Oleh : Faiz Mushtofa Abbas
Kyai sebagai sebutan penghormatan bagi elit agama khususnya di Jawa, masih sering diperdebatkan lebih-lebih jika dikaitkan dengan dunia politik.
Pro-kontra seputar peran Kyai dalam dunia politik praktis masih menjadi perbincangan dalam masyarakat. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Kyai, seharusnya cukup berperan sebagai pengayom umat saja, terutama dalam kehidupan beragam. Oleh karena itu, lebih tepat jika ia menghindarkan diri dari kegiatan politik. Adapula yang mengatakan sebaliknya, tidak ada alasan bagi Kyai meninggalkan politik praktis sebab berpolitik merupakan bagian kehidupan agama itu sendiri.
Namun, persoalan yang cukup pelik adalah ketika elit agama atau Kyai memainkan peran ganda antara agamawan di satu sisi dan poolitikus di sisi lain yang di perankan dalam waktu yang bersamaan. Muncul pertanyaan, apakah mungkin produk-produk pemikiran dan tindakan elit agama bisa bebas dari nilai-nilai yang mewarnai pandangan hidup mereka??.
Dari persoalan tersebut sebenarnya ada sebagian masyarakat yang mengaharapkan posisi dan peran Kyai berdiri independen tidak ikut dalam kegiatan politik praktis, tidak terkontaminasi oleh hingar bingar dan panasnya perpolitikan. Kehadiran Kyai ini diharapkan akan dapat memberikan kesejukan dan kedamaian serta dapat men dinginkan panasnya arus politik dan menjadi moral force dalam kehidupan perpolitikan dan jalannya pemerintahan di Indonesia.
Disisi lain adapula sebagian masyarakat yang mengaharapkan peran Kyai atau elit agama berperan lebih signifikan agar dapat mengatasi persoalan-persoalan dan krisis yang terjadi di Indonesia.
Variasi dan Tipologi Kyai
Seputar sebutan Kyai.
Peristilahan Kyai muncul pertama kali dari bahasa jawa. Kata-kata Kyai dalam pemahaman masyarakat jawa mempunya makna yang agung, keramat, dan dituakan.
Selain untuk benda, seperti keris dan gamelan, gelar Kyai juga diberikan kepada laki-laki yang lanjut usia, arif dan di hormati.
Penyebutan kyai biasanya juga di gunakan untuk menyebut Ulama (orang yang mendalam pengetahuan keislamannya).Di Jawa Barat mereka disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Kyai, di Madura disebut Mak Kyae, Bindara atau Nun. Jadi predikat Kyai adalah sebutan atau gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada elit agama yang telah diketahui ke alimannya, memiliki peranan dalam kehidupan sosial ke agamaan dan masyarakat dapat merasakan jasanya serta me nerima tuntunan serta kepemimpinannya.
Variasi dan Tipologi Kyai
Kyai sekilas tampak homogen, jika dilihat secara seksama ternyata amat variatif. Perbedaan itu diakibatkan oleh banyak faktor. Misalnya, dari perbedaan mereka dalam mempersepsi dan memahami ajaran agama itu sendiri, lingkungan dimana masing-masing Kyai itu hidup dan dibesarkan, kondisi ekonomi, dan juga faktor sosial politik. Muncul dan berkembangnya berbagai aliran keagamaan di berbagai tempat adalah bukti bahwa selalu adanya perbedaan pemahaman, persepsi atau sudut pandang. Di kalangan Kyai misalnya, muncul istilah Kyai Fikih, Kyai Tasawuf dan sebagainya. Secara politik terdapat Kyai yang memiliki orientasi kekuasaan, oleh karena itu dia ikut dalam aktivitas politik, ada Kyai yang dekat dengan penguasa, Kyai yang independen dan Kyai yang mengambil jarak dengan pemerintahan yang berkuasa.
