Jumat, 25 November 2011

KAJIAN KRITIS KONSEP MASLAHAH ABED AL-JABIRI “Sebuah Tawaran Abed al-Jabiri dalam Penerapan Syari’at”[1]


Oleh : Miftahul Munif[2]
Pendahuluan.
Dalam diskursus pemahaman teks dan penafsirannya diera modern ini menurut DR Yusuf al-qardlawi ada tiga model[3] :
-          Memahami teks secara harfiyah dan kolot tanpa memandang maqasid syari’ah yang terkandung di teks tersebut, dalam istilah dr yusuf al-qardlawi disebut dengan dzahiriyah jujud ( kelompok tekstual yang baru ). Sebagaimana pemahaman al-bany dalam hal kewajiban zakat harta dagangan, menurutnya tidak diwajibkan bagi pedagang untuk zakat dengan alasan tidak ada nash sharih yang mewajibkannya. Begitu juga kelompok ahbasy  dari mazhab syafi’i berbendapat bahwasanya mata uang sekarang tidak bisa dianalogikan dengan emas dan perak dalam berbagai hukum yang terkandung di dalamnya, seperti riba dan wajibnya zakat tatkala mencapai ketentuan tertentu.
-          Memahami teks dengan kaca mata maqasid saja dan mengabaikan dilalatul al-nash walaupun nash tersebut qath’iyu stubut wa dilalah. Dan mendahulukan maslahah tatkala berbenturan dengan nash (secara mutlak). Kelompok ini diwakili banyak para pemikir islam kontemporer seberti Arkon, Muhamad abid al-jabiri dkk.
-          Memahami nash dengan metodologi penggabungan dari kedua metodologi diatas yaitu memahami teks dengan memakai kaca mata maqasid syari’ah tapi tidak mengabaikan analisis tekstual yang terwujud dalam pembahasan usul fikih (dilalatul alfadz ‘alal ma’na).
              Dari ketiga kelompok ini menurut Dr Yusuf qardawi kelompok ketigalah yang paling ideal dari semuanya.
                Dalam diskusi kali ini saya akan sedikit mengupas dari setetes pemikiran kelompok kedua, yang mengambil satu tokoh yaitu Muhammed abid al-jabiri, itupun sekelumit dari pemikirannya yang dituangkan dalam kitab beliau “al-din wa al-daulah wa tathbiqu al-syari’ah” . saya akan mengkaji satu poin aja yang terdapat di dalam kitab tersebut yang mana menurut saya merupakan permasalahan pokok yang beliau tawarkan dalam kitab tersebut yaitu konsep maslahah.
Rumusan Konsep Maslahah yang ditawarkan al-Jabiry
Abed al-jabiri dalam kitabnya “al-din wa al-daulah” menyinggung permasalahan konsep maslahah dalam dua tempat, pertama : di muqaddimah bagian ketiga dari halaman 41 – 53 dengan menyebutkan tujuh contoh ijtihad khalifah Umar bin khatab ra yang menurut al-jabiri bisa dikategorikan pendahuluan maslahah terhadap nash.
Akan penulis ambil tiga sampel dari tujuh permasalahan yang dijadikan pijakan al-jabiri dan kita diskusikan, apakah itu bisa dijadikan hujjah untuk mendukung konsep maslahahnya atau sebaliknya.
Pertama : masalah pembagian harta rampasan perang yang mana khalifah Umar ra tidak membagi tanah rampasan yang ada di irak kepada para tentara perang, sedangkan di dalam al-qur’an dengan jelas diterangkan bahwa rampasan perang dibagikan kepada para tentara ( orang- orang yang ikut perang ), tetapi Umar ra lebih mendahulukan kemaslahatan kaum muslimin dimasa yang akan datang daripada kemaslahatan sebagian muslim (tentara) dimasa sekarang saja[4].
