Informasi Haji 2011 PCI NU Sudan

Berita terbaru mengenai Haji 2011 Safarina Travel PCI NU Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Pelantikan PCINU Sudan 2011-2012

Acara Pelantikan PCINU Sudan 2011-2012 di Wisma NU Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Eksistensi NU di Era Modern

Acara HARLAH NU yang mengangkat tema Eksistensi NU di Era Modern. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

JSQ NU Sudan Hadiri Dukungan untuk Sudan

Jamiyyah Syifa’ul Qulub hadir dalam undangan Jaliyyah al-Arabiyyah wal Islamiyyah di Sudan. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Pelantikan NU Sudan Masa Khidmat 2010-2011

Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Khartoum Sudan masa Khidmat 2010-2011 resmi dilantik. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

"HAMKA" Diskusi Reguler LAKPESDAM NU Sudan

Acara Diskusi Reguler LAKPESDAM NU Sudan kali ini mengangkat sosok HAMKA. Silahkan klik judul di atas untuk selengkapnya.

Kamis, 16 Februari 2012

Filsafat Ibnu Thufail

Oleh : Misbachul Anam MS

kalangan muslim spanyol telah menorehkan catatan paling mengagumkan dalam sejarah intelektual pada abad pertengahan (mediavelis) di Eropa. Antara pertengahan abad ke-8 dan ke-13. Orang orang yang berbicara dengan bahasa Arab adalah para pembawa obor kebudayaan dan peradaban penting yang menyeruak menembus seluruh pelosok dunia. Selain itu mereka juga merupakan wasilah perantaraan yang menghubungkan ilmu dan filsafat yunani klasik sehingga khazanah kuno itu ditemukan kembali. Tak hanya menjadi mediator mereka juga memberikan beberapa penambahan dan proses transmisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan lahirnya pencerahan di Eropa Barat. Dalam semua proses tersebut bangsa arab-spanyol mempunyai andil yang sangat besar.

Di antara pencapaian yang telah mereka peroleh adalah dalam ranah pemikiran filsafat dan tasawwuf yang merupakan rantai yang paling kuat dalam mata rantai yang menghubungkan antara filsafat yunani ,timur dan latin barat, pencapaian mereka semakin kokoh dan diakui terutama dalam kontribusi mereka yang telah berhasil melakukan upaya mengkompromikan antara wahyu, akal dan intuisi serta agama dan ilmu pengetahuan. Untuk menunjukkan sisi dari kontribusi muslim spanyol abad pertengahan dalam ranah fisafat akan penulis ketengahkan nama Ibnu Thufail yang merupakan tokoh filosuf muslim neoplatonis spanyol yang telah mencapai orisinalitas karya yang sedemikian rupa yang hidup pada masa pemerintahan dinasti muwahhidun.

Namanya adalah Abu bakar Muhammad bin Abd al Malik ibn Muhammad ibn Thufail al Qaisi dinisbahkan kepada Qobilah Qais yang yang merupakan qobilah termasyhur pada saat itu. Beliau di lahirkan pada abad 12 di lembah Khushoib yang jauhnya sekitar 60 km dari Granada sebagaimana kalangan islam pada masa itu dia belajar lebih dari satu bidang keilmuan meliputi filsafat, kedokteran, matematika, kosmologi ,sastra dan sufisme dari beberapa ulama islam pada masanya hingga akhirnya berhasil mencapai keahlian dalam bidang kedokteran sehingga di percaya sebagai dokter pribadi oleh Abu Ya’qub Yusuf al Manshur (1163-1184) yang merupakan khalifah dinasti Muwahhidun saat itu, dan Ibnu Thufail wafat pada tahun 1185 di ibukota muwahhidun, Maroko.

Sebagaimana umumnya para filosuf yang tenggelam dalam kerja kontemplatif, Ibnu Thufail juga berfikir tentang alam dan bagaimana proses-prosesnya serta agama dan bagaimana kemunculannya kemudian beliau merangkum hasil-hasil pencerahannya dalam karyanya yang terkenal yang di beri nama Hay bin Yaqdhan (hidup anak kesadaran, yang bermaksud bahwa intelek manusia berasal dari intelek Tuhan ) atau di kenal juga sebagai asraar al falsafah al isyraqiyah (rahasia-rahasia filsafat eluminasi) dan hasil karyanya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada masa di mana bahasa tersebut hanya digunakan sebagai penterjemah karya-karya besar ilmiah (magnum opus) yang menjadi referensi utama, termasuk yang telah menerjemahkannya ke dalam bahasa latin adalah Giovanni Vico Dolla Mirandolla (Abad 15) kemudian yang paling terkenal adalah Edward Pockoke yang memberi tajuk pada karya tersebut Philosophus Autodidaktus (al Filosuf al Mu’allim nafsaha/Sang filosuf Autodidak) di mana nama tersebut ditujukan sebagai apresiasinya terhadap Ibnu hufail, pada masa selanjutnya karya ini juga telah di terjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. yang di dasarkan pada edisi bahasa latin di antaranya adalah Simon Ockley yang menerjemahkanya dalam bahasa inggris : The Improvement of Human Reason (1708) kemudian disusul oleh edisi barunya dengan judul The History of Hayy ibn Yaqzhan (1926) dan diterjemahkan pula oleh Leon Gauthier ke dalam bahasa prancis di sertai dengan teks arabnya Hayy Ben Yaqdhan Roman Philosophique d’ibn Thofail di samping kemudian telah diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol, Jerman.Rusia, Belanda dan lain lain.

Secara ringkas karya ini berkisah tentang seorang anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu di sebuah pulau tak berpenghuni, anak tersebut disebut oleh Ibnu Thufail sebagai Hay bin Yaqdhan (hidup anak kesadaran) yang kemudian hari diambil anak oleh seekor kijang dan dibesarkan dengan air susunya hingga akhirnya menjadi dewasa dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, ketika umurnya telah mencapai usia tujuh tahun Hay bin Yaqdhan menemukan bahwa dirinya ternyata berbeda dengan hewan-hewan lain yang berada di pulau tersebut karena berbeda dengan dirinya hewan-hewan tersebut ternyata memiliki ekor,pantat dan bulu-bulu di bagian-bagian tubuhnya hal tersebut membuat Hay bin Yaqdhan mulai berfikir dan menggunakan potensi akalnya yang kemudian ia menjadikan daun-daunan untuk menutupi badannya untuk beberapa saat sampai akhirnya menggantinya dengan kulit binatang yang telah mati, sampai pada suatu saat matilah kijang yang mengasuhnya yang mendorongnya untuk memeriksa tubuh dari kijang tersebut tetapi secara kasat mata dia tak menemukan sesuatu yang berbeda dari ketika kijang itu masih hidup. Kemudian ia mulai membedahnya hingga menemukan pada rongga tubuh kijang tersebut gumpalan yang diseliputi oleh perkakas tubuh yang mana darah di dalamnya menjadi beku maka Hay bin Yaqdhan mulai tahu bahwa jantung jika berhenti maka bersamaan itu pula kehidupan suatu makhluk hidup akan berakhir. Selain dari pada itu pada suatu hari Hay bin Yaqdhan menyalakan api di pulau tersebut maka ia mulai merasakan bahwa api ternyata dapat memberikan penerangan dan membangkitkan panas tidak cukup dengan itu ia juga menemukan bahwa daging burung dan ikan yang dibakar api terasa lebih enak dan sedap maka mulailah ia selalu menggunakan api untuk memasak makanan dan seterusnya mulailah ia memperkuat penggunaan indranya dan menggunakan apa yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Dan Hay bin Yaqdhan juga menyaksikan bahwa alam ini tunduk dalam suatu aturan kosmos dan akan berakhir pada titik ketiadaan dan yang dimaksud dengan alam adalah segala eksistensi yang immanent dan bisa kita rasakan dan semuanya itu mempunyai karakter “Baru” ( haadist) yang berarti di dahului oleh ketiadaan (yang dalam teori penciptaan disebut sebagai creatio ex nihilo), dan setiap yang baru mengharuskan adanya yang mengadakan dan hipotesa ini akhirnya membawa Hay bin Yaqdhan pada suatu kesimpulan tentang “Sang Pencipta (The creator) dan ia juga menyaksikan bahwa segala eksistensi di alam ini bagaimanapun berbedanya ternyata mempunyai titik-titik kesamaan baik dari segi asal maupun pembentukan maka ini mengarahkannya pada pemikiran bahwa segala yang ada ini bersumber dari subyek yang satu (causa prima) maka iapun mengimani Tuhan yang satu.

Kemudian Hay bin Yaqdhan mulai mengarahkan pandangannya ke langit dan melihat matahari yang terbit dan terbenam setiap harinya secara berulamg-ulang maka seperti itulah dalam pandangannya aturan kosmos yang berkesinambungan sebagaimana yang terdapat pada planet dan bintang-bintang, tidak cukup dengan itu Hay bin Yaqdhan berkesimpulan bahwa termasuk sifat tuhan adalah apa2 yang bisa kita lihat melalui jejak-jejak ciptaannya maka tampaklah karakter Tuhan sebagai eksistensi yang Maha sempurna ( The perfect one ) lagi kekal (Eternal ) dan yang selainnya akan rusak dan berakhir pada ketiadaan.

Seiring dengan berjalannya waktu sampailah Hayy bin Yaqdhan pada umurnya yang ke 35 dan mulailah ia mencari indra apa dalam dirinya yang membawanya pada hipotesa-hipotesa dan menunjukinya pada kesimpulan-kesimpulannya yang telah lampau. Maka ia menemukan apa itu akal (reason), ruh (spirit) dan jiwa (nafs/soul). Dan ia tetap hidup di pulaunya sampai beberapa saat dengan kecondongan rohani dan kesenangan melakukan ekstasi (semedi) sambil berkontemplasi tentang segala ciptaan sebagai teofani ( tajalliyaat ) sang wajibul wujud (The necessary being).

Sampai pada suatu saat singgahlah di pulau tersebut untuk pertama kalinya seorang manusia bernama Asal. Seorang ahli ibadah yang hidup secara asketis (zuhud) yang datang dari negri yang jauh untuk beribadah,bertapa dan berkontemplasi, maka bertemulah Asal dengan Hay bin Yaqdhan. dan Hay bin Yaqdhan pun mengambil pelajaran darinya tentang segala nama-nama ( Al asmaa’ kulluhaa ) dan kebenaran-kebenaran wahyu ( syariat ). Dan setelah masa yang panjang Hay pun akhirnya mampu berbicara dengan bahasa Asal . dan melalui interaksinya dengan Hayy maka Asal pun tahu bahwa apa yang telah di capai Hay dengan akalnya secara mandiri tanpa bantuan yang lain itu ternyata mempunyai kesinambungan dengan apa yang telah di bawa oleh nabi-nabi .

Dan kemudian Asal pun membawa Hay bin Yaqdhan kepada kaumnya , dan mulai berorasi dan memperingatkan kaumnya (sebagaimana para nabi) dengan apa-apa yang telah ialihat dan dapatkan dari pengalamannya tentang kesejatian hidup, keremehan harta benda dan pentingnya merenungi tanda-tanda kekuasaan Sang pencipta tetapi ia terlalu vulgar dalam penyampainnya sehingga kaumnya pun menghindarinya karena menganggapnya menyimpang dari pemahaman literar matan matan kudus wahyu. akhirnya Hay bin yaqdhan berpaling kepada Asal dan berkata bahwa nabi-nabi lebih tahu tentang jiwa-jiwa manusia dari pada dirinya dan pelajaran-pelajaran dan pengalaman yang ia capai ketika masih hidup di pulau bersama hewan-hewan itu lebih tinggi dan adi luhung dari fase manusia yang ia hadapi sekarang. Dan akhirnya Asal pun menemani Hay bin Yaqdhan hidup bersama-sama dengannya beribadah dan merenung sampai maut menjemput mereka.