Jika secara Khusus dikaitkan dengan kegiatan politik, maka terjadi polarisasi pemikiran dan memunculkan tipologi Kyai yang bervariasi. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Kyai seharusnya cukup berperan sebagai pengayom umat terutama dalam kehidupan beragama. Oleh karena itu lebih baik jika dia menghindarkan diri dari kegiatan politik praktis. Ada juga yang sebaliknya, tidak ada alasan Kyai meninggalkan politik praktis sebab berpolitik merupakan bagian kehidupan agama itu sendiri.
Hubungan antara agama dan politik
Hubungan antara agama dan politik sampai saat ini masih menjadi perbincangan ilmiah oleh para cendekiawan muslim.
Sekalipun para ilmuan muslim tidak berbeda pandangan tentang kebenaran dan keagungan ajaean islam, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang posisi agama dan negara. Apakah islam memerlukan bangunan negara sendiri? Apakah tidak? Hingga kini belum memperoleh jawaban yang seragam.
Dalam kajian politik islam kontemporer setidaknya ada 3 aliran pemikiran tentang hubungan antara islam dan politik. Aliran pertama berpendapat bahwa : Islam bukanlah semata-mata agama yang hanya menyangkut hubungan manusia dan tuhan, islam dipandang sebagai agama yang sempurna dan lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokoh utama dari aliran ini antar lain: Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan yang paling gigih adalah Abul A’la al-Maududi berpendirian bahwa islam memerlukan kekuatan untuk melaksanakan syariah dan dakwah. Syariah akan dapat berjalan dengan baik jika terdapat kekuatan yang melaksanakan, yaitu negara. Oleh karena itu, mengangkat satu khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin. Beberapa ayat yang di jadikan dasar pandangannya antara lain QS.Almaidah 44, 45, 47, 48 QS. At-Taubah ayat 1,2,3.
Aliran kedua berpandangan bahwa islam adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut mereka, Nabi Muhammad SAW, hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dan tidak pernah mendirikan dan mengepalai suatu negara. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah : Ali Abdul al-Raziq dan Thaha Husein. Raziq berpendapat bahwa dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok manusia memerlukan penguasa atapun pemimpin yang mengatur dan melindungai kehidupan mereka, tetapi tidak harus berbentuk khilafah, melainkan beraneka bentuk dan sifatnya. Pandangan Raziq didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama : apa yang di lakukan Nabi Muhammad SAW dalam perannya sebagai pemimpin tidaklah mengikuti pola tertentu yang baku dan belum sempurna.
Misalnya, pada saat itu belum ada system pengelolaan keuangan dan kepolisisan sebagaimana lazimnya suatu negara. Kedua : berdasarkan ayat Quran bahwa tugas Nabi terbatas pada dakwah dan mengajak manusia agar mencari keselamatqan duniawi dan ukhrawi dengan menerima islam. Ketiga : hadis Nabi yang mengatakan “Kalian lebih me ngetahui urusan dunia kalian” oleh Raziq dimaknai bahwa persoalan bernegara adalah urusan duniawi yang seharusnya di serahkan kepada masyarakat yang bersangkutan.
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam islam terdapat system ketatanegaraan yang baku. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa islam adalah hanya mengatur hubungan antara manusia dengan sang maha pencipta. Aliran ini berpandangan bahwa dalam islam tidak ter dapat system ketatanegaraan yang baku, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etis bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh aliran ini adalah Muhammad Husein Haekal. Aliran ini berpandangan bahwa Quran maupun Sunnah tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat islam. Al-Quran seperti prinsip tauhid, musyawarah, ketaatan pada pemimpin, persamaan, keadilan, kebebasan dalam memeluk agama dan sikap saling meng hormati antar umat beragama. Tetapi prinsip-prinsip tersebut secara teknis tidak terdapat petunjuk pelaksanaannya, sehingga dapat dimaknai dan di laksanakan secara lentur dan fleksiel dengan selalu memperhatikan situasi dan kondisi setempat.