Kedua : pembagian zakat terhadap “ muallafati qulubuhum” (orang yang baru masuk islam atau orang yang diharapkan masuk islamnya) yang mana sudah ada nashnya dalam al-qur’an untuk dibagikan zakat kepada mereka dan rasulullah saw juga memberi mereka zakat diteruskan oleh khalifah Abu bakar ra. Tetapi di masa kekhalifahan Umar ra berkebalikan dari sebelumnya, mereka tak dikasih zakat dengan alasan islam sudah tidak membutuhkan mereka. Secara dzahir penerapan syari’ah Umar ra bertentangan dengan tekstualitas nash.[5]
Ketiga : potong tangan bagi pencuri disaat masa krisis, yang mana khalifah Umar ra tidak memotong tangan pencuri disaat krisis, yang secara kasat mata pertentangan dengan nash al-qur’an yang memerintahkan potong tangan bagi pencuri (secara mutlak)[6].
Di atas merupakan tiga sempel dari tujuh contoh yag dikemukakan al-jabiry tentang konsep maslahahnya, yang mana nanti aka kita diskusikan lagi secara kritis.
Selanjutnya al-jabiry mengupas lagi konsep maslahahnya dalam bab- bab akhir yaitu bab “ma’quliyatul ahkam al-syar’iyah” (rasionalitas hukum- hukum syari’at) dari halaman 167- 176 dan bab setelahnya hal. 177- 183 . Yang mana dalam bab ini beliau menjelaskan dalam upaya penerapan syari’ah kita harus membuka lebar pintu ijtihad dan tidak cukup dengan ijtihad dalam masalah cabang (furu’) tetapi lebih jauh lagi yaitu “ta’shilul usul” [7] (membangun pondasi usul (fikih))  dengan menekankan titik berat maqashidus syari’ah yang dibahasakan olehnya dengan kemaslahatan publik.
 Beliau membandingkan antara dua buah metodologi dalam menggali hukum yaitu d metodologi qiyas atau analogi dan metodologi maqasid syari’ah. Beliau mengkritisi metodologi qiyas yang sudah dibangun imam syafi’i, dan dianggapnya tidak sanggup menjawab permasalahan kekinian serta menganggap bahwa metodologi analogi ini terkesn sangat ribet. Lain halnya membangun rasionalitas hukum dengan menggunakan metodologi maqasid maka akan didapatkan lebih luwes dan dia menganggap bahwa membangun rasionalitas hukum dengan maqasid berangkat dari premis yang rasional yaitu kemaslahatan umum yang mana penerapan syari’ah islam harus berdasarkan dengan kemaslahatan umum tersebut.[8]
Ada satu hal lagi yang sangat penting dalam konsep maslahahnya al-jabiry yaitu “ dauranul ahkam ‘ala al-mashalih ( al-hikmah)”. Beliau berpendapat bahwa hukum – hukum islam, ada dan tidak adanya itu perputar berdasarkan hikmah atau maslahah tidak pada illatnya yang sebagaimana telah dipaparkan oleh kitab- kitab usul fikih dari masa kodifikasi sampai sekarang. Beliau berpendapat bahwasanya kaidah tersebut tidak ada dalilnya dari al-qur’an maupun as-sunah melainkan hanya ijtihad dari para ulama’ untuk membangun metodologi dalam ijtihad bahkan sebelum masa kodifikasi usul fikih para mujtahid terutama Umar bin khatab ra memutarkan hukum pada maslahah dan hikmahnya tidak pada illatnya. Karena itu sah- sah saja tatkala dalam rangka membangun lagi metodologi usul dengan menggunakan kaidah tersebut, sehingga penerapan syari’at islam akan relevan disetiap ruang dan waktu.[9]


Study Kritis Atas konsep di atas.