Orisinalitas Ibnu Thufail dan hubungannya dengan para filosuf

Banyak kalangan terpelajar yang melakukan kajian terhadap Ibnu Thufail berasumsi bahwa apa yang telah di capai oleh Ibnu Thufail dalam pemikiran filsafat mempunyai keterkaitan dengan para filosuf pendahulunya, sebagian berasumsi bahwa ia terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Bajah, sebagian lagi beranggapan bahwa pemikirannya memiliki keterpengaruan terhadap filsafat Al Farobi, sedang sebagian yang lain memiliki kecurigaan kuat bahwa Ibnu Thufail merupakan murid otentik terhadap pemikiran-pemikiran Ibnu Sina bahkan menduga bahwa sesungguhnya ia telah mengambil “kalau tidak bisa di katakan memplagiat” segala sesuatunya dari Ibnu Sina sampai kepada nama tokoh-tokoh dan karakter dalam roman filsafatnya, sedangkan yang lain ada juga yang berpendapat bahwa ia terpengaruh kepada Al ghozali sampai kepada pendapat yang mengatakan tentang keterkaitan pemikirannya terhadap pengaruh filsafat Hindia, Persia dan Yunani, tetapi kalau kita teliti lebih dalam karyanya akan kita dapati bahwa sesungguhnya Ibnu Thufail dalam pemikiran fisafatnya merupakan pribadi yang independen dan memiliki orisinalitas dan keistimewaan tersendiri, untuk melepaskan Ibnu Thufail dari tuduhan para kritikus yang menuduh Ibnu Thufail telah melakukan pengekoran terhadap para filosuf pendahulunya Sheikh Al azhar terdahulu Dr. Abdul halim mahmud dalam bukunya Ibnu Thufail Wa Falsafatuhu ( Ibnu Thufail dan Filsafatnya ) telah memberikan penjelasan yang cukup argumentatif yang dalam hal ini akan penulis beberkan secara ringkas sebagai berikut :

Adapun bukti yang memperlihatkan indepedensi Ibnu Thufail dari pengaruh Al Farobi dapat kita baca dari sikap Ibnu Thufail sendiri terhadap Al Farobi yang mana ia telah memproklamirkan secara terang-terangan bahwa pemikiran yang terkandung dalam karya-karya Al Farobi penuh dengan skeptisisme ( kastrah assyukuuk ) kemudian memberikan contoh dengan pendapat Al-Farobi yang mengatakan bahwa kebahagiaan hanya terdapat dalam dunia material yang kita tempati sekarang ini ( addaar addunya ) lalu mengkritiknya dengan ungkapannya “ Sungguh pendapat ini telah mendorong sikap pesimis seluruh manusia dari rahmat Tuhan dan telah menempatkan orang yang memiliki keutamaan dan seorang pendosa dalam satu level dengan mengatakan bahwa seluruhnya akan kembali kepada ketiadaan ( ex nihilo ) dan pendapat yang sedemikian itu merupakan kesalahan fatal yang tak dapat ditolerir”. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa Ibnu Thufail telah mengambil sikap antipati terhadap pemikiran al Farobi dan telah menolaknya secara global jika tidak bisa di katakan secara parsial, maka merupakan pernyataan yang tidak logis untuk mengatakan bahwa pemikiran Ibnu Thufail merupakan kepanjangan tangan dari pemikiran Al Farobi sekalipun ia telah membaca karya-karya Al Farobi maka itu tidak lain merupakan pembacaan kritis (qiroah annaqidh).

Adapun Ibnu Bajah ia bukan termasuk penduduk Andalusia dan Ibnu Thufail telah mengklaim bahwa Ibnu Bajah bukanlah orang yang lebih cerdas dan lebih mempunyai pemikiran cemerlang dibanding dirinya karena ia terlalu disibukkan oleh dunia dengan memperbanyak dan mengumpulkan harta benda sampai dengan kematiannya dan ini bersebarangan dengan upaya untuk sampai kepada pengetahuan level tertinggi yang dalam redaksi Ibnu Thufail disebut sebagai level orang-orang yang memperoleh kebenaran ( maraatib uuli asshidq ). Karena itu Ibnu Thufail menyebut Ibnu Bajah hanya sampai pada fase filosuf pemikir saja (Ahl Annadhar ) yang bisa di capai dengan pengetahuan aksiomatik dan penalaran rasio dan itu hanya merupakan fase pertama ( al marhalah al ula ) bukan merupakan fase tertinggi yang di sebut Ibnu Thufail sebagai fase Ahl al Wilayah yang merupakan puncak cita-cita Ibnu Thufail sekalipun ia juga berpendapat bahwa fase aksiomatik-rasional bisa mengantarkan pada kebenaran argumentasi namun ia menyebutnya sebagai fase permulaan saja sampai kemudian ia menolak rasio sebagai dasar pengetahuan sejati.

Adapun tentang Ibnu Sina, Ibnu Thufail telah dibuat kagum olehnya karena dengan ketajaman metode rasionalnya ia berhasil melangkah dan memberikan karakter pada fase atau level uuli ashidq sekalipun ia tetap menganggap Ibnu Sina bukanlah orang yang telah menceburkan diri, menghirup dan merasakan manisnya fase tersebut. Ini setali sekelindan dengan pernyataan Baron Carodevo bahwa Ibnu Sina mempelajari sufisme dan mistisisme hanya sebatas sebagai obyek kajian tematik tapi tidak sampai pada tataran praksis, sekalipun kekuatan nalarnya telah membuatnya mampu untuk memberikan karakteristik pada fase tersebut, dan inilah yang telah menempatkan Ibnu Sina setingkat dengan Ibnu Bajah pada fase rasional-aksiomatik akan tetapi Ibnu Sina telah mampu selangkah lebih maju dalam karakterisasi persoalan metafisika dengan sedemikian teliti dan indah, dan pada ranah inilah sisi kekaguman Ibnu Thufail kepada Ibnu Sina walaupun ia belum sampai pada fase ma’rifat yang di inginkan Ibnu Thufail yang berbeda dengan fase rasional-aksiomatik dan merupakan fase intuitif-experimentatif (tadhawwuq), penyingkapan (kasyf ) dan penyaksian (musyahadah) seperti yang di sebutkan dalam pernyataan Ibnu Thufail “ Jangan kalian duga bahwa filsafat yang telah sampai kepadaku lewat karya-karya Aristoteles, Abu Nasr Al Farabi dan buku Asyifa’ Ibnu Sina dapat memenuhi tujuan yang aku dambakan, bahkan tak ada satupun yang termuat dalam karya-karya ahli Andalusia yang dapat memuaskanku” adapun asumsi sebagian penulis tentang kesamaan roman filsafat Ibnu Thufail dengan kisah karya Ibnu Sina dapat terpecahkan jika kita mau mencoba memisahkan kisah simbolis Ibnu Sina dari simbol-simbol yang meliputinya maka akan kita dapati bahwa itu hanya merupakan karya yang mempunyai arti biasa yang dapat di tulis oleh semua orang. Dari sudut pandang ini dapat kita simpulkan bahwa Ibnu Thufail mempunyai pendapat dan pemikiran yang mandiri dan tidak mengekor kepada Ibnu Sina dan ia menganggap bahwa pencapaian Ibnu Sina hanya merupakan suatu fase dari fase-fase pengetahuan yang bukan merupakan esensi pengetahuan.

Adapun tentang Al ghazali Ibnu Thufail berpendapat dengan pernyataannya “ tak diragukan lagi bahwa Syeikh Abu Hamid ( Al Ghazali ) termasuk orang yang telah merasakan puncak kebahagian dan telah sampai kepada fase termulia dan kudus ( fase ulu asshidq atau pengetahuan sejati dalam konteks nilai pengetahuan ) akan tetapi terlepas dari apresiasi Ibnu Thufail terhadap Al Ghazali kalau kita telaah dan bandingkan lebih jauh antara pemikiran filsafat Ibnu Thufail dan Al Ghazali akan kita dapati perbedaan yang cukup mencolok terutama sikap mereka terhadap fase aksiomatik-rasional. Di satu sisi al Ghazali menolak dengan tajam fase tersebut dan menganggap bahwa penalaran rasio tidak dapat mengantarkan seseorang kepada hakekat dan keyakinan, dan pernyataan Ibnu Thufail dalam roman filsafatnya terutama ketika menggambarkan tentang fase pertama ( aksiomatik-rasional ) sangat kontra produktif dengan pendapat Al Ghazali tersebut karena di situ Ibnu Thufail masih mengakui eksistensi penalaran rasio sebagai metode mencapai pengetahuan yang merupakan fase pertama yang harus di lewati untuk mencapai pengetahuan sejati akan tetapi lebih dari itu Ibnu Thufail masih mengakui Al Ghazali sebagai orang yang telah mencapai esensi pengetahuan yang luhur.

Dari penjelasan yang telah lewat dapat kita simpulkan dengan tegas bahwa Ibnu Thufail merupakan filosuf orisinil yang independen dan mandiri dalam pemikiran-pemikirannya dan ia memiliki metode tersendiri dalam upaya mencapai esensi pengetahuan dan ini ditegaskan lagi dengan pernyataannya tentang karyanya “ karya ini mengandung penjelasan-penjelasan yang tidak di dapatkan dalam sebuah buku dan merupakan ilmu yang tersimpan yang tidak di terima kecuali oleh orang-orang yang telah makrifat kepada Tuhan dan tidak di tolak kecuali oleh orang-orang yang tertipu”

Filsafat Ibnu Thufail secara ringkas sesungguhnya ingin menyatakan bahwa seorang manusia yang mempunyai pikiran yang cerdas dan memiliki kesiapan secara natural memungkinkan untuk sampai kepada suatu pengetahuan secara gradual dari suatu yang indrawi kepada suatu yang rasional atau dari suatu yang tak di ketahui (majhul ) menuju suatu yang di ketahui ( ma’lum) sampai kemudian menuju ke pembentukan pengetahuan yang bersifat metafisika , dan kemungkinan itu tetap ada sekalipun ia hidup di habitat yang terisolir dari manusia tanpa bantuan bahasa, tradisi, agama dan budaya yang mewarnainya , dan itulah tema yang ingin di tunjukkan dalam kehidupan Hay bin Yaqdhan dalam keterisolasirannya yang total sejak kelahirannya , ini berbeda dengan Ibnu Sina dan Ibnu Bajah yang berpendapat bahwa pemikiran tentang hal-hal metafisika me- rupakan hasil dari pembelajaran, study, dan inteletualitas yang berarti mensyaratkan bagi orang yang mencapai pengetahuan tersebut untuk hidup dalam habitat manusia.

Nahdlatul Ulama dan Konsep Bermadzhab

Oleh: Muhammad Amiruddin

Pada dasarnya manusia dilahirkan ke dunia ini dengan predikat "merdeka". Kemerdekaan itu tidak akan hilang dalam keadaan apapun. Bahkan ketika dihadapkan dengan kematianpun kemerdekaan itu masih tetap ada. Namun kenyataan yang ada di dunia ini mengatakan hal lain. Banyak orang memperbudak yang lain, baik dengan melepaskan haknya untuk berserikat, untuk mengekspresikan pikirannya, mengelola hak miliknya, atau bahkan merampas kemanusiaannya.

Fenomena-fenomena tersebut bisa kita temukan dalam bentuknya yang gamblang pada abad ke-20 ke belakang -saya tidak mengatakan fenomena-fenomena tersebut sudah tidak bisa kita jumpai pada saat ini-, tak terkecuali bangsa kita Indonesia. Bangsa ini telah dijajah oleh bangsa lain selama beratus-ratus tahun, sehingga meninggalkan akibat yang tidak sedikit pada bangsanya; diantaranya adalah keterpurukan dan keterbelakangan, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, maupun mental.

Hal inilah yang mendorong sebagian kelompok terpelajar Indonesia untuk memperjuangkan martabat bangsanya melalui jalur pendidikan maupun organisasi. Maka pada tanggal 20 Mei 1908 dr. Sutomo bersama rekan-rekannya mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta. Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota.

Tujuan organisasi antara lain: kemajuan yang selaras (harmonis) buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu).

