Kamis, 16 Februari 2012

Ketelitian Nashirussunnah Imam Syafi'i

Oleh: Miftahuddin Ahimy
Untuk menganalisa dan sampai pada suatu kesimpulan hukum, Para Mujtahid dihadapkan kepada jalan panjang; jalan dimana mereka harus menggunakan penalaran akal terhadap apa yang kita kenal dengan Adillah.
Adillah adalah sumber-sumber yang dijadikan pijakan dasar untuk mengantarkan seorang Mujtahid kepada sebuah kesimpulan hukum tertentu. Sumber-Sumber untuk menetapkan hukum ini banyak macamnya, yaitu Quran, Sunnah, Istishab, Ijmak, Qiyas, Qaul Shahabi, Syara’ man Qablana, Istihsan, Istishlah, Istiqra, Muraa’tul A’raf wal ‘Awaid. Berbagai macam metode inilah yang akan mengantarkan seorang Mujtahid untuk sampai pada kesimpulannya dalam sebuah persoalan hukum.

Sesungguhnya metode di atas dari urutan pertama hingga kedua tidak diragukan keotentikanya sebagai sumber hukum asli, hanya saja dari urutan ketiga sampai akhir kita akan mendapatkan perselisihan pendapat Ulama tentang statusnya sebagai sumber asli serta pada keabsahan atau tidaknya untuk dipergunakan.

Kalau kita mencoba untuk menganalisa lebih teliti lagi, kesebelas sumber metode penetapan hukum di atas akan terbagi menjadi dua; Pertama, ada yang menunjukkan hukum yang memang dia sebagai sumber aslinya, dan Kedua, ada yang menunjukkan hukum tetapi bukan sebagai sumber asli, melainkan mengikut kepada sumber asli. Yang termasuk dari golongan pertama adalah Quran, Sunnah, dan Istishab, selebihnya masuk dalam golongan kedua.

Golongan pertama dari dua bagian ini masing-masing mempunyai tingkat, karena pada dasarnya sumber agama secara asli hanya satu; Quran; yang berasal dari Allah SWT secara makna dan lafadz, sehingga hal inilah yang menjadikannya berada di urutan level tertinggi. Adapun Sunnah berada di bawah Quran, karena ia merupakan keterangan dari Nabi untuk menjelaskan ayat Quran. Sunnah maknanya dari Allah SWT, dan lafadznya dari Nabi. Meskipun demikian, Sunnah juga tergolong Sumber asli karena ia bukan semata-mata perkataan dari Nabi sendiri, maka dalam hal ini ia kita kelompokkan dalam golongan pertama.

Hal yang sama –pertautan level- juga terjadi pada golongan kedua. Golongan ini tidak menjadi sumber hukum sebagai sumber asli karena ia masih butuh sandaran dan tidak dapat berdiri sendiri.

Ijmak menjadi sumber hukum karena ada dasar pijakannya, baik Quran maupun Sunnah. Qiyas menjadi sumber hukum karena ada pembandingnya yang ditetapkan Quran ataupun Sunnah. Dan Qaul Shahabi (Perkataan para Sahabat) menjadi sumber hukum karena ia tidak didasari dari hawa nafsu atau kemauan Sahabat belaka, melainkan atas dasar pemahaman mereka terhadap Quran maupun Sunnah. Begitupun Syara’ Man Qablana (Syariat Nabi-nabi terdahulu) tidak dapat menjadi sumber hukum jika tidak disebutkan lagi dalam Syariat kita (Quran atau Sunnah).

Adapun Istihsan, Istishlah, Istiqra, Muraa’tul A’raf wal ‘Awaid pada dasarnya ia bukanlah Adillah sama sekali, Penulis memandangnya lebih dekat kepada sebuah metode tata fikir, karena kesemuanya lebih didominasi oleh peran akal, sedangkan akal sendiri masih dalam perdebatan Ahli Ushul Fiqh tentang statusnya sebagai sumber hukum atau tidak. Hal inilah yang menjadikan Istihsan, Istishlah, Istiqra, Muraa’tul A’raf wal ‘Awaid sebagai medan pertempuran akal dalam menganalisa.

Mengenai akal, Abu Nasr Al Farabi yang dilahirkan pada 870 M berpendapat; bahwa akal terdiri dari dua bagian; yaitu praktis dan teoritis. Akal praktis bekerja menghasilkan kesimpulan dan akal teoritis mencari potensi, kebiasaan dan penemuan.

Mekanisme kerja akal ketika dibenturkan pada sebuah persoalan sebagai berikut; sederhana saja, pertama akal akan menangkap dan menggambarkan wujud benda dengan segala kemungkinannya yang akan terjadi, lalu akal teoritis berusaha untuk mengambil hal-hal yang dapat disimpulkan, setelah itu barulah akal praktis menyimpulkan apa yang ditemukan oleh akal teoritis. Maka dalam hal ini, karena ia lebih dekat kepada produk akal, Istihsan, Istishlah, Istiqra dan Muraa’tul A’raf wal ‘Awaid kita kategorikan dalam golongan kedua sebagai sumber yang mengikut kepada sumber asli.