Sudah banyak kita temukan kajian tentang konsep maslahah baik sebelum kitab “al-din wa al-daulah” ditulis maupun setelahnya. Dan tawaran yang digagas oleh al-jabiry bukanlah hal yang baru, bahkan banyak pemikir- pemikir sebelumnya juga menawarkan konsep tersebut atau minimal dalam ijtihadnya secara parsial, sebagaimana pendapat seorang ulama al-azhar tentang diperbolehkan bunga bank kalau hanya sekian persen dengan menggunakan konsep “al-ahkam taduru ma’a hikmatiha” (hukum berputar pada hikmahnya). Dilain pihak kita temukan banyak kitab yang membantah tawaran- tawaran tersebut, yang mana menurut saya kitab yang paling komplit membahas hal ini adalah kitab “dhawabitul maslahah” desertasi doktorahnya Dr Muhammad sa’id ramadlan al-buthi. Kitab yang setebal 456 halaman ini secara detail membahas metodologi dan batasan- batasan dalam berhujjah dengan maslahah serta beliau membantah kerancuan- kerancuan pemikiran dalam memahami konsep tersebut. Selain al-buthi, Dr Yusuf qaradlawi juga sering membahas dalam kitab- kitab beliau walaupun pembahasannya tak sedetail kitabnya al-buthi. Sebagai contoh dalam kitab beliau “ as-siyasah al-syar’iyah”  beliau mengupas dalam satu bab penuh dari hal. 155- 222. Beliau membantah kerancuan- kerancuan dalam memahami konsep maslahah tersebut yang mana sedikit banyak telah membantah tawaran al-jabiry dalam hal ini.
Dari paparan diatas dapat kita ketahui ada tiga poin yang akan kita kaji dari pemikiran al-jabiry dalam buku tersebut : fikihnya Umar ra, mendahulukan istidlal dengan maslahah daripada dengan qiyas dan berputarnya hukum tergantung pada hikmah yang tergantung di dalamnya. Mari kita kupas satu- persatu dari tawaran al-jabiry tersebut!
-          Apakah sayyidina Umar ra dalam beberapa ijtihadnya di atas mengabaikan nash dan mendahulukan maslahah ?
Jawaban pertanyan ini bisa dengan dua cara : jawaban secara global dan jawaban secara detail.
Jawaban global dari tertanyaan di atas adalah tidak benar kalau beliau ra mengabaikan nash dengan hanya berpedomman dengan mashlahah yang lahir dari pendapat beliau sendiri, bahkan sebaliknya adalah yang benar yaitu beliau terkenal dengan “waqaffan” di depan nash, baik al-qur’an maupun as-sunnah bahkan beliau sering mencela berargumen hanya dengan “ra’yu”. Akan saya paparkan secara singkat bukti- bukti tersebut.
1-      Cerita yang sangat populer yaitu tatkala beliau ra berkhutbah dan beliau berupaya untuk membatasi mahar (supaya mahar tak terlalu besar), maka seketika itu ada seorang wanita yang protes dengan berdalil dari al-qur’an surat annasa’ ayat 20, maka seketika itu pula beliau berkata : “wanita ini benar dan umar salah”.
2-      Beliau ra ingin menjadikan denda untuk jari berbeda- beda karena memandang terpautnya kemanfaatan dari satu dengan yang lainnya, sehingga sampai padanya bahwasanya rasulullah saw menyamakan diantaranya, maka beliau meninggalkan pendapatnya.
3-      Beliau ingin merajam orang gila, sehingga beliau tau sabda rasulullah saw : “qalam diangkat bagi tiga orang .... diantaranya orang gila “.
4-      Beliau ra berkata : “jauhilah ashhabur ra’yi , karena sungguh mereka adalah musuh- musuh sunnah “![10]
Dari bukti- bukti tersebut tidaklah masuk akal kalau Umar ra meninggalkan nash dengan berdalih bertentangan dengan kemaslahatan. Dan sekarang kita menuju jawaban secara terperinci dari sempel ijtihadnya umar ra yag di jadikan pijakan al-jabiry dalam merumuskan konsep maslahahnya.
1-      Masalah pembagian harta rampasan perang. Apakah beliau ra bersebrangan dengan nash?
Dalam hal ini saya hanya akan menunjukkan referensi yang menjawab secara detail karena akan terlalu panjang kalau saya jabarkan di sini, diantaranya buka as-siyasah al-syar’iyahnya Yusuf qaradlawi hal. 192- 201 dan kitab dhawabitul mashlahah karya al-Buthi hal 163- 175. Di situ dipaparkan secara detail mengenai alasan- alasan Umar ra yang berargumen dengan al-qur’an dan assunnah, yang mana beliau tidak bisa dikatakan mengabaikan nash.
2-      Pembagian zakat terhadap “muallafati qulubuhum” . Dalam menjawab hal ini cukup merujuk as-siyasah al-syar’iyah hal. 174- 187 dan dhawabitul mashlahah hal. 154-156 !