Gerakan ini dengan cepat tersiar luas sehingga membangkitkan kesadaran sebagian besar bangsa Indonesia (untuk tidak mengatakan seluruhnya) dan membuka mata mereka bahwa penjajahan telah menempatkan bangsa ini pada posisi yang tertinggal jauh dengan bangsa-bagsa lain, yang pada gilirannya gerakan tersebut mengilhami organisasi-organisasi lain untuk bangkit dan turut serta dalam perjuangan yang serupa. Gerakan-gerakan ini kemudian dikenal dengan Kebangkitan Naisonal.

Pesantren, sebagai sebuah lembaga maupun komunitas santri yang selama ini selalu getol dan tak kenal lelah dalam memperjuangkan kemajuan pendidikan maupun taraf hidup masyarakat sekitarnya, juga tidak ketinggalan dalam merespon gelombang gerakan tersebut, sehingga pada tahun 1916 terbentuklah sebuah organisasi di Surabaya dengan nama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Nasional) yang dipelopori oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur (kelak menjadi tokoh Muhammadiyah).

Dua tahun kemudian (tahun 1918) di kota yang sama, bersama KH. Dahlan Ahyad, mereka juga mendirikan Tashwirul Afkar, atau juga bisa kenal dengan sebutan lain Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan di bidang agama, keorganisasian, dan perjuangan. Selain itu, di tahun 1918 tersebut KH. Abdul Wahab Hasbullah juga mempelopori berdirinya Nahdlatut Tujjar, sebuah lembaga ekonomi yang kemudian diketuai oleh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha bersama.

Dengan adanya Nahdlatut Tujjar ini tentu saja keberadaan Tashwirul Afkar terus berkembang, dari semula sebagai kelompok studi menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa tempat. Kemudian seiring dengan perjalanan waktu, semakin dirasakan perlunya mendirikan organisasi baru yang lebih mencakup dan terarah. Dan hal itu mendapatkan momentumnya ketika raja Ibnu Saud ingin menyelenggarakan Mu'tamar 'Alam Islami di Makkah pada bulan Juni 1926, yang diantara agendanya adalah ingin memberlakukan satu paham keagamaan di Masjidil Haram, di samping juga ingin menghancurkan peninggalan sejaran Islam maupun pra-Islam yang banyak dikunjungi oleh kaum Muslim karena dianggap sebagi bid'ah.

Ide penghancuran peninggalan sejarah ini tentu saja mendapat sambutan hangat dari kalangan reformis di Indonesia. Sebaliknya, kalangan pesantren yang punya apresiasi terhadap peninggalan sejarah Islam tentu saja tidak menyetujui gagasan tersebut karena dinilai hal itu bisa menghapus jejak warisan budaya Islam secara khusus dan peradaban dunia pada umumnya.

Begitu juga pemberlakuan satu paham keagamaan dinilai tidak menghargai keragaman madzhab padahal Masjidil Haram merupakan tempat umum dimana umat Islam seluruh dunia yang punya latar belakang madzhab berbeda hadir di sana. Sikap kalangan pesantren ini tentu saja tidak disukai oleh kalangan reformis sehingga kalangan pesantren kemudian dikeluarkan dari keanggotaan di Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Implikasinya, kalangan pesantren juga tidak bisa terlibat dalam Mu’tamar ’Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah yang rencananya akan mengesahkan keputusan pemberlakuan satu mazhab tersebut. Ketidaksetujuan Kongres untuk meminta Ibnu Sa'ud agar memberi kebebasan bermadzhab serta menghormati praktek-praktek keagamaan tradisional di negaranya dan peduli terhadap warisan peradaban, menyebabkan KH. Abdul Wahab Hasbullah dan kawan-kawannya kecewa serta berusaha mencari solusi alternatif. Maka dibentuklah Komite Hijaz untuk mempersiapkan delegasi tersendiri yang akan ditugaskan menemui raja Ibnu Sa'ud demi menyampaikan aspirasi di atas.

Melalui komite ini, kalangan pesantren menggalang kekuatan Islam dunia yang masih mau menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli pada pelestarian warisan peradaban Islam. Adanya resolusi dari Komite Hijaz dan besarnya dukungan yang diberikan dunia pada Komite Hijaz ini, maka raja Ibu Sa'ud pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk memberlakukan satu mazhab di Masjidil Haram. Itu sebabnya, sampai hari ini di Makkah tetap bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab yang dipercayai oleh kaum Muslim.
Komite Hijaz yang pada awalnya hanya sebagai panitia ad hoc saja, namun karena dirasakan manfaat nyatanya, maka muncul keinginan untuk menjadikannya sebagai organisasi yang lebih permanen. Apalagi, perkembangan dunia di masa mendatang dirasakan pasti membutuhkan lagi peran aktif kalangan pesantren ini. Melalui sebuah pertemuan kiai dari berbagai daerah, akhirnya disepakati untuk membentuk organisasi yang dinamakan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada tanggal 13 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H). Untuk pertama kalinya organisasi ini dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbarnya.

NU dan Konsep Bermadzhab

Dari catatan sejarah di atas, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa perjuangan mempertahankan madzhab merupakan salah satu sebab penting bagi latar belakang berdirinya NU. Oleh karena itu sikap ini terus dipertahankan oleh NU sampai sekarang. Bahkan sikap bermadzhab inipun dicantumkan dalam Anggaran Dasarnya. Dalam bab II pasal 3 disebutkan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah/berasas Islam menurut faham ahlussunnah wal jama'ah dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.

Secara konsekuen sikap ini ditindaklanjuti dengan upaya pengembalian hukum fiqih dari referensi dan maraji', berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematis dalam beberapa komponen; ibadah, mu'malah, munákahah, jinayah, dan qadha'. Hal ini menunjukkan bahwa NU masih tetap konsisten dengan dasar perjuangannya.

Pada dasawarsa terakhir, konsep bermadzhab yang dipegang oleh NU ini sering mendapatkan sorotan. Apalagi tradisi yang ada dalam NU lebih cenderung pada mengikuti madzhab secara qauli, yaitu menggunakan ibarat-ibarat yang terdapat dalam teks-teks kitab fiqih yang ada dalam madzhab untuk kemudian digunakan sebagai rujukan, tidak jarang dalil-dalil yang dipakai oleh ulama yang disitir qaulnya tidak diketahui. Hal inilah yang sebenarnya perlu mendapatkan perhatian dari warga NU sendiri dengan cara mengembangkan metode bermadzhabnya yang mulanya hanya bermadzhab secara qauli menjadi bermadzhab secara manhaji, yaitu memahami dan bisa menggunakan metodologi yang digunakan oleh imam madzhab untuk menarik kesimpulan hukum. Dengan begitu proses penyimpulan hukum oleh ulama tertentu akan bisa terlacak dan diketahui akarnya. Dalil-dalil yang digunakan oleh ulamapun akan bisa diketahui sehingga kesan mengikuti madzhab secara membabi butapun bisa disingkirkan. Alhamdulillah, gejala itu sudah banyak terlihat dikalangan pesantren saat ini. Selain fiqih, disiplin-displin ilmu seperti ushul fiqih, sejarah, ulumul qur'an dan hadits, dan lain-lain sudah banyak diajarkan sebagai materi pokok dalam pesantren-pesantren. Semoga saja hal ini bisa terus berkembang pada masa mendatang.

Kemudian, membicarakan soal madzhab mau tidak mau juga akan menyinggung masalah ijtihad dan istinbathul ahkam. Sebab keduanya masih punya pertalian erat yang tidak bisa dipisahkan, karena bermadzhab sama artinya dengan mengikuti pendapat seorang ulama, yang hal ini dilakukan oleh seseorang pada saat ia sudah tidak mampu untuk melakukan ijtihad sendiri.
Dalam ilmu ushul fiqih, ijtihad sering didefinisikan dengan mengerahkan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syar'i (melalui pencarian dan penyimpulan secara langsung dari sumber-sumbernya yang asli, yaitu al-qur'an dan Hadits). Tentu saja usaha ini memerlukan kemampuan dan kecakapan yang tidak sedikit dari seseorang, baik berupa penguasaan yang memadai tentang sumber-sumber dalil, tentang ilmu-ilmu penunjang di luar dalil tersebut, maupun kepekaan yang tajam terhadap lingkungan sosial. Di- antara hal-hal yang perlu dikuasai seorang mujtahid adalah: Al-Qur'an, Hadits, ijma', qiyas, kaifiyyah an-nadhar (metode berfikir), ilmu bahasa arab, násikh mansúkh, hálu ar-ruwát.
Oleh karena itu, istinbath langsung dari sumber primer (Al- Qur'an dan Hadits) yang cenderung pada pengertian ijtihad mutlak bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena berbagai keterbatasan-keterbatasan yang disadari, ter- utama di bidang ilmu-ilmu pe- nunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh para mujtahid, sehingga para ulama pendiri NU ini kemudian memilih jalan untuk mengikuti madzhab tertentu, tidak lain karena me-nyadari berbagai keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, disamping merasa sungkan dengan ulama-ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Imam Suyuthi, dan lain-lain yang masih tetap mengaku bermadzhab, padahal kapabilitas pribadi mereka cukup memadai.

Faktor lainnya adalah bahwa anggota NU kebanyakan masyarakat awam yang tidak semuanya melek tulisan. Oleh sebab itu jika organisasi ini mengambil sikap untuk berijtihad sendiri (lawan dari bermadzhab) maka hal itu sama saja dengan membebani mereka dengan sesuatu yang di luar kemampuannya, padahal dalam al-Quran Allah telah memberikan kemurahan bagi orang-orang yang tidak mampu menyimpulkan hukum sendiri untuk bertanya kepada orang yang dirasa mumpuni dalam hal ini, "fasalú ahladzzikri inkuntum la ta'lamún".

Selain itu, faktor penting lain yang menyebabkan ulama NU memilih bermadzhab adalah penghargaan mereka yang cukup signifikan terhadap karya-karya ulama terdahulu. Mereka melihat karya-karya tersebut sebagai kekayaan ilmiah yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab banyak sekali persoalan dan problem yang sudah dideteksi dan diselesaikan oleh ulama-ulama dahulu, disamping banyak juga uji coba dan eksperimen yang telah dijalani oleh mereka.

Hal ini tentu saja akan lebih banyak memberikan ke sempatan atau memungkinkan kita untuk bisa mencapai dan mengembangkan hal-hal lain yang belum tersentuh oleh mereka. Sehingga kaidah yang selama ini dipegang oleh warga NU "almuhafadhotu 'ala al-qodimi al-shalih wal akhdzu bil jadidil aslah" bisa ditambah lagi dengan "walibdau biljadidil muslih".

Ketelitian Nashirussunnah Imam Syafi'i

Oleh: Miftahuddin Ahimy
Untuk menganalisa dan sampai pada suatu kesimpulan hukum, Para Mujtahid dihadapkan kepada jalan panjang; jalan dimana mereka harus menggunakan penalaran akal terhadap apa yang kita kenal dengan Adillah.
Adillah adalah sumber-sumber yang dijadikan pijakan dasar untuk mengantarkan seorang Mujtahid kepada sebuah kesimpulan hukum tertentu. Sumber-Sumber untuk menetapkan hukum ini banyak macamnya, yaitu Quran, Sunnah, Istishab, Ijmak, Qiyas, Qaul Shahabi, Syara’ man Qablana, Istihsan, Istishlah, Istiqra, Muraa’tul A’raf wal ‘Awaid. Berbagai macam metode inilah yang akan mengantarkan seorang Mujtahid untuk sampai pada kesimpulannya dalam sebuah persoalan hukum.

Sesungguhnya metode di atas dari urutan pertama hingga kedua tidak diragukan keotentikanya sebagai sumber hukum asli, hanya saja dari urutan ketiga sampai akhir kita akan mendapatkan perselisihan pendapat Ulama tentang statusnya sebagai sumber asli serta pada keabsahan atau tidaknya untuk dipergunakan.

