Kamis, 16 Februari 2012

Kyai, Santri dan Golongan Politik Praktis

Oleh: Taufiq R*
Bahwasanya politik itu kenyal, seperti permen karet. Dikunyah terus tak pernah habis. Terkadang rasanya sudah habis, namun orang masih terus mengunyahnya. Bagi orang yang telah terbiasa mengunyah permen karet, mungkin ia kecanduan dengan kebiasaan yang melekat itu. Rasanya tidak sreg bila pada forum apa saja atau pada kesibukan apa saja, tanpa mulut mengunyah permen karet, dus mengaitkan aktivitas apa saja dengan politik.

Filosofi di atas saya nilai adalah sebagai sesuatu yang wajar bagi seorang politikus bahkan malahan sesuatu yang lazim karena politik merupakan profesi yang telah merasuk ke dalam tulang rusuk mereka. Namun bagi sebagian masyarakat yang awam politik, tentunya sikap tersebut sangat mengkhawatirkan jika mengkontaminasi fikiran atau profesi mereka. Termasuk di dalamnya kyai dan santri.

Kyai maupun santri yang berpolitik dikhawatirkan akan ter- jebak pada logika politik ( the logic of politic ) yang akhirnya memanipulasi masyarakat demi kepentingan sesaat yang akhirnya menggiring pada logika kekuasaan ( the logic of power ).

The power of logic yang dimiliki kyai seperti logika moralitas yang mengedepankan ketulusan dan pengabdian, akan tereduksi atau bahkan hilang sama sekali dan akan terkalahkan oleh logika kekuasaan tadi.

Pandangan di atas tidak sepenuhnya benar, karena pada dasarnya mereka menghendaki agar kesucian, ketulusan moral dan tugas mulia Kyai sebagai culture broker (makelar budaya) dan pencerah umat tidak terkontaminasi karena menjadi broker politik yang kotor.

Namun tidak pula difahami bahwa argumentasi saya tersebut menjadi sebuah legitimasi “pengharaman” keterlibatan Kyai dan Santri dalam politik praktis. Artinya hendaknya tidak semua Kyai berpolitik atau seyogyanya tidak perlu terjun politik praktis. Kalo Kyai yang lugu dan sufistik tetaplah sebaiknya tinggal di pesantren atau menjadi transformator masyarakat. Dan hal ter- sebut pasti lebih bermanfaat dari pada ikut terjun dalam dunia politik. Namun sebaliknya jika dimulai keikutsertaan Kyai atau Santri ke dalam politik praktis lebih memberi manfaat dalam berbagai aspek maka hal tersebut sah-sah saja.

Yang coba saya tekankan di sini hendaknya Kyai, Santri, dan Gus betul-betul mempertimbangakn beberapa persyaratan penting sebelum memutuskan berselingkuh dengan politik.

Prasyarat tersebut adalah kom- petensi personal yang meliputi integritas moral dan kemampuan memainkan politik secara santun. Kompetensi professional yang berpijak pada the right man on the right place. Atau sabda Nabi “jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah waktu kehancurannya” serta pentinganya stabilitas dan konsistensi Kyai sebagai makelar budaya (culture broker) dan juga pencerah umat.▪

*Santri Rembang