Diantara ketiga aliran ini yang mendapatkan tempat di Indonesia adalah aliran yang ketiga. Para pemimpin Umat Islam menyadari bahwa bangasa Indonesia merupakan masyarakat yang sangat majemuk, baik dipandang dari segi sudut agama, suku, budaya dan bahasa, adat istiadat dan lainnya. Dalam konteks itu, bentuk negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dianggap lebih tepat. Itu me rupakan buah kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia, yang di dalamnya juga melibatkan sejumlah tokoh agama (ulama) di waktu itu. Hubungan antara agama dan konteks politik dalam konteks realitas Indonesia sebenarnyan sulit dibedakan. Namun ada yang membedakan secara sederhana mana wilayah agama mana wilayah Negara dan politik, tetapi perbedaan itu akan menemukan kesulitan dalam realitasnya.
Menurut mereka agama adalah kabar gembira dan peringatan (QS al-Baqarah : 19) sedangkan negara mempunyai birokrasi, pengadilan dan tentara. Agama dapat mempengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama, sedangkan negara mempengaruhi sejarah dengan ke putusan, kekuasaan dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam sedangkan negara adalah kekuatan dari luar.
Pembagian yang sederhana tersebut akan menemui kesulitan jika memperhatikan fenomena agama dan politik di Indonesia saat ini. Para agamawan saat ini bukan hanya para lulusan pondok yang lebih memperhatikan aspek-aspek spiritual untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Elit agama sekarang sudah beragam wajahnya atau ganda. Mereka tidak saja memegang al-Quran dan kitab kuning, tetapi juga memegang buku-buku putih yang membahas masalah ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan teknologi. Fenomena seperti ini semakin mempersulit batas-batas antra wilayah agama dan politik.
Persoalan yang cukup pelik justru muncul dalam wilayah posisi ganda yang dimainkan para elit agama, terutama jika di antara mereka saling berbeda pan dangan. Politisi agamawn, karena dua peran yang disandangannya tidak jarang menghadapi ke sulitan untuk menemukan kompromi politik. Dalam mengambil suatu keputusan politik kelompok ini seperti sudah mengakomodasi semua sudut kepentingan. Sebab di satu pihak mereka merasa pengambilan keputusan itu sudah sesuai dengan aspirasi partainya yang plus juga umat agama. Disisi lain, naiknya mereka ke panggung politik praktis di karenakan kareana adanya legitimasi dari bawah sebagai pemimpin agama. Karenanya, dalam pengambilan keputusan mereka merasa telah mewakili kepentingan agama. Persoalannya adalah ketika ada aspirasi lain dari ulama murni terhadap politisi berperan ganda ini.
Disinilah kemudian runyamnya, persoalan politik menjadi tidak murni politik untuk masalah keagamaan, tetapi telah ditarik ke wilayah khilafiyah dalam wilayah agama itu sendiri, seperti kasus pertentangan antara ulama PKB dan ulama PPP, atau antara kalangan PBB dan PAN. Hingga kini pertarungan politik dalam wacana mutakhir masih berkisar dalam putaran ini, dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah umat grass root. Meraka dituntut untuk berkiblat pada pemimpin yang beragam, yang akhirnya terjadilah suasana yang dirasakan membingungkan.
Mengharap kehadiran Kyai Independen
Hingar bingar perpolitikan di indosesia telah membawa berbagai komponen bangsa ikut andil meramaikannya, tidak terkecuali Kyai. Pada era reformasi ini dapat kita saksikan beberapa nama yang sebelumnya aktif sebagai agamawan, tokoh agama, da’i kini beralih profesi menjadi politikus. Nama-nama seperti Abdurahman Wahid, Amien Rais, KH. Syukron Makmun, mereka dulunya lebih di kenal sebagai tokoh agama, pemimpin umat. Tetapi setelah arus reformasi mereka terjun ke dunia politik, yang terkhir adalah sosok KH. Zainuddin MZ yang dulu dikenal sebagai da’i sejuta umat, kini ikut juga berpartisipasi dalam arus politik praktis.