Kalau kita mencoba untuk menganalisa lebih teliti lagi, kesebelas sumber metode penetapan hukum di atas akan terbagi menjadi dua; Pertama, ada yang menunjukkan hukum yang memang dia sebagai sumber aslinya, dan Kedua, ada yang menunjukkan hukum tetapi bukan sebagai sumber asli, melainkan mengikut kepada sumber asli. Yang termasuk dari golongan pertama adalah Quran, Sunnah, dan Istishab, selebihnya masuk dalam golongan kedua.

Golongan pertama dari dua bagian ini masing-masing mempunyai tingkat, karena pada dasarnya sumber agama secara asli hanya satu; Quran; yang berasal dari Allah SWT secara makna dan lafadz, sehingga hal inilah yang menjadikannya berada di urutan level tertinggi. Adapun Sunnah berada di bawah Quran, karena ia merupakan keterangan dari Nabi untuk menjelaskan ayat Quran. Sunnah maknanya dari Allah SWT, dan lafadznya dari Nabi. Meskipun demikian, Sunnah juga tergolong Sumber asli karena ia bukan semata-mata perkataan dari Nabi sendiri, maka dalam hal ini ia kita kelompokkan dalam golongan pertama.

Hal yang sama –pertautan level- juga terjadi pada golongan kedua. Golongan ini tidak menjadi sumber hukum sebagai sumber asli karena ia masih butuh sandaran dan tidak dapat berdiri sendiri.

Ijmak menjadi sumber hukum karena ada dasar pijakannya, baik Quran maupun Sunnah. Qiyas menjadi sumber hukum karena ada pembandingnya yang ditetapkan Quran ataupun Sunnah. Dan Qaul Shahabi (Perkataan para Sahabat) menjadi sumber hukum karena ia tidak didasari dari hawa nafsu atau kemauan Sahabat belaka, melainkan atas dasar pemahaman mereka terhadap Quran maupun Sunnah. Begitupun Syara’ Man Qablana (Syariat Nabi-nabi terdahulu) tidak dapat menjadi sumber hukum jika tidak disebutkan lagi dalam Syariat kita (Quran atau Sunnah).

Adapun Istihsan, Istishlah, Istiqra, Muraa’tul A’raf wal ‘Awaid pada dasarnya ia bukanlah Adillah sama sekali, Penulis memandangnya lebih dekat kepada sebuah metode tata fikir, karena kesemuanya lebih didominasi oleh peran akal, sedangkan akal sendiri masih dalam perdebatan Ahli Ushul Fiqh tentang statusnya sebagai sumber hukum atau tidak. Hal inilah yang menjadikan Istihsan, Istishlah, Istiqra, Muraa’tul A’raf wal ‘Awaid sebagai medan pertempuran akal dalam menganalisa.

Mengenai akal, Abu Nasr Al Farabi yang dilahirkan pada 870 M berpendapat; bahwa akal terdiri dari dua bagian; yaitu praktis dan teoritis. Akal praktis bekerja menghasilkan kesimpulan dan akal teoritis mencari potensi, kebiasaan dan penemuan.

Mekanisme kerja akal ketika dibenturkan pada sebuah persoalan sebagai berikut; sederhana saja, pertama akal akan menangkap dan menggambarkan wujud benda dengan segala kemungkinannya yang akan terjadi, lalu akal teoritis berusaha untuk mengambil hal-hal yang dapat disimpulkan, setelah itu barulah akal praktis menyimpulkan apa yang ditemukan oleh akal teoritis. Maka dalam hal ini, karena ia lebih dekat kepada produk akal, Istihsan, Istishlah, Istiqra dan Muraa’tul A’raf wal ‘Awaid kita kategorikan dalam golongan kedua sebagai sumber yang mengikut kepada sumber asli.

Di arena semacam inilah naluri keilmiahan dan kemampuan tata fikir seorang Mujtahid dituntut habis-habisan.
Seorang Mujtahid tidak cukup hanya memahami secara benar akan makna dari nash saja, melainkan juga dituntut untuk mampu menganalisa situasi dan kondisi yang terjadi, lalu mengkombinasikan apa yang difahaminya dari nash dengan apa yang difahaminya dari situasi dan kondisi dalam sebuah bingkai keputusan yang sesuai. Seorang mujtahid diduga kuat akan kehilangan fungsinya manakala lemah dalam hal ini.

Penulis sengaja untuk tidak mengingkatkan pembaca akan berbagai macam contoh-contoh dari sumber metode pengambilan hukum yang telah kita uraikan diatas secara satu persatu, karena hal itu akan semakin mencukur banyak kertas dan penulis kira akan menjadi sebuah tahshilul hasil kepada pembaca.

Berkaitan dengan apa yang telah kita uraikan di atas, ada hal menarik yang dapat kita kaji terhadap apa yang telah dicapai oleh Muhammad bin Idris As Syafi’i yang diwafatkan pada tahun 150 H. atau yang kita kenal akrab dengan panggilan Imam Syafi’i. Peletak pokok-pokok bahasan dari ilmu Ushul Fiqh yang kita kenal sekarang. Sebuah Ilmu yang menuntun seorang mujtahid untuk mengambil suatu kesimpulan hukum. Seorang Imam yang senantiasa menggunakan analisa mendalam dan jitu pada madzhabnya, sehingga tidak heran jika madzhabnya dianut oleh sebagian besar penduduk muslim di dunia.

Salah satu dari banyaknya kelebihan imam Syafi'i yang sangat menarik adalah beliau dalam memutuskan sebuah pendapat, beliau tidak hanya berpegang pada analisa terhadap Quran, Sunnah, Ijmak maupun Qiyas, akan tetapi juga memperhatikan serta menganalisa kondisi dan situasi masyarakat di mana pendapat tersebut harus dikeluarkan, lebih jauh nash-nash yang akan diaplikasikannya haruslah dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Misalnya, untuk menentukan usia di mana seorang wanita sudah mulai haid, maka beliau harus menemui lebih dari 40 wanita untuk menanyakan langsung kepada mereka tentang kapan mulai memasuki usia haid. Baru setelah itu menarik pendapat dari jawaban mereka yang telah di kombinasikan dengan pertimbangan Nash.

Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Syafi’i yang ketika itu sedang duduk di atas untanya; "Berapa jumlah kaki unta tuan?". As-Syafi'i tidak langsung menjawab, beliau segera turun dari untanya dan memastikan keadaan empat kaki unta itu satu persatu, lalu akhirnya menjawab "Jumlahnya empat". Riwayat ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang mujtahid yang sangat teliti penganalisaannya dan tidak mencoba untuk menarik sebuah pendapat kecuali setelah perenungan dan penelitian lapangan yang benar-benar otentik.

Kenyataan inilah yang menjadi jabang bayi dan bukti dari apa yang kita kenal sekarang dengan istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Yaitu dua pendapat beliau yang berbeda dan dihasilkan di tempat yang berbeda pula.

Pendapat yang dihasilkan di Irak adalah Qaul Qadim, sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat beliau yang dihasilkan di Mesir. Kedua negara ini tentu memiliki perbedaan yang cukup signifikan, masing-masing memiliki adat, situasi dan kondisi yang berbeda.

Antara Qaul Qadim dengan Qaul Jadid tentunya tidak dapat terlepas dari perbedaan, meskipun dibangun dari nash yang sama dan analisa mujtahid –As-Syafi'i- yang sama. Yang menjadi sumber perbedaan di antara keduanya adalah perbedaan Irak dan Mesir yang menjadi pertimbangan analisa Imam Syafi’i sehingga hal itu menjadikan Beliau harus membuat keputusan berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi kedua negara tersebut.

Apa yang telah dicapai As-Syafi’I telah menunjukkan kepiawaian metode berfikir beliau, terutama dengan metode istiqranya. Pembaca dapat menemukannya secara gamblang dan mendalam tentang pendapat-pendapat beliau dalam buku "Al-Imam As-Syafii baina madzhabayhi; al-Qadim wa al-Jadid" karangan Pak Nahrowi Abdussalam; seorang ulama berdarah betawi lulusan al-Azhar, Cairo. Menurut hemat Penulis, sudah saatnya-lah kita menjadi Syafi’i-syafi’i kecil. Ya !?
Wa Allahu A’lam.

Kyai, Santri dan Golongan Politik Praktis

Oleh: Taufiq R*
Bahwasanya politik itu kenyal, seperti permen karet. Dikunyah terus tak pernah habis. Terkadang rasanya sudah habis, namun orang masih terus mengunyahnya. Bagi orang yang telah terbiasa mengunyah permen karet, mungkin ia kecanduan dengan kebiasaan yang melekat itu. Rasanya tidak sreg bila pada forum apa saja atau pada kesibukan apa saja, tanpa mulut mengunyah permen karet, dus mengaitkan aktivitas apa saja dengan politik.

Filosofi di atas saya nilai adalah sebagai sesuatu yang wajar bagi seorang politikus bahkan malahan sesuatu yang lazim karena politik merupakan profesi yang telah merasuk ke dalam tulang rusuk mereka. Namun bagi sebagian masyarakat yang awam politik, tentunya sikap tersebut sangat mengkhawatirkan jika mengkontaminasi fikiran atau profesi mereka. Termasuk di dalamnya kyai dan santri.

Kyai maupun santri yang berpolitik dikhawatirkan akan ter- jebak pada logika politik ( the logic of politic ) yang akhirnya memanipulasi masyarakat demi kepentingan sesaat yang akhirnya menggiring pada logika kekuasaan ( the logic of power ).

The power of logic yang dimiliki kyai seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan dan pengabdian, akan tereduksi atau bahkan hilang sama sekali dan akan terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi.

Pandangan di atas tidak sepenuhnya benar, karena pada dasarnya mereka menghendaki agar kesucian, ketulusan moral dan tugas mulia Kyai sebagai culture broker (makelar budaya) dan pencerah umat tidak terkontaminasi karena menjadi broker politik yang kotor.

Namun tidak pula difahami bahwa argumentasi saya tersebut menjadi sebuah legitimasi “pengharaman” keterlibatan Kyai dan Santri dalam politik praktis. Artinya hendaknya tidak semua Kyai berpolitik atau seyogyanya tidak perlu terjun politik praktis. Kalo Kyai yang lugu dan sufistik tetaplah sebaiknya tinggal di pesantren atau menjadi transformator masyarakat. Dan hal ter- sebut pasti lebih bermanfaat dari pada ikut terjun dalam dunia politik. Namun sebaliknya jika dimulai keikutsertaan Kyai atau Santri ke dalam politik praktis lebih memberi manfaat dalam berbagai aspek maka hal tersebut sah-sah saja.

Yang coba saya tekankan di sini hendaknya Kyai, Santri, dan Gus betul-betul mempertimbangakn beberapa persyaratan penting sebelum memutuskan berselingkuh dengan politik.

Prasyarat tersebut adalah kom- petensi personal yang meliputi integritas moral dan kemampuan memainkan politik secara santun. Kompetensi professional yang berpijak pada the right man on the right place. Atau sabda Nabi “jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah waktu kehancurannya” serta pentinganya stabilitas dan konsistensi Kyai sebagai makelar budaya (culture broker) dan juga pencerah umat.▪

*Santri Rembang

KEHADIRAN KYAI INDEPENDEN DALAM DINAMIKA SOSIAL POLITIK

Oleh : Faiz Mushtofa Abbas

Kyai sebagai sebutan penghormatan bagi elit agama khususnya di Jawa, masih sering diperdebatkan lebih-lebih jika dikaitkan dengan dunia politik.

Pro-kontra seputar peran Kyai dalam dunia politik praktis masih menjadi perbincangan dalam masyarakat. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Kyai, seharusnya cukup berperan sebagai pengayom umat saja, terutama dalam kehidupan beragam. Oleh karena itu, lebih tepat jika ia menghindarkan diri dari kegiatan politik. Adapula yang mengatakan sebaliknya, tidak ada alasan bagi Kyai meninggalkan politik praktis sebab berpolitik merupakan bagian kehidupan agama itu sendiri.

