU itu seperti apa sih?.  Di samping judul ini merupakan permintaan teman teman dari LTN PCI NU Khartoum Sudan, judul ini memiliki relevansi sebagai satu bentuk kepedulian penulis untuk mempelajari kembali “paham” ke”NU”an dalam bidang tasawuf.

          Penulis tidak ingin berkutat kepada definisi tasawuf yang dipaparkan oleh para ulama, tidak pula penulis ingin menggambarkan sejarah bagaimana Tasawuf berkembang dari masa ke masa, bukan pula penulis ingin menulis tentang tasawuf itu sendiri.Penulis “hanya” ingin merumuskan bagaimana NU bertasawuf. Itu saja. Sehingga tulisan ini bisa menjadi rujukan bagi para kader Nahdlatul Ulama yang “ingin” terjun ke dunia “sufi”. Mengingat saat ini banyak aliran sufi yang muncul dan relatif aneh dan baru bagi kalangan Nahdliyyin.
Dalam Qonun asasi yang ditulis oleh Rais Akbar NU Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, beliau hanya menyebutkan rumusan Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam bidang fikih yaitu keharusan mengikuti empat (4) madzhab yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sedangkan bidang tasawuf beliau tidak menyebutkan secara khusus. Namun yang menarik dari tulisan beliau adalah beliau sangat mengkritik Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Inilah yang menjadi alasan kuat para ulama untuk bersatu mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama.

           Dalam perkembangan selanjutnya, Tasawuf mendapat perhatian khusus dari kalangan ulama NU seperti  KH. Bisri Mustofa, KH. Achmad Siddiq, KH. Saefuddin Zuhri, KH. Dawam Anwar, KH. Said Aqil Siradj, KH. Sahal Mahfuzh, KH. Wahid Zaini, KH. Muchith Muzadi, dan DR. KH. Tolchah Hasan.Mereka menjabarkan banyak konsep tentang Aswaja wa bil khusus tentang tasawuf atau akhlaq sampai pada perkembangan selanjutnya, tasawuf menurut NU adalah Mengikuti Junaid al-Bagdadi dan al-Ghazali.Tentu menarik untuk dicerna kenapa para ulama NU mengambil keputusan untuk menerima tasawuf di area “Aswaja” yang di lain pihak oleh Wahabi sangat diperangi dan sangat dimusuhi.

           Bagi kita generasi muda NU, pasti sudah mengenal dua tokoh tersebut. Syekh Junaid al Baghdadi yang sering dikutip qoulnya oleh para ulama dan kiai kita dalam setiap kesempatan, apalagi dengan sosok Syekh Abu Hamid Al Ghazali yang mempunyai karya masterpiece yaitu kitab Ihya ‘Ulumuddin yang merupakan bacaan wajib bagi para pengamal tasawuf di Indonesia.

            Dari titik tolak dua tokoh ini, penulis ingin mempelajari ilmu tasawuf yang menurut sebagian generasi muda, ilmu ini sangat sulit dilakukan. Karena harus melalui tahapan tahapan latihan dan tempaan. Dan tentu, tasawuf ala dua tokoh inilah yang benar benar diakui oleh organisasi Islam terbesar di dunia ini.

Tasawuf menurut Syekh Junaid al Baghdadi dan Al Ghazali

            Kedua tokoh ini merupakan panutan umat Islam dalam menjalani ajaran sufi. Bukan lain karena kedua tokoh ini memperjuangkan islam garis tengah, tawassuth dan moderat. Tapi tetap memegang tegas prinsip dasar islam. Dalam suatu qaidah yang pernah saya pelajari ketika menjadi mahasiswa Universitas Internasional Afrika, al Islaamu bainats Tsabaat wal Muruunah, islam berprinsip memegang teguh ajaran pokoknya, tanpa melupakan kelenturan ajarannya yang selalu sesuai dengan zaman, situasi dan kondisi.

          Pandangan - pandangan para sufi sebelum Junaid cukup radikal. Mereka memandang tokoh tokoh fikih sebagai orang orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan. Namun mereka mengabaikan esensi dan hakikat. Banyak penyelewengan yang dilakukan dengan legalitas hukum fikih yang menurut mereka menyalahi hati nurani mereka.Mengangkangi norma dan akhlak serta kesejatian manusia sebagai hamba Allah.Hal inilah yang menjadi penyebab pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih.

          Di lain pihak, para ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang orang zindiq, yang mengaku islam tapi tidak pernah menjalankan syari’atnya.Hal ini karena banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan tuntunan syari’at. Bahkan ada beberapa amaliah yang dikenal di kalangan ahli tasawuf, namun terbilang asing bagi para ahli fikih. Sehingga acapkali stempel bid’ah dilontarkan oleh para pakan syariat itu.Keadaan semakin runyam dengan hadirnya orang orang yang hanya mencari pembenaran atas prilakunya yang tidak sesuai dengan syari’at, yang di sisi lain mereka menggunakan pandangan pandangan ahli tasawuf. Mereka disebut oleh al Ghazali sebagai mutashawwif (orang yang pura pura menjadi sufi) bukan sufi hakiki.Hal inilah yang merisaukan Junaid. Beliau berpandangan bahwa antara syariat dan fikih tidak boleh dipertentangkan. Beliau berprinsip bahwa tasawuf dan fikih sama sama berdasarkan ajaran Nabi. Mestinya kedua cara pandang yang cenderung hakikat sentris dan yang cenderung legalit sentris dikompromikan. Dalam hal ini Juanid mengatakan:Ilmu (tasawuf) kami ini dilandasi oleh Al Quran dan As Sunnah, barangsiapa tidak membaca Al Quran dan menulis As Sunnah, maka ucapannya tidak dapat diikuti dalam ilmu kami ini.

         Menurut Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah. Dari sini gagasan Junaid sangat bisa diterima oleh kalangan ahli fikih dan hadits.Setelah Junaid, pada abad ke lima, Al Ghazali datang untuk menjadi pioneer dalam memadukan ilmu kalam, fiqih dan tasawuf yang sebelumnya mengalami ketegangan.Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.

        Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.

        Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.Apa yang telah diupayakan Al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya karena telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al Quran dan hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.

         Tentu bagi generasi saat ini sudah seharusnya bukan hanya mempelajari Islam, tapi yang lebih penting adalah mengamalkannya. Tasawuf dalam kajian akademis adalah sangat penting untuk menjadi pegangan para pencari ilmu, tapi yang lebih penting adalah mengamalkannya. Sangatlah naïf, bila kita mengetahui sejarah tasawuf, konsep tasawuf dan hapal al hikam, bila sehari hari kita tidak mempunyai keinginan untuk mengamalkannya.Sedikit dan bermanfaat lebih baik daripada banyak tapi tidak manfaati.

          Semoga kita diberi petunjuk dan pertolongan dari Allah SWT untuk selalu dan selalu menjadi yang lebih baik dihadapanNya. Amiiin.