Di arena semacam inilah naluri keilmiahan dan kemampuan tata fikir seorang Mujtahid dituntut habis-habisan.
Seorang Mujtahid tidak cukup hanya memahami secara benar akan makna dari nash saja, melainkan juga dituntut untuk mampu menganalisa situasi dan kondisi yang terjadi, lalu mengkombinasikan apa yang difahaminya dari nash dengan apa yang difahaminya dari situasi dan kondisi dalam sebuah bingkai keputusan yang sesuai. Seorang mujtahid diduga kuat akan kehilangan fungsinya manakala lemah dalam hal ini.

Penulis sengaja untuk tidak mengingkatkan pembaca akan berbagai macam contoh-contoh dari sumber metode pengambilan hukum yang telah kita uraikan diatas secara satu persatu, karena hal itu akan semakin mencukur banyak kertas dan penulis kira akan menjadi sebuah tahshilul hasil kepada pembaca.

Berkaitan dengan apa yang telah kita uraikan di atas, ada hal menarik yang dapat kita kaji terhadap apa yang telah dicapai oleh Muhammad bin Idris As Syafi’i yang diwafatkan pada tahun 150 H. atau yang kita kenal akrab dengan panggilan Imam Syafi’i. Peletak pokok-pokok bahasan dari ilmu Ushul Fiqh yang kita kenal sekarang. Sebuah Ilmu yang menuntun seorang mujtahid untuk mengambil suatu kesimpulan hukum. Seorang Imam yang senantiasa menggunakan analisa mendalam dan jitu pada madzhabnya, sehingga tidak heran jika madzhabnya dianut oleh sebagian besar penduduk muslim di dunia.

Salah satu dari banyaknya kelebihan imam Syafi'i yang sangat menarik adalah beliau dalam memutuskan sebuah pendapat, beliau tidak hanya berpegang pada analisa terhadap Quran, Sunnah, Ijmak maupun Qiyas, akan tetapi juga memperhatikan serta menganalisa kondisi dan situasi masyarakat di mana pendapat tersebut harus dikeluarkan, lebih jauh nash-nash yang akan diaplikasikannya haruslah dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat.

Misalnya, untuk menentukan usia di mana seorang wanita sudah mulai haid, maka beliau harus menemui lebih dari 40 wanita untuk menanyakan langsung kepada mereka tentang kapan mulai memasuki usia haid. Baru setelah itu menarik pendapat dari jawaban mereka yang telah di kombinasikan dengan pertimbangan Nash.

Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Syafi’i yang ketika itu sedang duduk di atas untanya; "Berapa jumlah kaki unta tuan?". As-Syafi'i tidak langsung menjawab, beliau segera turun dari untanya dan memastikan keadaan empat kaki unta itu satu persatu, lalu akhirnya menjawab "Jumlahnya empat". Riwayat ini menunjukkan bahwa beliau adalah seorang mujtahid yang sangat teliti penganalisaannya dan tidak mencoba untuk menarik sebuah pendapat kecuali setelah perenungan dan penelitian lapangan yang benar-benar otentik.

Kenyataan inilah yang menjadi jabang bayi dan bukti dari apa yang kita kenal sekarang dengan istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Yaitu dua pendapat beliau yang berbeda dan dihasilkan di tempat yang berbeda pula.

Pendapat yang dihasilkan di Irak adalah Qaul Qadim, sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat beliau yang dihasilkan di Mesir. Kedua negara ini tentu memiliki perbedaan yang cukup signifikan, masing-masing memiliki adat, situasi dan kondisi yang berbeda.

Antara Qaul Qadim dengan Qaul Jadid tentunya tidak dapat terlepas dari perbedaan, meskipun dibangun dari nash yang sama dan analisa mujtahid –As-Syafi'i- yang sama. Yang menjadi sumber perbedaan di antara keduanya adalah perbedaan Irak dan Mesir yang menjadi pertimbangan analisa Imam Syafi’i sehingga hal itu menjadikan Beliau harus membuat keputusan berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi kedua negara tersebut.

Apa yang telah dicapai As-Syafi’I telah menunjukkan kepiawaian metode berfikir beliau, terutama dengan metode istiqranya. Pembaca dapat menemukannya secara gamblang dan mendalam tentang pendapat-pendapat beliau dalam buku "Al-Imam As-Syafii baina madzhabayhi; al-Qadim wa al-Jadid" karangan Pak Nahrowi Abdussalam; seorang ulama berdarah betawi lulusan al-Azhar, Cairo. Menurut hemat Penulis, sudah saatnya-lah kita menjadi Syafi’i-syafi’i kecil. Ya !?
Wa Allahu A’lam.