Namun, persoalan yang cukup pelik adalah ketika elit agama atau Kyai memainkan peran ganda antara agamawan di satu sisi dan poolitikus di sisi lain yang di perankan dalam waktu yang bersamaan. Muncul pertanyaan, apakah mungkin produk-produk pemikiran dan tindakan elit agama bisa bebas dari nilai-nilai yang mewarnai pandangan hidup mereka??.

Dari persoalan tersebut sebenarnya ada sebagian masyarakat yang mengaharapkan posisi dan peran Kyai berdiri independen tidak ikut dalam kegiatan politik praktis, tidak terkontaminasi oleh hingar bingar dan panasnya perpolitikan. Kehadiran Kyai ini diharapkan akan dapat memberikan kesejukan dan kedamaian serta dapat men dinginkan panasnya arus politik dan menjadi moral force dalam kehidupan perpolitikan dan jalannya pemerintahan di Indonesia.

Disisi lain adapula sebagian masyarakat yang mengaharapkan peran Kyai atau elit agama berperan lebih signifikan agar dapat mengatasi persoalan-persoalan dan krisis yang terjadi di Indonesia.

Variasi dan Tipologi Kyai

Seputar sebutan Kyai.
Peristilahan Kyai muncul pertama kali dari bahasa jawa. Kata-kata Kyai dalam pemahaman masyarakat jawa mempunya makna yang agung, keramat, dan dituakan.

Selain untuk benda, seperti keris dan gamelan, gelar Kyai juga diberikan kepada laki-laki yang lanjut usia, arif dan di hormati.

Penyebutan kyai biasanya juga di gunakan untuk menyebut Ulama (orang yang mendalam pengetahuan keislamannya).Di Jawa Barat mereka disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Kyai, di Madura disebut Mak Kyae, Bindara atau Nun. Jadi predikat Kyai adalah sebutan atau gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada elit agama yang telah diketahui ke alimannya, memiliki peranan dalam kehidupan sosial ke agamaan dan masyarakat dapat merasakan jasanya serta me nerima tuntunan serta kepemimpinannya.

Variasi dan Tipologi Kyai
Kyai sekilas tampak homogen, jika dilihat secara seksama ternyata amat variatif. Perbedaan itu diakibatkan oleh banyak faktor. Misalnya, dari perbedaan mereka dalam mempersepsi dan memahami ajaran agama itu sendiri, lingkungan dimana masing-masing Kyai itu hidup dan dibesarkan, kondisi ekonomi, dan juga faktor sosial politik. Muncul dan berkembangnya berbagai aliran keagamaan di berbagai tempat adalah bukti bahwa selalu adanya perbedaan pemahaman, persepsi atau sudut pandang. Di kalangan Kyai misalnya, muncul istilah Kyai Fikih, Kyai Tasawuf dan sebagainya. Secara politik terdapat Kyai yang memiliki orientasi kekuasaan, oleh karena itu dia ikut dalam aktivitas politik, ada Kyai yang dekat dengan penguasa, Kyai yang independen dan Kyai yang mengambil jarak dengan pemerintahan yang berkuasa.

Jika secara Khusus dikaitkan dengan kegiatan politik, maka terjadi polarisasi pemikiran dan memunculkan tipologi Kyai yang bervariasi. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Kyai seharusnya cukup berperan sebagai pengayom umat terutama dalam kehidupan beragama. Oleh karena itu lebih baik jika dia menghindarkan diri dari kegiatan politik praktis. Ada juga yang sebaliknya, tidak ada alasan Kyai meninggalkan politik praktis sebab berpolitik merupakan bagian kehidupan agama itu sendiri.


Hubungan antara agama dan politik
Hubungan antara agama dan politik sampai saat ini masih menjadi perbincangan ilmiah oleh para cendekiawan muslim.

Sekalipun para ilmuan muslim tidak berbeda pandangan tentang kebenaran dan keagungan ajaean islam, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang posisi agama dan negara. Apakah islam memerlukan bangunan negara sendiri? Apakah tidak? Hingga kini belum memperoleh jawaban yang seragam.

Dalam kajian politik islam kontemporer setidaknya ada 3 aliran pemikiran tentang hubungan antara islam dan politik. Aliran pertama berpendapat bahwa : Islam bukanlah semata-mata agama yang hanya menyangkut hubungan manusia dan tuhan, islam dipandang sebagai agama yang sempurna dan lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokoh utama dari aliran ini antar lain: Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan yang paling gigih adalah Abul A’la al-Maududi berpendirian bahwa islam memerlukan kekuatan untuk melaksanakan syariah dan dakwah. Syariah akan dapat berjalan dengan baik jika terdapat kekuatan yang melaksanakan, yaitu negara. Oleh karena itu, mengangkat satu khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin. Beberapa ayat yang di jadikan dasar pandangannya antara lain QS.Almaidah 44, 45, 47, 48 QS. At-Taubah ayat 1,2,3.
Aliran kedua berpandangan bahwa islam adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut mereka, Nabi Muhammad SAW, hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dan tidak pernah mendirikan dan mengepalai suatu negara. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah : Ali Abdul al-Raziq dan Thaha Husein. Raziq berpendapat bahwa dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok manusia memerlukan penguasa atapun pemimpin yang mengatur dan melindungai kehidupan mereka, tetapi tidak harus berbentuk khilafah, melainkan beraneka bentuk dan sifatnya. Pandangan Raziq didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama : apa yang di lakukan Nabi Muhammad SAW dalam perannya sebagai pemimpin tidaklah mengikuti pola tertentu yang baku dan belum sempurna.

Misalnya, pada saat itu belum ada system pengelolaan keuangan dan kepolisisan sebagaimana lazimnya suatu negara. Kedua : berdasarkan ayat Quran bahwa tugas Nabi terbatas pada dakwah dan mengajak manusia agar mencari keselamatqan duniawi dan ukhrawi dengan menerima islam. Ketiga : hadis Nabi yang mengatakan “Kalian lebih me ngetahui urusan dunia kalian” oleh Raziq dimaknai bahwa persoalan bernegara adalah urusan duniawi yang seharusnya di serahkan kepada masyarakat yang bersangkutan.

Aliran ketiga menolak pendapat bahwa islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam islam terdapat system ketatanegaraan yang baku. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa islam adalah hanya mengatur hubungan antara manusia dengan sang maha pencipta. Aliran ini berpandangan bahwa dalam islam tidak ter dapat system ketatanegaraan yang baku, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etis bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh aliran ini adalah Muhammad Husein Haekal. Aliran ini berpandangan bahwa Quran maupun Sunnah tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat islam. Al-Quran seperti prinsip tauhid, musyawarah, ketaatan pada pemimpin, persamaan, keadilan, kebebasan dalam memeluk agama dan sikap saling meng hormati antar umat beragama. Tetapi prinsip-prinsip tersebut secara teknis tidak terdapat petunjuk pelaksanaannya, sehingga dapat dimaknai dan di laksanakan secara lentur dan fleksiel dengan selalu memperhatikan situasi dan kondisi setempat.

Diantara ketiga aliran ini yang mendapatkan tempat di Indonesia adalah aliran yang ketiga. Para pemimpin Umat Islam menyadari bahwa bangasa Indonesia merupakan masyarakat yang sangat majemuk, baik dipandang dari segi sudut agama, suku, budaya dan bahasa, adat istiadat dan lainnya. Dalam konteks itu, bentuk negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dianggap lebih tepat. Itu me rupakan buah kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia, yang di dalamnya juga melibatkan sejumlah tokoh agama (ulama) di waktu itu. Hubungan antara agama dan konteks politik dalam konteks realitas Indonesia sebenarnyan sulit dibedakan. Namun ada yang membedakan secara sederhana mana wilayah agama mana wilayah Negara dan politik, tetapi perbedaan itu akan menemukan kesulitan dalam realitasnya.

Menurut mereka agama adalah kabar gembira dan peringatan (QS al-Baqarah : 19) sedangkan negara mempunyai birokrasi, pengadilan dan tentara. Agama dapat mempengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama, sedangkan negara mempengaruhi sejarah dengan ke putusan, kekuasaan dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam sedangkan negara adalah kekuatan dari luar.

Pembagian yang sederhana tersebut akan menemui kesulitan jika memperhatikan fenomena agama dan politik di Indonesia saat ini. Para agamawan saat ini bukan hanya para lulusan pondok yang lebih memperhatikan aspek-aspek spiritual untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Elit agama sekarang sudah beragam wajahnya atau ganda. Mereka tidak saja memegang al-Quran dan kitab kuning, tetapi juga memegang buku-buku putih yang membahas masalah ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan teknologi. Fenomena seperti ini semakin mempersulit batas-batas antra wilayah agama dan politik.

Persoalan yang cukup pelik justru muncul dalam wilayah posisi ganda yang dimainkan para elit agama, terutama jika di antara mereka saling berbeda pan dangan. Politisi agamawn, karena dua peran yang disandangannya tidak jarang menghadapi ke sulitan untuk menemukan kompromi politik. Dalam mengambil suatu keputusan politik kelompok ini seperti sudah mengakomodasi semua sudut kepentingan. Sebab di satu pihak mereka merasa pengambilan keputusan itu sudah sesuai dengan aspirasi partainya yang plus juga umat agama. Disisi lain, naiknya mereka ke panggung politik praktis di karenakan kareana adanya legitimasi dari bawah sebagai pemimpin agama. Karenanya, dalam pengambilan keputusan mereka merasa telah mewakili kepentingan agama. Persoalannya adalah ketika ada aspirasi lain dari ulama murni terhadap politisi berperan ganda ini.

Disinilah kemudian runyamnya, persoalan politik menjadi tidak murni politik untuk masalah keagamaan, tetapi telah ditarik ke wilayah khilafiyah dalam wilayah agama itu sendiri, seperti kasus pertentangan antara ulama PKB dan ulama PPP, atau antara kalangan PBB dan PAN. Hingga kini pertarungan politik dalam wacana mutakhir masih berkisar dalam putaran ini, dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah umat grass root. Meraka dituntut untuk berkiblat pada pemimpin yang beragam, yang akhirnya terjadilah suasana yang dirasakan membingungkan.

Mengharap kehadiran Kyai Independen

Hingar bingar perpolitikan di indosesia telah membawa berbagai komponen bangsa ikut andil meramaikannya, tidak terkecuali Kyai. Pada era reformasi ini dapat kita saksikan beberapa nama yang sebelumnya aktif sebagai agamawan, tokoh agama, da’i kini beralih profesi menjadi politikus. Nama-nama seperti Abdurahman Wahid, Amien Rais, KH. Syukron Makmun, mereka dulunya lebih di kenal sebagai tokoh agama, pemimpin umat. Tetapi setelah arus reformasi mereka terjun ke dunia politik, yang terkhir adalah sosok KH. Zainuddin MZ yang dulu dikenal sebagai da’i sejuta umat, kini ikut juga berpartisipasi dalam arus politik praktis.

Kehadiran mereka dalam tataran ideal atau das sollennya, pada dasarnya memiliki motif yang sama, yakni membangaun bangsa dan negara dan mengantarkannya menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Tetapi dalam prakteksnya (das sein) justru kepentingan-kepentingan yang sifatnya mikro, politis , sesaat, sectarian, golongan atau pribadi menyelimuti tujuan ideal tersebut. Sehingga yang terjadi pada akhirnya adalah geb, konflik diantara mereka dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Kini masyarakat mulai sadar dan bersikap kritis bahkan ada yang mencurigai secara berlebihan keterlibatan Kyai tersebut.

Ketauladanan, kepemimpinan dan mampu menjadi pengayom umat. Kehadiran Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan Arifin Ilham misalnya, telah menjadi obat perindu bagi masyarakat. Aa Gym menjadi fenomena tersendiri dalam konteks Indonesia sekarang ini. Melalui mimbar dan ceramahnya , seakan umat dibawa pada suatu tingkat kesadaran akan jati dirinya. Peran yang di mainkan oleh Aa Gym dan posisinya yang masih independen, menjadikannya mendapat predikat sebagai “The Holy Man” oleh majalah Times (2003).