3-      Tidak dipotongnya tangan pencuri. Cukup lihat as-siyasah al-syar’iyah hal. 202- 207 dan  dhawabitul mashlahah hal. 156- 157 !
-          Beragumen dengan menggunakan maslahah secara mutlak (tanpa ada batasan) dan kritikannya terhadap qiyas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua mazhab empat menggunakan maslahah dalam penggalian hukum, tetapi yang paling populer dari keempatnya adalah mazhab maliki yang banyak berdalil dengannya, yang disebut dengan maslahatul mursalah. Tetapi dalam beragumen dengannya ada batasan dan syarat yang harus dipenuhi sebagaimana beragumen dengan dalil- dalil yang lain (qiyas, istihsan, ishtihab dll).
Dalam kitabnya dr muhammad said ramdlan al-buthi “ dlawabitul mashlahah” beliau membahas secara detail syarat- syarat beragumen dengan mashlahah, ada lima syarat yang harus dipenuhi.
1-      Tidak bertentangan dengan al-qur’an, kalau ada maslahah yang dianggap bertentangan dengannya maka mashlahah tersebut hanya prasangka (mauhumah) yang mulghah. Selanjutnya beliau menjelaskan argumennya tentang kebenaran syarat ini[11].
2-      Tidak bertentangan dengan hadis yang shahih[12].
3-      Tidak bertentangan dengan ijma’.
4-      Tidak bertentangan dengan qiyas shahih[13].
5-      Tidak bertentangan dengan kemaslahatan yang lebih penting[14].
Di setiap poin dari kelima ini beliau menjelaskan secara detail serta membantah kerancuan atau subhat yang ada di dalamnya, serta menjelaskan argumen- argumen yang membenarkan syarat- syarat tersebut.
Adapun kritikan al-jabiry terhadap qiyas dalam penggalian hukum dan pendapatnya yang lebih mengajak untuk menggunakan konsep maqasid tanpa menengok kemetodologi qiyas yang ribet, maka cukuplah merujuk apa yang ditulis al-buthi disyarat yang keempat yaitu tidak bertentangan dengan qiyas, di kitabnya dari hal. 229- 259.

-          Permasalahan ketiga adalah : apakah hukum itu berputar pada illatnya atau pada hikmahnya ?
Dalam masalah ini al-jabiry menewarkan konsep yang terbalik dari yang umum yaitu berputarnya hukum pada hikmah atau maslahah dan tidak pada ilatnya.
Untuk menjawab pertanyaan ini akan saya serahkan kepada peserta diskusi untuk membahsnya lebih lanjut.
Penutup.
                Dalam upaya penerapan syari’at islam dalam sebuah negara memang harus dirumuskan secara matang, tidak boleh secara cerobah yang mana akan mengakibatkan tercorengnya syari’ah itu sendiri tatkala penerapannya tidak sesuai dengan yang semestinya.
  


[1] Makalah ini sebagai pembanding pada diskusi LAKPESDAM PCINU Sudan. Rabu, 16 November 2011
[2] Pengemis ilmu dari padepokan kulon banon
[3] Dr Yusuf qaradlawi, al-siyasah al-syar’iyah, hal. 228
[4] Dr Muhammed Abid el-jabiry, al-din wa al-daulah wa tathbiqu al-syari’ah, (Bairut :markas dirasat wahdah islamiyah. Cet 3, 2009) hal. 45- 47
[5] Ibid hal. 47- 48
[6] Ibid hal.48- 49
[7] Ibid, hal.167
[8] Ibid, hal. 168- 169
[9] Ibid, hal. 177- 183
[10] Dr Yusuf qaradlawi, al-siyasah al-syar’iyah ... . hal: 218- 220 / Dr muhammad said ramdlan al-buthi, dhawabitul mashlahah si al-syari’ah al-islamiyah” (bairut : darul fikri, cet, 6, 2008 ) hal.153
[11] Lihat dhawabitul mashlahah fi al-syari’ah al-islamiyah (damaskus : darul fikr cet 6, 2008) hal. 141- 175
[12] Ibid , hal. 176
[13] Ibid, hal.229
[14] Ibid, hal. 260