Kehadiran mereka dalam tataran ideal atau das sollennya, pada dasarnya memiliki motif yang sama, yakni membangaun bangsa dan negara dan mengantarkannya menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Tetapi dalam prakteksnya (das sein) justru kepentingan-kepentingan yang sifatnya mikro, politis , sesaat, sectarian, golongan atau pribadi menyelimuti tujuan ideal tersebut. Sehingga yang terjadi pada akhirnya adalah geb, konflik diantara mereka dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Kini masyarakat mulai sadar dan bersikap kritis bahkan ada yang mencurigai secara berlebihan keterlibatan Kyai tersebut.
Ketauladanan, kepemimpinan dan mampu menjadi pengayom umat. Kehadiran Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan Arifin Ilham misalnya, telah menjadi obat perindu bagi masyarakat. Aa Gym menjadi fenomena tersendiri dalam konteks Indonesia sekarang ini. Melalui mimbar dan ceramahnya , seakan umat dibawa pada suatu tingkat kesadaran akan jati dirinya. Peran yang di mainkan oleh Aa Gym dan posisinya yang masih independen, menjadikannya mendapat predikat sebagai “The Holy Man” oleh majalah Times (2003).
Fenomena Aa Gym barangkali hampir sama dengan fenomena KH. Zainuddin MZ sebelum masuk wilayah politik praktis. Kedua da’i ini bagai magnet, mampu menyedot ribuan masyarakat untuk berbondong-bondong mendengarkan ceramah yang disampaikannya. Tetapi tidak bagi KH. Zainuddin MZ ketika beliau masuk dalam dunia politik, sebagian masyarakat yang dulu mengaguminya kini agak mencemooh peran yang dimainkannya.
Wa Allahu A’lam.
Kyai sebagai sebutan penghormatan bagi elit agama khususnya di Jawa, masih sering diperdebatkan lebih-lebih jika dikaitkan dengan dunia politik.
Pro-kontra seputar peran Kyai dalam dunia politik praktis masih menjadi perbincangan dalam masyarakat. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Kyai, seharusnya cukup berperan sebagai pengayom umat saja, terutama dalam kehidupan beragam. Oleh karena itu, lebih tepat jika ia menghindarkan diri dari kegiatan politik. Adapula yang mengatakan sebaliknya, tidak ada alasan bagi Kyai meninggalkan politik praktis sebab berpolitik merupakan bagian kehidupan agama itu sendiri.
Namun, persoalan yang cukup pelik adalah ketika elit agama atau Kyai memainkan peran ganda antara agamawan di satu sisi dan poolitikus di sisi lain yang di perankan dalam waktu yang bersamaan. Muncul pertanyaan, apakah mungkin produk-produk pemikiran dan tindakan elit agama bisa bebas dari nilai-nilai yang mewarnai pandangan hidup mereka??.
Dari persoalan tersebut sebenarnya ada sebagian masyarakat yang mengaharapkan posisi dan peran Kyai berdiri independen tidak ikut dalam kegiatan politik praktis, tidak terkontaminasi oleh hingar bingar dan panasnya perpolitikan. Kehadiran Kyai ini diharapkan akan dapat memberikan kesejukan dan kedamaian serta dapat men dinginkan panasnya arus politik dan menjadi moral force dalam kehidupan perpolitikan dan jalannya pemerintahan di Indonesia.
Disisi lain adapula sebagian masyarakat yang mengaharapkan peran Kyai atau elit agama berperan lebih signifikan agar dapat mengatasi persoalan-persoalan dan krisis yang terjadi di Indonesia.
Variasi dan Tipologi Kyai
Seputar sebutan Kyai.
Peristilahan Kyai muncul pertama kali dari bahasa jawa. Kata-kata Kyai dalam pemahaman masyarakat jawa mempunya makna yang agung, keramat, dan dituakan.