Fenomena Aa Gym barangkali hampir sama dengan fenomena KH. Zainuddin MZ sebelum masuk wilayah politik praktis. Kedua da’i ini bagai magnet, mampu menyedot ribuan masyarakat untuk berbondong-bondong mendengarkan ceramah yang disampaikannya. Tetapi tidak bagi KH. Zainuddin MZ ketika beliau masuk dalam dunia politik, sebagian masyarakat yang dulu mengaguminya kini agak mencemooh peran yang dimainkannya.
Wa Allahu A’lam.

PEMBENTUKAN MANUSIA

Oleh : Masruchin*.

Sebuah perusahaan akan membuat sebuah produk yang pasti bertujuan agar hasilnya baik, bagus dan hasil jualnya tinggi dan tentunya agar hasilnya maksimal. Maka bahan-bahan yang dibutuhkan adalah yang berkualitas tinggi, sehingga konsumen akan merasa puas dengan produk tersebut. Tapi jika produk itu kualitasnya rendah maka hasil jualnya pun minim, bahkan bisa di produksi ulang lagi dan terbuang karena tidak ada manfaatnya.

Pada zaman dahulu belum banyak orang atau sedikit yang memperhatikan tentang sebuah produk sebuah barang yang berkualitas lebih-lebih menganalisa sebuah penciptaan makhluk hidup. Dan ketika al-qur’an turun kepada Nabi Muhammad saw, beliau hanya mengajarkan sesuai apa yang ada dalam isi al-qur’an tersebut dengan tanpa menganalisa maupun meneliti tentang kandungannya, lebih-lebih ayat-ayat yang menceritakan tentang pembentukan manusia dengan beberapa fase. Tanpa meniadakan kandungan isi al-qur’an tentang pembentukan manusia, berkembanglah ilmu pengetahuan dengan menampilkan sebuah produk penelitian oleh para mufassir dan ilmuwan.

Manusi adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna dari makhluk lainnya. Sebuah penciptaan yang tidak ada tandingannya. Dalam Tafsir ar-rozi disebutkan bahwa penciptaan manusia (Nabi Adam) ada beberapa fase diantaranya adalah bahwa dia diciptakan dari “thurab” firman Allah : “Sesungguhnya penciptaan ‘Isa disisi Allah adalah seperti pendiptaan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah gemuk (soil) …”(3:59),

kedua bahwa manusia diciptakan dari Air, Firman Allah : “Dan Dia pula yang menciptakan manusia dari air” (25:54),

ketiga diciptakan dari Tanah : ”Dan yang memulai penciptaan dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani)” (32:7-8),
kemudian diciptakan dari sari pati tanah : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari sari pati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan sari pati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim)” (23:12-13),

kemudian diciptakan dari Tanah Liat : “Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat" (37:11),

dan kemudian firman Allah : “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk” (15:28).

dari situ bahwa manusia berasal dari sesuatu yang bisa dikatakan tidak berkualitas, akan tetapi semua itu banyak sekali hikmahnya. Di sebutkan juga hikmah diciptakannya manusia dari Tanah adalah agar Tawadhu’, juga agar menjadi pemisah, juga agar menjadi perekat dengan bumi untuk dijadikan pemimpin (2:30) dan hikmah lainnya adalah agar bisa meredam atau menahan amarah dari syahwat, marah, ketamakan dan lain sebagainya. Karena semua itu tidak bisa dikalahkan kecuali dengan debu. Adapun diciptakannya manusia dari air agar bisa menjadi bersih dari segala sesuatu yang kotor.
Kalau kita melihat teks ayat tentang penciptaan makhluk di bumi oleh Allah; yaitu manusia; yang mana hal ini disampaikan kepada Malaikat, akan tetapi malaikat protes akan penciptaan itu, karena menurut Malaikat bahwa manusia diciptakan di bumi hanya akan membuat kerusakan, akan tetapi semua itu dibantah oleh Allah bahkan menyuruh semua makhluk ciptaan-Nya untuk bersujud kepada Adam, kecuali Iblis yang merasa dirinya paling mulia dan kuat kerana iblis diciptakan dari Api, yang mana api adalah sebuah benda yang paling kuat bisa mengalahkan yang lain. Itulah penciptaan Adam yang disebut sebagai manusia pertama.

Adapun manusia dalam hal ini janin, diciptakan melalui proses pertemuan antara sperma laki-laki dan perempuan selama 40 hari dalam perut ibu. Hal ini dijelaskan dalam al-qur’an surat al-muminun yang menjelaskan fase perkembangan janin sebelum kelahiran sebagai berikut : Nutfah yang berarti "tetesan" atau air yang sedikit jumlahnya, Alaqah yang berarti struktur seperti lintah, Mudghah yang berarti struktur seperti kunyahan, `Idhaam yang berarti tulang atau kerangka, kasaun al-idham bil-laham yang berarti daging pembungkus tulang atau otot, dan an-nash'a yang berarti bentuk janin yang jelas. Hal ini menandai bahwa bagian ayat al-Qur’an ini benar-benar berdasarkan pada fase pertumbuhan, sehingga terbentuklah sebuah janin yang bersemayam dalam rahim ibu selama masa yang sudah ditentukan. Dan kemudian terkait juga dalam surat mu’min 67, yang menjelaskan tentang perkembangan setelah hadir dalam dunia dan kembali lagi ke asalnya, semua itu bertujuan agan manusia bisa memahami dan menghayati arti sebuah hidup.

Doctor Abdus Shobur mengatakan bahwa dalam penciptaan manusia ada tiga fase : pertama proses penciptaan yaitu diambil dari sebuah debu atau tanah yang kemudian terbentuklah sebuah makhluk hidup secara dhohir. Kemudian proses pe nertiban, ini diibaratkan dengan proses pembuatan sebuah gedung dengan segala asesorisnya, sehingga gedung tersebut menjadi bagus dan indah di pandang. Yang terakhir proses penghembusan atau penanaman ruh dalam jasad tersebut atau beliu sebut dengan proses yang bersifat bagian dalam yaitu dengan penyuplaian ruh dalam diri makhluk sehingga menjadi normal dan sempurna dengan segala kekuasaan dan kekuatan yang tinggi dengan esensinya berupa akal. Akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, sehingga sempurnalah manusia dengan segala perangkat yang bisa digerakkan dan mempunyai tugas masing-masing. Proses ini sesuai dengan surat Shof ayat 71-72, dimana dalam ayat tersebut tertulis ada tiga tahap penciptaan manusia.

Sebuah proses penciptaan yang mulia tentunya dan dalam bentuk yang sempurna juga. Terkadang manusia melupakan dirinya sendiri dan lupa akan asal dari penciptaannya. Dari sebuah tanah, dan akan kembali ke asalnya yaitu tanah. Akan tetapi manusia sendirilah yang telah banyak merusak bumi ini sendiri dan kalau kita kembali lagi pada teks ayat 30 al-baqarah bahwa kekhawatiran Malaikat menjadi benar, bahwa manusia diciptakan akan membikin kerusakan dimuka bumi. Tapi itu bukan berarti meniadakan kekuasaan Allah yang tahu akan penciptaan tersebut, sehingga diperintahkan bahwa manusia agar bersyukur atas penciptaan tersebut dan juga agar manusia bisa memilih antara yang baik dan yang benar.

Dari teks-teks al-qur’an yang me nyatakan tentang proses pembentukan manusia sudah sangatlah jelas bahwa manusia terbentuk dari sebuah barang yang hina dan tidak ada harga dan artinya apa-apa. Semua itu ba nyak sekali hikmahnya sehingga manusia akan mencapai kesempurnaan dalam hidupnya dengan beribadah dan beramal, sehingga kesempurnaan itu akan menusia capai ketika waktu yang sudah ditentukan oleh Tuhan ketika dalam rahim, tidak bisa ditambahi dan dikurangi yaitu ketika Tuhan mengembalikannya ke tempat asalnya. Pada waktu itulah merupakan kehidupan yang abadi dengan berbekalkan selama di dunia, dimana itu semua yang akan menentukan diri kita memetik hasilnya, apakah lebih banyak yang baik hasilnya atau malah sebaliknya. Bisa dikatakan pula bahwa kehidupan manusia di dunia adalah sebuah ladang yang harus kita tanami dengan barbagai macam benihnya dan di akhiratlah kita akan memetik hasil atau memanennya sesuai de ngan benih-benih yang kita tanam.

Sebuah keserasian, bahwa pembentukan manusia yang berasal dari tanah, dan menjalani kehidupan di bumi dengan berbagai manfaat yang diberikan oleh Zat Maha Pembentuk dan akan kembali lagi ke tanah de ngan berbekalkan hasil dari apa yang kita tanam selama di dunia. "Dan Allah menumbuhkan kamu sebagai suatu tumbuhan dari tanah, dan kemudian Dia akan mengembalikan kamu kepadanya, Dia akan mengeluarkan kamu lagi, sebagai suatu keluaran baru" (71:17-18). Dan "Dari (tanah) itulah Kami membentuk kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain" (20:55).

Maka tidak ragu lagi dan bisa dibuktikan bahwa kandungan yang ada dalam al-qur’an semuanya telah terbukti dengan bertambahnya perkembangan ilmu pengetahuan dengan berbagai macam alatnya. Dan itu menunjukkan bahwa semua yang ada di dunia dengan semua isinya telah tersirat dalam kitab Tuhan yang mencakup semua aspek, tinggal manusia sebagai umat pemegang teori tersebut sehingga bisa meya kinkan kepada semua orang, bahwa selama ini apa yang mereka temukan yang terbaru bukanlah baru, akan tetapi semua itu sudah ada sejak dulu dan ada. Dan itulah sebuah bukti kebenaran al-qur’an dalam segi pengetahuan dan masih banyak lagi yang belum terkupas isinya sehingga membuat manusia semakin percaya akan kebenaran al-qur’an, akan tetapi al-qur’an tidak bisa disebut sebagai Kitab Ilmu Pengetahuan, meskipun di dalamnya dikupas ba nyak tentang berbagai macam ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Al-qur’an adalah sebuah pedoman hidup bagi makhluk Tuhan dengan tujuan dapat diambil sebuah manfaat dari pedoman tersebut.

*) Mahasiswa pasca sarjana di Omdurman Islamic University Fak. Ushuluddin bidang Tafsir dan Ilmu-ilmu al-qur’an.

KONSEP DAKWAH SUFI & RELEVANSINYA DIERA MODERN

Oleh : Miftahul Munif

Pengertian konsep dakwah sufi.

Konsep adalah rancangan atau idea atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret. Kata ini berasal dari bahasa Inggris yaitu concept yang bila di”bahasa arabkan” menjadi “mafhum”atau “nazhariyah”.
Adapun Dakwah :

1. Secara Etimologi
Kata dakwah (الدعوة ) artinya: "do’a", "seruan ", “panggilan”, "ajakan", "undangan", "dorongan" dan "permintaan", berakar dari kata kerja. "دعا“ yang berarti "berdo'a", "memanggil, "'menyeru","mengundang","mendorong", dan "mengadu".
Dakwah secara etimologis bebas nilai, artinya bisa mengajak kepada kebaikan atau ke jalan Allah bisa juga mengajak kepada kemungkaran, jalan setan atau berbuat maksiat seperti apa yang telah didramatisir oleh Zulaiha dengan mengajak Yusuf berbuat maksiat sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya:“Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cendrung untuk [memenuhi keinginan mereka], dan tentulah aku masuk orang-orang yang bodoh “.[Q.S.Yusuf/12.33].

2. Secara Terminologi
Dakwah adalah menyeru dan mengajak manusia untuk memahami dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW
Sebagaimana Firman Allah Swt yang Artinya : "dan hendaklah ada diantara kamu segolongan ummat yang rnenyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali- Imran : 104).
Artinya:“Serulah [manusia] kepada jalan Tuhanmu.......[Q.S.An-Nahl/16.125].
Istilah "tasawuf" (sufiisme), berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safw yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi.
Adapun pengertian tasawuf secara termonologi sebagai berikut :
Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah".
Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan".
Sedangkan “sufi” adalah pelaku tasawuf itu sendiri. Kalau kita mengambil definisi tasawuf imam Junaid “sufi” adalah orang yang mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan sifat tercela. Tetapi kalau kita mengambil definisi tasawuf dari imam asy-syadzili maka “sufi” adalah orang yang melakukan latihan tersebut atau bisa disebut salik.”
Dari manapun definisi yang kita ambil, istilah para sufi berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.
Jadi yang dimaksud dengan “ konsep dakwah sufi “ adalah rancangan atau ide mengajak manusia untuk memahami dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh salik.

