Oleh: Muhammad Amiruddin
Pada dasarnya manusia dilahirkan ke dunia ini dengan predikat "merdeka". Kemerdekaan itu tidak akan hilang dalam keadaan apapun. Bahkan ketika dihadapkan dengan kematianpun kemerdekaan itu masih tetap ada. Namun kenyataan yang ada di dunia ini mengatakan hal lain. Banyak orang memperbudak yang lain, baik dengan melepaskan haknya untuk berserikat, untuk mengekspresikan pikirannya, mengelola hak miliknya, atau bahkan merampas kemanusiaannya.
Fenomena-fenomena tersebut bisa kita temukan dalam bentuknya yang gamblang pada abad ke-20 ke belakang -saya tidak mengatakan fenomena-fenomena tersebut sudah tidak bisa kita jumpai pada saat ini-, tak terkecuali bangsa kita Indonesia. Bangsa ini telah dijajah oleh bangsa lain selama beratus-ratus tahun, sehingga meninggalkan akibat yang tidak sedikit pada bangsanya; diantaranya adalah keterpurukan dan keterbelakangan, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, maupun mental.
Hal inilah yang mendorong sebagian kelompok terpelajar Indonesia untuk memperjuangkan martabat bangsanya melalui jalur pendidikan maupun organisasi. Maka pada tanggal 20 Mei 1908 dr. Sutomo bersama rekan-rekannya mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta. Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota.
Tujuan organisasi antara lain: kemajuan yang selaras (harmonis) buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu).
Gerakan ini dengan cepat tersiar luas sehingga membangkitkan kesadaran sebagian besar bangsa Indonesia (untuk tidak mengatakan seluruhnya) dan membuka mata mereka bahwa penjajahan telah menempatkan bangsa ini pada posisi yang tertinggal jauh dengan bangsa-bagsa lain, yang pada gilirannya gerakan tersebut mengilhami organisasi-organisasi lain untuk bangkit dan turut serta dalam perjuangan yang serupa. Gerakan-gerakan ini kemudian dikenal dengan Kebangkitan Naisonal.
Pesantren, sebagai sebuah lembaga maupun komunitas santri yang selama ini selalu getol dan tak kenal lelah dalam memperjuangkan kemajuan pendidikan maupun taraf hidup masyarakat sekitarnya, juga tidak ketinggalan dalam merespon gelombang gerakan tersebut, sehingga pada tahun 1916 terbentuklah sebuah organisasi di Surabaya dengan nama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Nasional) yang dipelopori oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Mas Mansur (kelak menjadi tokoh Muhammadiyah).
Dua tahun kemudian (tahun 1918) di kota yang sama, bersama KH. Dahlan Ahyad, mereka juga mendirikan Tashwirul Afkar, atau juga bisa kenal dengan sebutan lain Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan di bidang agama, keorganisasian, dan perjuangan. Selain itu, di tahun 1918 tersebut KH. Abdul Wahab Hasbullah juga mempelopori berdirinya Nahdlatut Tujjar, sebuah lembaga ekonomi yang kemudian diketuai oleh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan usaha bersama.
Dengan adanya Nahdlatut Tujjar ini tentu saja keberadaan Tashwirul Afkar terus berkembang, dari semula sebagai kelompok studi menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa tempat. Kemudian seiring dengan perjalanan waktu, semakin dirasakan perlunya mendirikan organisasi baru yang lebih mencakup dan terarah. Dan hal itu mendapatkan momentumnya ketika raja Ibnu Saud ingin menyelenggarakan Mu'tamar 'Alam Islami di Makkah pada bulan Juni 1926, yang diantara agendanya adalah ingin memberlakukan satu paham keagamaan di Masjidil Haram, di samping juga ingin menghancurkan peninggalan sejaran Islam maupun pra-Islam yang banyak dikunjungi oleh kaum Muslim karena dianggap sebagi bid'ah.
Ide penghancuran peninggalan sejarah ini tentu saja mendapat sambutan hangat dari kalangan reformis di Indonesia. Sebaliknya, kalangan pesantren yang punya apresiasi terhadap peninggalan sejarah Islam tentu saja tidak menyetujui gagasan tersebut karena dinilai hal itu bisa menghapus jejak warisan budaya Islam secara khusus dan peradaban dunia pada umumnya.