Selain untuk benda, seperti keris dan gamelan, gelar Kyai juga diberikan kepada laki-laki yang lanjut usia, arif dan di hormati.
Penyebutan kyai biasanya juga di gunakan untuk menyebut Ulama (orang yang mendalam pengetahuan keislamannya).Di Jawa Barat mereka disebut Ajengan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Kyai, di Madura disebut Mak Kyae, Bindara atau Nun. Jadi predikat Kyai adalah sebutan atau gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada elit agama yang telah diketahui ke alimannya, memiliki peranan dalam kehidupan sosial ke agamaan dan masyarakat dapat merasakan jasanya serta me nerima tuntunan serta kepemimpinannya.
Variasi dan Tipologi Kyai
Kyai sekilas tampak homogen, jika dilihat secara seksama ternyata amat variatif. Perbedaan itu diakibatkan oleh banyak faktor. Misalnya, dari perbedaan mereka dalam mempersepsi dan memahami ajaran agama itu sendiri, lingkungan dimana masing-masing Kyai itu hidup dan dibesarkan, kondisi ekonomi, dan juga faktor sosial politik. Muncul dan berkembangnya berbagai aliran keagamaan di berbagai tempat adalah bukti bahwa selalu adanya perbedaan pemahaman, persepsi atau sudut pandang. Di kalangan Kyai misalnya, muncul istilah Kyai Fikih, Kyai Tasawuf dan sebagainya. Secara politik terdapat Kyai yang memiliki orientasi kekuasaan, oleh karena itu dia ikut dalam aktivitas politik, ada Kyai yang dekat dengan penguasa, Kyai yang independen dan Kyai yang mengambil jarak dengan pemerintahan yang berkuasa.
Jika secara Khusus dikaitkan dengan kegiatan politik, maka terjadi polarisasi pemikiran dan memunculkan tipologi Kyai yang bervariasi. Sebagian kalangan berpendapat bahwa Kyai seharusnya cukup berperan sebagai pengayom umat terutama dalam kehidupan beragama. Oleh karena itu lebih baik jika dia menghindarkan diri dari kegiatan politik praktis. Ada juga yang sebaliknya, tidak ada alasan Kyai meninggalkan politik praktis sebab berpolitik merupakan bagian kehidupan agama itu sendiri.
Hubungan antara agama dan politik
Hubungan antara agama dan politik sampai saat ini masih menjadi perbincangan ilmiah oleh para cendekiawan muslim.
Sekalipun para ilmuan muslim tidak berbeda pandangan tentang kebenaran dan keagungan ajaean islam, tetapi sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang posisi agama dan negara. Apakah islam memerlukan bangunan negara sendiri? Apakah tidak? Hingga kini belum memperoleh jawaban yang seragam.
Dalam kajian politik islam kontemporer setidaknya ada 3 aliran pemikiran tentang hubungan antara islam dan politik. Aliran pertama berpendapat bahwa : Islam bukanlah semata-mata agama yang hanya menyangkut hubungan manusia dan tuhan, islam dipandang sebagai agama yang sempurna dan lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokoh utama dari aliran ini antar lain: Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan yang paling gigih adalah Abul A’la al-Maududi berpendirian bahwa islam memerlukan kekuatan untuk melaksanakan syariah dan dakwah. Syariah akan dapat berjalan dengan baik jika terdapat kekuatan yang melaksanakan, yaitu negara. Oleh karena itu, mengangkat satu khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin. Beberapa ayat yang di jadikan dasar pandangannya antara lain QS.Almaidah 44, 45, 47, 48 QS. At-Taubah ayat 1,2,3.
Aliran kedua berpandangan bahwa islam adalah agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut mereka, Nabi Muhammad SAW, hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dan tidak pernah mendirikan dan mengepalai suatu negara. Tokoh-tokoh utama aliran ini adalah : Ali Abdul al-Raziq dan Thaha Husein. Raziq berpendapat bahwa dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok manusia memerlukan penguasa atapun pemimpin yang mengatur dan melindungai kehidupan mereka, tetapi tidak harus berbentuk khilafah, melainkan beraneka bentuk dan sifatnya. Pandangan Raziq didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama : apa yang di lakukan Nabi Muhammad SAW dalam perannya sebagai pemimpin tidaklah mengikuti pola tertentu yang baku dan belum sempurna.