Konsep dakwah sufi
Di sini kami ambil contoh konsep yang ditawarkan tokoh sufi besar yang mana menjadi salah satu mazhab tasawufnya NU yaitu Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin. Kami akan banyak mengambil konsep- konsep beliau yang terekam pada bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar, tetapi tidak menutup kemungkinan penulis mengambil dari referensi lain, terutama pada poin-poin yang mana Imam Al-Ghazali tidak menyinggung secara lengkap seperti yang akan pembaca dapatkan pada poin media dakwah sufi.

Dalam konsep dakwahnya Imam Al-Ghazali melibatkan beberapa unsur-unsur dakwah, meliputi : Da’i yaitu muhtasib (Komunikator) sebagai penyampai pesan dakwah, materi dakwah sebagai pesan dakwah yang disampaikan kepada mad’u yaitu muhtasab fih, mad’u (muhtasab ‘alaih) sebagai pendengar atau yang menerima pesan dakwah, dan nafsul-ihtisab yaitu media dakwah, dan metode serta saluran dakwah yang digunakan Imam Al-Ghazali dalam mencapai tujuan dakwah islamiyah. Berikut pemaparannya:

1. Da’i (Muhtasib)
Sesuai dengan namanya tugas seorang da’i (muhtasib) adalah seorang komunikator sebagai penyampai pesan dakwah (ajaran-ajaran Islam) yang disampaikan kepada mad’u (umat manusia). Menurut Imam Al-Ghazali, memberi petunjuk kepada orang lain adalah cabang dari memperoleh petunjuk dan demikian pula meluruskan orang lain adalah cabang dari istiqamah.
Dari pernyataan Imam Al-Ghazali diatas penulis menyimpulkan bahwa ukuran atau kadar baik tidaknya seorang da’i dapat dilihat dari perannya dalam meningkatkan kepekaan spiritualitas kemanusiaan atau sebaliknya. Apabila seorang da’i tersebut mampu mengajak mad’unya menuju jalan kebaikan rahmatan lil ‘alamin dengan merasakan keagungan sang khalik, lebih kreatif dalam menghadapi lingkungannya, lebih jauh melihat masa depannya, maka da’i tersebut telah berhasil dalam mensyiarkan dakwah islamiyah.
Namun sebaliknya apabila da’i tersebut tidak mampu mengajak mad’unya menuju jalan kebaikan rahmatan lil ‘alamin tetapi berbalik arah menuju jalan keburukan maka da’i tersebut gagal dalam mensyiarkan dakwah islamiyahnya.
Dalam kitab Ihya ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengemukakan seorang da’i (secara umum) dalam melaksanakan tugasnya memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Orang mukallaf muslim dan orang yang sanggup.
b. Islam, karena ia membela Islam.
c. Adil, seorang da’i harus bisa bersikap adil terutama dalam menyelesaikan suatu perselisihan.
d. Beriman, menurut Imam Al-Ghazali seorang da’i yang tidak beriman bukan termasuk ahli agama karena ia telah mengingkari pokok agama dan dengan keimananlah pertolongan bagi agama.
e. Shaleh.
f. Mengetahui tempat-tempat dakwah, batas-batasnya, jalan-jalannya, dan penghalang-penghalangnya agar ia dapat membatasi padanya, sesuai dengan batas agama.
g. Menjauhi diri dari dosa-dosa.
h. Memiliki budi pekerti, lemah lembut dan kasih sayang serta sabar dalam menjalankan dakwahnya.

2. Materi dakwah (Muhtasab fih)
Materi dakwah sebagai pesan dakwah yang di sampaikan kepada obyek dakwah mencakup semua aspek dalam agama islam ( islam, iman dan ihsan ). Para sufi tidak luput dari ketiganya ini, bisa banyak kita jumpai kitab-kitab tasawuf yang mencakup ketiganya ini. Sebagai contoh dalam bidang aqidah para sufi membahasnya dalam bab-bab pertama kitab-kitab tasawuf mereka, contoh kitab Risalah Qusyairiyah karya tokoh sufi agung Imam Al-Qusyairy dan kitab ihya’ ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Keduanya membahas aqidah di bab-bab pertama sebagai indikasi pentingnya aqidah dalam membentuk jati diri seseorang.
Ada materi dakwah yang sangat penting dalam dunia sufi yaitu pembersihan jiwa karena tatkala jiwa (hati) sudah bersih maka semua anggota badan akan bersih, juga sebagimana yang termaktum dalam sebuah hadis yang sangat populer : “tatkala ia bagus maka seluruh jasad akan menjadi bagus yaitu hati”.
Dalam rangkaian metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap : Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi.
Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah SWT. Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat.
Setelah tahap ‘pengosongan’ dan ‘pengisian’, sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah Subhanahu Wata’ala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridho’an-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma’rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur.

3. Mad’u (muhtasab ‘alaih)
Mad’u merupakan objek dakwah, yang bertindak sebagai pendengar atau yang menerima pesan dakwah yang disampaikan seorang da’i. Syaratnya adalah bahwa Muhtasab ‘Alaih dengan sifat yang menjadikan perbuatan yang dilarang daripadanya baginya itu munkar dan sedikit-dikitnya apa yang mencukupi dalam hal itu adalah bahwa ia adalah manusia dan tidak disyaratkan bahwa ia seorang mukallaf. Dan tidak disyaratkan bahwa ia adalah mumayyiz (yang dapat membedakan antara yang bermanfaat dan tidak manfaat).

4. Media dakwah (nafsul-ihtisab)
Para sufi terkenal sangat kreatif dalam menggunakan media dakwah karena kebanyakan para sufi berpahaman bahwasanya tidak semua yang baru itu merupakan bid’ah atau hal yang dilarang oleh agama, tetapi mereka lebih membagi bid’ah menjadi dua : bid’ah hasanah atau lebih layak dikatakan sunah hasah dan bid’ah dhalalah.
Ada beberapa media atau sarana yang digunakan para sufi dalam berdakwah diantaranya adalah :
a. Halaqatul zikir ( majlis zikir )
Sarana ini adalah sarana terpenting dari kebanyakan tarekat- tarekat sufi, kebanyakan tarekat sufi sangat menganjurkan para pengikutnya untuk sering zikir bersama karena dengan zikir bersama akan lebih membawa dampak yang positih terhadap jiwa para jamaah tarekat tersebut disamping banyak landasan-landasan dalil dari Al-quran dan sunnah yang menganjurkan zikir berjamaah.
b. Khalwah- khalwah Al-qur’an
Media ini sangat banyak kita temukan di Sudan, bisa dikatakan 80% dari tokoh- tokoh sufi (mursyid) memiliki khalwah Al-quran yaitu semacam pesantren yang khusus untuk menghafalkan Al-qur’an tanpa pungutan biaya sedikitpun. Semua kebutuhan ditanggung pemilik khalwah yang biasanya sering dapat sumbangan dari orang-orang dermawan untuk konsumsi para santri khalwah. Di khalwah itulah para santri digembleng dengan menghafal Al-quran sebagai pondasi awal memahami agama islam. Di Sudan santri-santri khalwah terdiri dari banyak usia dan yang paling banyak masih usia relatif muda kurang dari 10 tahun.
c. Masjid
Masjid merupakan media dakwah yang dijadikan Rasulullah SAW sebagai sarana dan tempat penggemblengan para sahabat RA dan dari masjid muncullah tokoh- tokoh yang banyak kita jadikan contoh. Karena itulah para sufi tidak lalai dalam memanfaatkan sarana ini sebagai media dakwah, di negara- negara muslim banyak kita temukan masjid- masjid tua yang didirikan para tokoh- tokoh sufi seperti banyak kita temukan juga di indonesia. Ambil contoh Masjid Agung Demak yang merupakan pusat perkumpulan Wali Songo, masjid agung menara kudus yang mempunyai ciri khas tertentu dengan adanya menara mirip dengan tempat ibadah orang hindu dan budha.
d. Zawiyah sufiah
Yaitu semacam tempat pertapaan (‘uzlah) para sufi yang jauh dari keramaian kota dan biasanya banyak ditemukan di gurun- gurun negara timur tengah. Sarana ini mereka gunakan untuk mendidik nafsu dan hati dari segala penyakitnya serta sarana untuk menggembleng para santri dalam menekuni dunia kesufian. Sarana ini banyak kita temukan di Libia, Maroko dan negara- negara lain di zaman penjajahan yang diantara tarekat yang banyak menggunakan media ini adalah Tarekah Sanusiyah yang terpusat di Libya.
e. Media tulis
Media ini merupaka media terpenting dalam setiap gerakan dakwah. Karena itulah para sufi tak luput memanfaatkan media ini sebagai sarana dakwah. Kalau kita mau masuk perpustakaan islam maka banyak sekali kita temukan kitab- kitab karya para tokoh-tokoh sufi. Ambil contoh kitab karya Imam Al-Ghazali bisa kita temukan begitu banyak, kitab karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan karya tokoh-tokoh yang lain.
f. Media internet
Media yang satu ini tidak dapat ditemukan di era- era dulu, tetapi pada era sekarang media ini sangat dilirik oleh semua kalangan karena jangkauannya yang luas tanpa batas ruang dan waktu. Begitu juga para sufi tidak mau ketinggalan dengan pemanfaatan media ini, sekarang banyak kita temukan situs-situs sufi dari berbagai Negara, contoh kecil di Indonesia ada situs www.sufinews.com.

5. Metode dakwah
Imam Al-Ghazali menerangkan metodologi dakwah yang digunakan dalam menyiarkan dakwah Islam. Terdapat beberapa tingkatan diantaranya adalah ta’aruf , melarang dengan pengajaran dan cara yang halus dan janganlah bersikap keras supaya tidak melampaui batas syara’ sehingga lebih banyak merusak daripada memperbaiki sehingga dalam tegurannya terdapat semacam pelanggaran. Bahkan, seandainya ada seseorang menolak atau menghadapinya dengan sikap yang tidak disukainya, maka janganlah ia melampaui batas syara’ dan melupakan teguran serta melakukan kemungkaran dalam teguran itu sendiri. Menurut Imam Al-Ghazali dalam teguran itu ada empat tingkatan yaitu memberitahu, menasehati, bersikap keras dalam perkataan, kemudian mencegah dengan paksaan. Tidaklah boleh terhadap raja dan penguasa, kecuali memberitahu dan menasehati. Adapun bersikap keras dan mencegah dengan paksa, maka sikap itu menggerakkan fitnah dan menimbulkan hal-hal yang lebih keji daripada yang mereka alami. Jika sikap keras itu berfaedah dan tidak menimbulkan perkara yang berbahaya, maka tidaklah mengapa. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:” Barangsiapa dari kamu melihat perbuatan munkar, maka hendaklah ia ingkar dengan tangannya, kalau tidak mampu, maka dengan lisannya lalu kalau tidak mampu, maka dengan hatinya dan demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jadi, menurut Imam Al-Ghazali dakwah Islamiyah itu tidak secara otomatis harus dikerjakan begitu saja, tetapi harus dilihat kepentingannya, adakah kemungkaran itu terjadi ditengah masyarakat? Sejauh mana kemungkaran itu dilakukan orang?
Setelah diketahui kemungkaran itu memang terjadi, barulah dipersiapkan konsep penanggulangannya untuk selanjutnya ditangani dengan memperhatikan tiga alternatif tadi yaitu melalui :
a. Kekuasaan atau wewenang yang ada pada dirinya, atau dilaporkan kepada pihak yang berwenang untuk ditangani
b. Peringatan atau nasihat yang baik dalam Al-quran disebut mau’idhoh hasanah
c. Ingkar dalam hati, artinya hati kita menolak tidak setuju
d. Pengajaran dan nasihat dengan perkataan yang baik dengan cara tutur kata yang lemah lembut sehingga akan terkesan di hati, menghindari sikap sinis dan kasar, serta tidak menyebut-nyebut kesalahan atau bersikap menghakimi orang yang diajak bicara.
Secara umum, karakteristik dakwah Islam harus mengacu pada pesan moral universal ajaran Islam yang mendasar dan mencerminkan nilai-nilai rahmatan li al-alamin sebagai manifestasi dari rasa kasih sayang, keikhlasan dan tanggung jawab yang merefleksikan kemaslahatan, kemanfaatan, kesejahteraan, dan bernilai guna bagi semua pihak seluruh makhluk. Baik untuk sesama muslim (ukhwah islamiyah), sesama manusia (ukhwah basyariyah), sesama makhluk, dan bahkan alam sekitar dan ekologinya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam Al-quran surat Al-Anbiya ayat 107:
Artinya. “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya ayat 107)