Begitu juga pemberlakuan satu paham keagamaan dinilai tidak menghargai keragaman madzhab padahal Masjidil Haram merupakan tempat umum dimana umat Islam seluruh dunia yang punya latar belakang madzhab berbeda hadir di sana. Sikap kalangan pesantren ini tentu saja tidak disukai oleh kalangan reformis sehingga kalangan pesantren kemudian dikeluarkan dari keanggotaan di Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Implikasinya, kalangan pesantren juga tidak bisa terlibat dalam Mu’tamar ’Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah yang rencananya akan mengesahkan keputusan pemberlakuan satu mazhab tersebut. Ketidaksetujuan Kongres untuk meminta Ibnu Sa'ud agar memberi kebebasan bermadzhab serta menghormati praktek-praktek keagamaan tradisional di negaranya dan peduli terhadap warisan peradaban, menyebabkan KH. Abdul Wahab Hasbullah dan kawan-kawannya kecewa serta berusaha mencari solusi alternatif. Maka dibentuklah Komite Hijaz untuk mempersiapkan delegasi tersendiri yang akan ditugaskan menemui raja Ibnu Sa'ud demi menyampaikan aspirasi di atas.
Melalui komite ini, kalangan pesantren menggalang kekuatan Islam dunia yang masih mau menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli pada pelestarian warisan peradaban Islam. Adanya resolusi dari Komite Hijaz dan besarnya dukungan yang diberikan dunia pada Komite Hijaz ini, maka raja Ibu Sa'ud pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk memberlakukan satu mazhab di Masjidil Haram. Itu sebabnya, sampai hari ini di Makkah tetap bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab yang dipercayai oleh kaum Muslim.
Komite Hijaz yang pada awalnya hanya sebagai panitia ad hoc saja, namun karena dirasakan manfaat nyatanya, maka muncul keinginan untuk menjadikannya sebagai organisasi yang lebih permanen. Apalagi, perkembangan dunia di masa mendatang dirasakan pasti membutuhkan lagi peran aktif kalangan pesantren ini. Melalui sebuah pertemuan kiai dari berbagai daerah, akhirnya disepakati untuk membentuk organisasi yang dinamakan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada tanggal 13 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H). Untuk pertama kalinya organisasi ini dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbarnya.
NU dan Konsep Bermadzhab
Dari catatan sejarah di atas, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa perjuangan mempertahankan madzhab merupakan salah satu sebab penting bagi latar belakang berdirinya NU. Oleh karena itu sikap ini terus dipertahankan oleh NU sampai sekarang. Bahkan sikap bermadzhab inipun dicantumkan dalam Anggaran Dasarnya. Dalam bab II pasal 3 disebutkan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah/berasas Islam menurut faham ahlussunnah wal jama'ah dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Secara konsekuen sikap ini ditindaklanjuti dengan upaya pengembalian hukum fiqih dari referensi dan maraji', berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematis dalam beberapa komponen; ibadah, mu'malah, munákahah, jinayah, dan qadha'. Hal ini menunjukkan bahwa NU masih tetap konsisten dengan dasar perjuangannya.
Pada dasawarsa terakhir, konsep bermadzhab yang dipegang oleh NU ini sering mendapatkan sorotan. Apalagi tradisi yang ada dalam NU lebih cenderung pada mengikuti madzhab secara qauli, yaitu menggunakan ibarat-ibarat yang terdapat dalam teks-teks kitab fiqih yang ada dalam madzhab untuk kemudian digunakan sebagai rujukan, tidak jarang dalil-dalil yang dipakai oleh ulama yang disitir qaulnya tidak diketahui. Hal inilah yang sebenarnya perlu mendapatkan perhatian dari warga NU sendiri dengan cara mengembangkan metode bermadzhabnya yang mulanya hanya bermadzhab secara qauli menjadi bermadzhab secara manhaji, yaitu memahami dan bisa menggunakan metodologi yang digunakan oleh imam madzhab untuk menarik kesimpulan hukum. Dengan begitu proses penyimpulan hukum oleh ulama tertentu akan bisa terlacak dan diketahui akarnya. Dalil-dalil yang digunakan oleh ulamapun akan bisa diketahui sehingga kesan mengikuti madzhab secara membabi butapun bisa disingkirkan. Alhamdulillah, gejala itu sudah banyak terlihat dikalangan pesantren saat ini. Selain fiqih, disiplin-displin ilmu seperti ushul fiqih, sejarah, ulumul qur'an dan hadits, dan lain-lain sudah banyak diajarkan sebagai materi pokok dalam pesantren-pesantren. Semoga saja hal ini bisa terus berkembang pada masa mendatang.