Misalnya, pada saat itu belum ada system pengelolaan keuangan dan kepolisisan sebagaimana lazimnya suatu negara. Kedua : berdasarkan ayat Quran bahwa tugas Nabi terbatas pada dakwah dan mengajak manusia agar mencari keselamatqan duniawi dan ukhrawi dengan menerima islam. Ketiga : hadis Nabi yang mengatakan “Kalian lebih me ngetahui urusan dunia kalian” oleh Raziq dimaknai bahwa persoalan bernegara adalah urusan duniawi yang seharusnya di serahkan kepada masyarakat yang bersangkutan.
Aliran ketiga menolak pendapat bahwa islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam islam terdapat system ketatanegaraan yang baku. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa islam adalah hanya mengatur hubungan antara manusia dengan sang maha pencipta. Aliran ini berpandangan bahwa dalam islam tidak ter dapat system ketatanegaraan yang baku, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etis bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh aliran ini adalah Muhammad Husein Haekal. Aliran ini berpandangan bahwa Quran maupun Sunnah tidak mengajarkan sistem pemerintahan tertentu yang harus dianut oleh umat islam. Al-Quran seperti prinsip tauhid, musyawarah, ketaatan pada pemimpin, persamaan, keadilan, kebebasan dalam memeluk agama dan sikap saling meng hormati antar umat beragama. Tetapi prinsip-prinsip tersebut secara teknis tidak terdapat petunjuk pelaksanaannya, sehingga dapat dimaknai dan di laksanakan secara lentur dan fleksiel dengan selalu memperhatikan situasi dan kondisi setempat.
Diantara ketiga aliran ini yang mendapatkan tempat di Indonesia adalah aliran yang ketiga. Para pemimpin Umat Islam menyadari bahwa bangasa Indonesia merupakan masyarakat yang sangat majemuk, baik dipandang dari segi sudut agama, suku, budaya dan bahasa, adat istiadat dan lainnya. Dalam konteks itu, bentuk negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dianggap lebih tepat. Itu me rupakan buah kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia, yang di dalamnya juga melibatkan sejumlah tokoh agama (ulama) di waktu itu. Hubungan antara agama dan konteks politik dalam konteks realitas Indonesia sebenarnyan sulit dibedakan. Namun ada yang membedakan secara sederhana mana wilayah agama mana wilayah Negara dan politik, tetapi perbedaan itu akan menemukan kesulitan dalam realitasnya.
Menurut mereka agama adalah kabar gembira dan peringatan (QS al-Baqarah : 19) sedangkan negara mempunyai birokrasi, pengadilan dan tentara. Agama dapat mempengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama, sedangkan negara mempengaruhi sejarah dengan ke putusan, kekuasaan dan perang. Agama adalah kekuatan dari dalam sedangkan negara adalah kekuatan dari luar.
Pembagian yang sederhana tersebut akan menemui kesulitan jika memperhatikan fenomena agama dan politik di Indonesia saat ini. Para agamawan saat ini bukan hanya para lulusan pondok yang lebih memperhatikan aspek-aspek spiritual untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Elit agama sekarang sudah beragam wajahnya atau ganda. Mereka tidak saja memegang al-Quran dan kitab kuning, tetapi juga memegang buku-buku putih yang membahas masalah ekonomi, politik, sosial, budaya dan bahkan teknologi. Fenomena seperti ini semakin mempersulit batas-batas antra wilayah agama dan politik.