Relevansi konsep dakwah sufi di era modern

Banyak orang yang meragukan relevensi konsep dakwah sufi di era modern ini. Mereka menganggap bahwasanya konsep dakwah sufi adalah konsep yang sudah usang dan tidak layak pakai lagi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Bahkan ada yang beranggapan bahwa konsep dakwah sufi hanya cocok di era yang sudah lampau dan tidak akan pernah kembali lagi. Tapi kiranya orang yang meragukan hal tersebut menelaah kembali dan menguji konsep dakwah sufi tersebut maka dia akan tahu sampai seberapa relevansi konsep dakwah sufi di era sekarang. Pada sub ini kami merasa perlu mengutip banyak sebuah makalah yang ditulis oleh Aprilina hartanti dalam sebuah blogger kumpulan makalah psikologi.
Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah yang muncul akibat modernisasi dan globalisasi dan salah satu cara yang hampir disepakati para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah tersebut adalah Husein Nashr. Menurutnya, faham sufisme ini mulai mendapat tempat di kalangan masyarakat (termasuk masyarakat barat) karena mereka mulai mencari-cari dimana sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut.
Sufisme perlu dimasyarakatkan pada kehidupan modern karena terdapat 3 tujuan yang penting yaitu :
a. Turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.
b. Memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoterik (kebatinan) Islam, baik terhadap masyarakat islam yang mulai melupakannya maupun non islam, khususnya terhadap masyarakat barat. Untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoterik Islam, yakni sufisme, yaitu jantung dari ajaran islam sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut , maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam
Relevansi tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ia bisa difahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan Tasawuf suluky, dan bisa memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan Tasawuf falsafy. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba lomba menempuh jalan (tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang Satu, Allah SWT. Tasawuf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya setempat juga mewarnai corak Tasawuf sehingga dikenal banyak aliran dan tarekat.Telah disebut di muka bahwa ber-tasawuf artinya mematikan nafsu dirinya untuk menjadi Diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian Tasawuf, nafs difahami sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseorang dimana sifat-sifat tercela berkumpul, Al Ashlu Al Jami` Li As Sifat Al Mazmumah Min Al Insan. Nafs juga dibahas dalam kajian Psikologi dan juga filsafat. Dalam upaya memelihara agar tidak keluar dari koridor Al-Qur’an maka baik Tasawuf maupun Psikologi (Islam) perlu selalu menggali konsep nafs (dan manusia) menurut Al-Qur’an dan hadis.
Tasawuf dan modernitas pada dasarnya sejak awal perkembangan islam gerakan tasawuf mendapat sambutan luas di kalangan umat islam. Bahkan penyebaran islam di Indonesia lebih mudah berkat dakwah menggunakan pendekaatan tasawuf. Penekanan pada sisi esoteric agama (hal-hal yang bersifat batiniah dari agama) lebih mengundang daya tarik ketimbang eksoteriknya (Formalitas ritual agama) Salah satunya disebabkan oleh adanya persinggungan antara sisi esoteric dengan pergulatan eksistensi manusia. Kecenderungan animisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda yang mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi perantara kepada Tuhan) misalnya menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap sisi esoteric itu. Faktor seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti Tasawuf sebagaimana ia jelaskan dalam bukunya :“Tidaklah dapat diragukan lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang mempengaruhi perasaan dan pikiran kaum muslimin (1981;20)
Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat islam. Menurut Hamka tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merasakan jantung dari keislaman.
Dalam masyarakat modern fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alenasi yang diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan mhidup tetapi tidak selalu memberikan kebahagiaan Intisari ajaran tasawuf sebagaimana paham mistisme dalam agama-agama lain adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadaranya itu berada di kehadirat-Nya. Upaya ini antara lain dilakukan secara kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sikap dan pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang mengalami jiwa yang terpecah sebagaimana disebutkan, asalkan pandangan terhadap tujuan tasawuf tidak dilakukan secara ekslusif dan individual, melainkan berdaya aplikatif dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.
Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang tampak berserakan karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan. Dengan adanya bantuan tasawuf ini, maka ilmu pengetahuan satu dan lainya tidak akan bertabrakan karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi dengan demikian ia akan terhindar dari melakukan perbuatan perbuatan yang tercela menurut agama selanjutnya ajaran tawakkal pada Tuhan menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada Tuhan, sikap tawakkal ini akan mengatasi sikap stress yang dialami oleh manusia. Sikap materialistic dan hedonistic yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu. Jika sikap ini tidak mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan , sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan.
Demikian pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkat oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali masyarakat modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupan. Yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya itu berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan tapi ia tetap mengendalikan aktivitasnya sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut dalam pengaruh keduniaan. Terakhir problematika masyarakat modern diatas adalah sejumlah manusia yang kehilangan masa depanya, merasa kesunyian dan kehampaan jiwa di tengah-tengah derunya laju kehidupan.
Modernisme merupakan tanda kemajuan dan moderniame juga merupakan tanda kemunduran suatu bangsa. Perkembangan dalam berbagai bidang, dari bidang ekonomi sampai bidang teknologi. Hal telah banyak membuat kita lupa akan daratan kita –tujuan awal– yang sejak awal kita bangun. Kenyataannya, modernisme makin hari membawa diri kita terselubungi dengan perkembangan teknologi.
Efeknya, penghayatan terhadap Islam mulai digantikan dengan penghayatan duniawi yang serba ingin modern. Prinsip materiaistik memenuhi otak pikiran, yang melepaskan kontrol agama dan kebebasan bertindak demi memenuhi modernisme telah berkuasa untuk mengalahkan terapi sufisme atau tasawuf. Masyarakat modern semakin mendewakan keberadaan ilmu pengetahuan, maka seakan-akan kita berada pada wilayah pinggiran yang bermadzab ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan visi kailahian. Hal inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita dengan dunia, akibat tidak mempunyai pegangan hidup. Dalam teori kesuksesan yang diterapkan oleh Ary Gynanjar yang mengilustrasikan keberadaan diri kita sudah dan telah memiliki kekuatan atau kemampuan yang berupa IQ, EQ dan SQ. Yang mana, ketika kemampuan itu membentengi manusia dalam hariannya untuk menjadi manusia yang sukses atau manusia yang kamil. Untuk itulah, teori yang diterapkan oleh Ary Gynanjar harus diseimbangkan dalam diri personal. Sebab, akibat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan tersebut akan merubah diri seorang hidup tanpa peganggan yang lari sana dan lari sini, ikut sana dan ikut, tidak punya prinsip yang diandalkan. Wujud dari kemampuan manusia, umunnya berupa kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar sekali, kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan martabat umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga martabat Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya kemodernismean. Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi realita yang terjadi ketika insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka menjalani hidup penuh dengan nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga yang terjadi, mereka hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat dengan lingkungannya yakni masyarakat sekitarnya.

Tarekat- tarekat sufi yang menyebar di Negara- Negara maju :
Dari wujud relevansi konsep dakwah sufi adalah menyebarnya tarekat- tarekat sufi di belahan- belahan dunia terutama di negara- negara maju. Dan kali ini akan kami paparkan sekelumit dari contoh tarekat- tarekat yang sudah menembus negara maju.
Pada awalnya pengenalan diskursus tasawuf di Barat, sebagian terselenggara melalui informasi akademis, melalui buku-buku yang ditulis, hasil penelitian lapangan, ataupun terjemahan karya-karya para sufi dari bahasa-bahasa Muslim (yakni bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu dsb), ke dalam bahasa Barat (yaitu bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dsb).
Tarekat Naqsyabandiyah (Haqqaniyah) yang berpusat di Cyprus, tempat kelahiran Syaikh Muhammad Nazim al-Haqqani dan khalifah beliau Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani dengan gigih telah berhasil mempunyai banyak cabang di Syria, Amerika Serikat (Michigan, Chicago dan California dan terdapat di 18 tempat lainnya), serta cabang-cabangnya di Kanada (Montreal, Toronto, Vancouver, dsb), Inggris (London dan Birmingham), Perancis, Spanyol (3 tempat), Swedia, Switzerland, Mesir, Jerusalem, Lebanon, Kenya, Jerman, Belanda, Italia, Argentina (4 tempat), Guadeloup, Australia, Pakistan, Sri Lanka, Mauritius dan Afrika Selatan, juga di Indonesia, Malaysia, Jepang (4 tempat), serta Brunei Darussalam. Karya-karya Syaikh Nazim, baik yang berbahasa Turki, Arab atau berbahasa Inggris, sebagian sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Tarekat Chisytiyah sebuah tarekat kelahiran India yang di dirikan oleh Syaikh Mu‘in al-Din Chisyti (w.1236) telah berhasil mempopulerkan tarekat ini ke luar India. Di awal pendiriannya tarekat ini berideologi Sunni. Hal ini terbukti bahwa para sufi awal Chisyti di India menjadikan ‘Awârif al-Ma‘ârif karya Syaikh Syihab al-Din Abu Hafs ‘Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M) sebagai pegangan mereka. Hingga sekarang ini cabang Tarekat Chisytiyah juga terdapat di Amerika Serikat misalnya di Philadelphia, dibawa dan dikembangkan oleh seorang Syaikh Chisytiyah dari Sri Lanka, bernama Bawa Muhayiddin.
Seorang orientalis yang telah sangat berjasa dalam memperkenalkan pendiri Tarekat Mawlawiyah misalnya, yaitu Mawlana Jalaludin Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang telah bukan hanya mengedit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menterjemahkan dengan baik seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 buku) ke dalam bahasa Inggris. Demikian juga ia telah menerjemahkan dan menseleksi dari Divan-i Syams-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi.

Penutup.
Dengan demikian konsep dakwah sufi, bukan hanya sebatas menyeru manusia kepada Allah SWT, banyak hal yang tercangkup di dalamnya, termasuk bagaimana cara menerapkan Islam dalam tatanan kehidupan, menghadapi tantangannya dan mengetahui konspirasi para musuh Islam. Hubungan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar tidak bisa dipisahkan. Di sini dapat kita lihat, bahwa pada kenyataannya dakwah ilallallah selalu ditekankan pada terwujudnya al-ma’ruf atau al-khair, dan menjadi tugas pokok seorang muslim. Dakwah yang berisikan amar ma’ruf nahi munkar yang digerakkan orang-orang muslim, pada praktiknya memang berhadapan dengan dakwah amar munkar nahi ma’ruf yang dilakukan oleh orang-orang munafik.
Secara sosiologis, al-ma’ruf dan al-munkar menunjuk pada kenyataan bahwa kebaikan dan keburukan itu terdapat dalam masyarakat. Umat Islam dituntut untuk mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam masyarakat, kemudian mendorong, memupuk, dan memberanikan diri kepada tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama ia mampu mencegah, menghalangi, dan menghambat tindakan-tindakan keburukan. waAllahu A’la wa a’lam.

(Dikutip dari berbagai sumber)