Kemudian, membicarakan soal madzhab mau tidak mau juga akan menyinggung masalah ijtihad dan istinbathul ahkam. Sebab keduanya masih punya pertalian erat yang tidak bisa dipisahkan, karena bermadzhab sama artinya dengan mengikuti pendapat seorang ulama, yang hal ini dilakukan oleh seseorang pada saat ia sudah tidak mampu untuk melakukan ijtihad sendiri.
Dalam ilmu ushul fiqih, ijtihad sering didefinisikan dengan mengerahkan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syar'i (melalui pencarian dan penyimpulan secara langsung dari sumber-sumbernya yang asli, yaitu al-qur'an dan Hadits). Tentu saja usaha ini memerlukan kemampuan dan kecakapan yang tidak sedikit dari seseorang, baik berupa penguasaan yang memadai tentang sumber-sumber dalil, tentang ilmu-ilmu penunjang di luar dalil tersebut, maupun kepekaan yang tajam terhadap lingkungan sosial. Di- antara hal-hal yang perlu dikuasai seorang mujtahid adalah: Al-Qur'an, Hadits, ijma', qiyas, kaifiyyah an-nadhar (metode berfikir), ilmu bahasa arab, násikh mansúkh, hálu ar-ruwát.
Oleh karena itu, istinbath langsung dari sumber primer (Al- Qur'an dan Hadits) yang cenderung pada pengertian ijtihad mutlak bagi ulama NU masih sangat sulit dilakukan karena berbagai keterbatasan-keterbatasan yang disadari, ter- utama di bidang ilmu-ilmu pe- nunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh para mujtahid, sehingga para ulama pendiri NU ini kemudian memilih jalan untuk mengikuti madzhab tertentu, tidak lain karena me-nyadari berbagai keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, disamping merasa sungkan dengan ulama-ulama sekaliber Imam Ghazali, Imam Nawawi, Imam Suyuthi, dan lain-lain yang masih tetap mengaku bermadzhab, padahal kapabilitas pribadi mereka cukup memadai.
Faktor lainnya adalah bahwa anggota NU kebanyakan masyarakat awam yang tidak semuanya melek tulisan. Oleh sebab itu jika organisasi ini mengambil sikap untuk berijtihad sendiri (lawan dari bermadzhab) maka hal itu sama saja dengan membebani mereka dengan sesuatu yang di luar kemampuannya, padahal dalam al-Quran Allah telah memberikan kemurahan bagi orang-orang yang tidak mampu menyimpulkan hukum sendiri untuk bertanya kepada orang yang dirasa mumpuni dalam hal ini, "fasalú ahladzzikri inkuntum la ta'lamún".
Selain itu, faktor penting lain yang menyebabkan ulama NU memilih bermadzhab adalah penghargaan mereka yang cukup signifikan terhadap karya-karya ulama terdahulu. Mereka melihat karya-karya tersebut sebagai kekayaan ilmiah yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab banyak sekali persoalan dan problem yang sudah dideteksi dan diselesaikan oleh ulama-ulama dahulu, disamping banyak juga uji coba dan eksperimen yang telah dijalani oleh mereka.
Hal ini tentu saja akan lebih banyak memberikan ke sempatan atau memungkinkan kita untuk bisa mencapai dan mengembangkan hal-hal lain yang belum tersentuh oleh mereka. Sehingga kaidah yang selama ini dipegang oleh warga NU "almuhafadhotu 'ala al-qodimi al-shalih wal akhdzu bil jadidil aslah" bisa ditambah lagi dengan "walibdau biljadidil muslih".
Kamis, 16 Februari 2012
Nahdlatul Ulama dan Konsep Bermadzhab
10.27
Nahdlatul Ulama