Persoalan yang cukup pelik justru muncul dalam wilayah posisi ganda yang dimainkan para elit agama, terutama jika di antara mereka saling berbeda pan dangan. Politisi agamawn, karena dua peran yang disandangannya tidak jarang menghadapi ke sulitan untuk menemukan kompromi politik. Dalam mengambil suatu keputusan politik kelompok ini seperti sudah mengakomodasi semua sudut kepentingan. Sebab di satu pihak mereka merasa pengambilan keputusan itu sudah sesuai dengan aspirasi partainya yang plus juga umat agama. Disisi lain, naiknya mereka ke panggung politik praktis di karenakan kareana adanya legitimasi dari bawah sebagai pemimpin agama. Karenanya, dalam pengambilan keputusan mereka merasa telah mewakili kepentingan agama. Persoalannya adalah ketika ada aspirasi lain dari ulama murni terhadap politisi berperan ganda ini.
Disinilah kemudian runyamnya, persoalan politik menjadi tidak murni politik untuk masalah keagamaan, tetapi telah ditarik ke wilayah khilafiyah dalam wilayah agama itu sendiri, seperti kasus pertentangan antara ulama PKB dan ulama PPP, atau antara kalangan PBB dan PAN. Hingga kini pertarungan politik dalam wacana mutakhir masih berkisar dalam putaran ini, dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah umat grass root. Meraka dituntut untuk berkiblat pada pemimpin yang beragam, yang akhirnya terjadilah suasana yang dirasakan membingungkan.
Mengharap kehadiran Kyai Independen
Hingar bingar perpolitikan di indosesia telah membawa berbagai komponen bangsa ikut andil meramaikannya, tidak terkecuali Kyai. Pada era reformasi ini dapat kita saksikan beberapa nama yang sebelumnya aktif sebagai agamawan, tokoh agama, da’i kini beralih profesi menjadi politikus. Nama-nama seperti Abdurahman Wahid, Amien Rais, KH. Syukron Makmun, mereka dulunya lebih di kenal sebagai tokoh agama, pemimpin umat. Tetapi setelah arus reformasi mereka terjun ke dunia politik, yang terkhir adalah sosok KH. Zainuddin MZ yang dulu dikenal sebagai da’i sejuta umat, kini ikut juga berpartisipasi dalam arus politik praktis.
Kehadiran mereka dalam tataran ideal atau das sollennya, pada dasarnya memiliki motif yang sama, yakni membangaun bangsa dan negara dan mengantarkannya menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Tetapi dalam prakteksnya (das sein) justru kepentingan-kepentingan yang sifatnya mikro, politis , sesaat, sectarian, golongan atau pribadi menyelimuti tujuan ideal tersebut. Sehingga yang terjadi pada akhirnya adalah geb, konflik diantara mereka dan lagi-lagi yang menjadi korban adalah masyarakat bawah. Kini masyarakat mulai sadar dan bersikap kritis bahkan ada yang mencurigai secara berlebihan keterlibatan Kyai tersebut.
Ketauladanan, kepemimpinan dan mampu menjadi pengayom umat. Kehadiran Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan Arifin Ilham misalnya, telah menjadi obat perindu bagi masyarakat. Aa Gym menjadi fenomena tersendiri dalam konteks Indonesia sekarang ini. Melalui mimbar dan ceramahnya , seakan umat dibawa pada suatu tingkat kesadaran akan jati dirinya. Peran yang di mainkan oleh Aa Gym dan posisinya yang masih independen, menjadikannya mendapat predikat sebagai “The Holy Man” oleh majalah Times (2003).
Fenomena Aa Gym barangkali hampir sama dengan fenomena KH. Zainuddin MZ sebelum masuk wilayah politik praktis. Kedua da’i ini bagai magnet, mampu menyedot ribuan masyarakat untuk berbondong-bondong mendengarkan ceramah yang disampaikannya. Tetapi tidak bagi KH. Zainuddin MZ ketika beliau masuk dalam dunia politik, sebagian masyarakat yang dulu mengaguminya kini agak mencemooh peran yang dimainkannya.
Wa Allahu A’lam.